Puisi-puisi Hijrana

 

Menunggu Ibu

 

Sambil menunggu Ibu menyiapkan ramuan,

kau mematikan lampu, membuka jendela

dan membiarkan anak bulan mencahayai

segala yang padam.

 

Setiap malam Ibu meramu daun-daun,

menuangkannya ke dalam cangkir,

seolah kehidupan yang baru,

baru saja ditiupkan.

 

Hari ini Minggu, tetapi kau merasa

Senin baru terjadi kemarin sore.

 

Waktu datang dan pergi,

tetapi tidak pernah memberi tanda,

apakah nanti kau masih boleh menyaksikan

purnama mekar di luar jendela.

 

 

 

Insomnia

 

Mantra malam dirapalkan sehingga

luruh segala cemas yang gaduh.

 

Lamat-lamat kaudengar nyanyian ibumu,

alunan nada serupa ayunan yang dulu

mengantarmu pada tidur yang damai.

 

Di mana kau kini?

 

Besok,

kudengar kau meminta pagi menjemputmu

sebagai dekapan atau setangkai mawar biru.

 

 

 

00.00

 

Terjaga.

Masih terlalu jauh dari pagi.

 

Angin menyambar di luar jendela.

Kabar apa yang hendak ia bawa?

 

Hal-hal serupa ketiadaan datang

mengantarkan sunyi ke dalam dirimu.

 

Lagu pengantar tidur di telepon

genggammu telah lama berhenti.

 

Hanya ada lolongan anjing

dan suara mesin tukang kayu insomnia.

 

Kepalamu mulai menjahit ingatan.

Dan kau tiba-tiba merindukan baju

favoritmu di masa kecil dulu.

 

 

 

Mengunjungi Makam Ayah

 

Rumput-rumput kecil tumbuh dari

sela bebatuan di atas makam ayah.

“Tidak boleh dicabut, pamali,” kata ibu.

 

Akhirnya ia dibiarkan tumbuh sampai

bisa dipangkas dengan rapi.

 

Kuburan ini ramai tetapi sepi hendak

menembus tulang-tulang.

 

Apakah di bawah mereka

dibiarkan bercengkerama?

Kutakut ayah kesepian.

 

Ayahku pendiam dan

tidak mudah bergaul.

 

Tuan, kumohon perlakukan

ayahku dengan baik.

Walau tidak banyak bicara,

ayahku orang yang sangat baik.

 

 

Hijrana
Latest posts by Hijrana (see all)

Comments

  1. amarashakila Reply

    Bagus puisinya

  2. mira Reply

    bagus banget kata-kata puisinya,,,suka

  3. Oza Reply

    Saya tersenyum sekaligus terenyuh, terimakasih karya indahnya

    • Zayn Ali AM Reply

      Puisinya bagus, enak dibacanya

  4. Kristiani Sailana Reply

    Waliku, Pahutaaku

    Nama : Kristiani Sailana
    Jurusan : Prodi D- lll Kesehatan Gigi Poltteks Kemenkes Kupang

    Kehilangan kasih sayang, kehilangan perhatian, bahkan kehilangan barang, adalah suatu hal yang tidak diinginkan semua orang. Begitu juga denganku. Hilangnya sosok orang tua, yang sangat berarti dalam kehidupanku, membuat hari-hariku terasa hampa. Hidup terasa tiada gunanya.

    “Jiwa ini sangat menrindukan kasih sayang, waktu, perhatian, dan nasihat dari kalian berdua. Ini semua itu demi membangkitkan semangat, rasa percaya diri, dan masa depanku yang lebih baik lagi. Tidakah kalian penduli denganku?”, pikiranku yang kadang-kadang muncul di benak.

    Menyembunyikan air mata, dan selalu tersenyum agar terlihat baik-baik saja, menyibukkan diriku dengan berbagai aktivitas, aktifkan diri dalam berbagai cerita, itu adalah caraku satu-satunya untuk menutupi persoalan yang dihadapi. Ternyata itu sangat berat. Itu bukan hal yang mudah. Semua dilalui dengan mencoba untuk “bahagia”

    Ternyata itu pikiranku saja kala itu. Hari berganti hari, sampai detik ini, ada suatu rasa bahagia tersendiri bersama orang tua waliku. Orang tua waliku sangat dengan penuh kasih sayang membesarkanku sejak dari kecil. Kasih sayang yang tulus, selalu berlaku adil, tidak membeda-bedakan satu dengan yang lain, untuk semua anak mereka, itulah yang membuatku bangkit kembali.

    Orang tua waliku mengurus semua kami, termasuk anak-anak mereka, dengan penuh tanggung jawab. Itu bukan tanggung jawab yang kecil, ya? Itu tanggungjawab yang besar.

    “Setiap hari mereka pasti berpikir, agar bagaimana anak-anak mereka tetap bersekolah sehingga kelak menjadi orang yang sukses”, pikirku setiap hari.

    Bekerja keras seharian, menahan lapar, menyembunyikan keluh kesah, berusaha terlihat baik-baik saja, tidak mempedulikan kesehatan mereka sendiri di depan anak-anaknya, itulah yang dibuat. Itu dilakukan demi sematawayang anak-anak mereka dan masa depannya.

    Selalu dinasihati, ditegur jika kami melakukan kesalahan. Walaupun teguran dan nasehat itu terkadang mengandung kata-kata kasar yang menyakiti hati, tetapi itu dijadikan sebuah pelajaran dan motivasi untukku menjadi lebih baik dari sebelumnya.

    Sosok yang dulunya hilang dari kehidupanku, kini hadir kembali dan menjadi motivator dan semangat tersendiri untukku dan meyakinkan diri sendiri bahwa aku juga bisa seperti orang lain. Latar belakang keluarga tidak menjadi tolak ukur untuk melanjutkan pendidikan ini.

    “Aku pasti sekolah lanjut. Aku pasti sekolah lanjut, iya, kan Tuhan?”, pintahku!

    Jika diizinkan Tuhan, aku akan menjadi orang sukses kelak nanti. Aku akan membalas semua jasa dan membanggakan mereka. Aku juga ingin menjadi orang tua yang baik seperti mereka bagi anak-anakku suatu saat nanti.

    Tidak ada yang bisaku berikan hanyalah ucapan terimaksih banyak atas semua yang telah diberikan hingga saat ini. Harapan dan doa, semoga mereka diberikan kesehatan, umur panjang dan diberkati setiap usaha dan pekerjaan yang menjadi sumber berkat bagi kami anak-anak.

  5. Saprinal11 Reply

    aku tidak banyak membaca puisi, tetapi puisi ini sangat indah sekali.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!