Tak Tentu
asal-usul senyumanmu, yang kulihat
adalah saat kau temukan
tapak kaki burung
di pundak awan
sebab bahagia tak melulu
soal kaki yang harus memijak tanah
sedangkan asal-usul air mata kita, nanti
adalah saat mimosa pudica lelah
enggan memejamkan tubuh
di semerbak harum debu
sebab sedih tak melulu
soal kesetiaan putri pada malunya
juga, sebab hidup tak melulu menentu
biarkan aku senyum dan menangis semati-matinya
Gigir Manglayang, 2016
Permohonan
selundupkan aku di genggaman hujan
agar mampu kutusuk duri
dengan kapas randu
berkediaman alas salju
lalu, mohon izinkan kemarau
mencecap julur lidah awan
biar kering hapus galau
bersama keheningan waktu
Air-Biru, 2016
Perempuan yang Berdoa
…tepat sewaktu fajar menepi di cerah keningmu, kau asah kata setajam anak panah untuk menerabas tujuh lapis langit yang sesak antrian. Meski pada akhirnya ufuk memerahkan pipimu yang basah. Sedang hidungmu menyiulkan kidung senandung kasih, tanpa semanusia pun tahu bahwa dianyamnya senyum pada batu nisan sendiri: seindah-indah hHiasan esok hari…
Air-Biru, 2016
Benih
genggam hanya sejenak
satu butir kerinduan ini
tak perlu kau tanam di hati
cukup pejamkan mata
untuk lalu buanglah
ke mana pun maumu
aku tak berharap kau sedia menanamnya
diamkan ia menggeliat
di bumi cinta ini
agar mampu membenihkan
jutaan kerinduan lain
lantas berkecambah
bercumbu dengan matahari
leluasa menghijaukan sanubari
yang setiap pagi
tersiram embun suci
Air-Biru, 2016
Di Ladang Tanya
berkaca dalam-dalam ke mata
seorang bayi yang merangkaki detik
memikul beban langit
digiringnya aku ke ladang perantauan
benarkah seperti terpajang di catatan kaki alam,
bahwa kita adalah pengungsi yang singgah meneguk air secawan
serupa petani, di ladang tanya menyemai kemampuan
menuai keterbatasan
tentang aku yang sejak lahir buta,
bagaimana sanggup kenali warna
bila hanya dengan meraba dan telinga
SaungAksara, 2016