Puisi-puisi Rendy Jean Satria; Setiap Cinta Seorang Penyair

clipart-library.com

Aku Memesan Denyut Jantungmu

 

”Beauty is truth, truth beauty,”–that is all

Ye know on earth, and all ye need to know.” (John Keats)

 

*

 

Kemudian kau datang dalam hidup

Yang penuh hujan di Bandung

Luasnya langit tak bisa menampung

Puisi ini yang sudah mengalami tragedi

Dan kerja keras. Di dada ini pernah tersimpan

Sekian kenangan juga bekas jejak bulan

Dan masih menyembunyikan ingatan

Arwah – arwah api

 

Lampu-lampu di jalan seperti leher jerapah

Yang memayungi keresahanku. Dengan takdir

Aku enggan berhadapan satu lawan satu

 

 

*

 

Kemudian kau masuk dalam puisi ini

Dengan kesadaran penuh. Memanggil

Nama penyairnya. Lalu menuliskan

Sebuah memo tentang daftar hari-hari,

Kisah-kisah kabut. Juga mimpimu. Kau

Dan kemudian aku, saling melambai

Tanpa mengetahui dengan pasti

Akan jam-jam berikut setelahnya

Kau ukur jarak kerinduanmu

Sekali lagi dengan lambaian

Yang lamat-lamat hilang dijilat sepi

Aku menatap raut wajahmu dari dekat

Lalu dari  jauh. Lalu dekat lagi dan semakin jauh

Jauh.

*

 

Kemudian ketika negara tidak mau mengurus

Perasaan seorang penyair, selama ratusan tahun

Aku memesan denyut jantungmu

Untuk menyelamatkan perjalanan puisiku ini

Kelak, ketika awan dan gunung tidak lagi

Berdamai.

 

*

 

Kemudian kau menyimpan seribu musim dingin

Di keningku. Saat itu jalanan basah, diinjak hujan

Daun-daun saling bergandeng tangan. Malam bertamu

Sebentar lagi. Dan kau harus pulang. Aku juga harus

Pulang. Tapi ke mana kita akan pulang?

 

 

2018.

 

Ciuman yang Bekerja Sesuai Jadwal

 

Aku terbangun pada pukul 4 sore

Mimpi buruk dan lupa mengenakan

Selimut tebal. Di balik tirai jendela

Kamarku, keresahan mengintip

Seperti seorang pencuri yang gagal

Di ujung gang. Dadaku rentan

Sesak napas. Mantan pemilik kamar

Ini tidak becus merawat atap

Yang terkelupas oleh desah

 

Meskipun sedang menulis

Aku selalu membuat kopi sore

Dua cangkir. Siapa tahu, setelah

Sibuk seharian di kantor kata-kata

Kau pasti akan butuh kopi

Dan butuh ruang untuk tenang

Aku hanya ingin memastikan

Kau baik-baik saja. Seperti

Matamu yang butuh libur

Akhir pekan

 

Selebihnya kesunyian kau

Dan aku kita urus setelah

Ciuman bekerja sesuai jadwal

Sebelum padam puisi ini

Karena lain hal

 

Bandung, di sore hari

Memang terlihat jangkung

Dan bahaya. Bagi mereka

Yang putus asa di awal bulan.

Tidak lagi bisa menampung

Beban air mata di saku masing-

Masing

 

Aku tidak ingin melihat

Kesedihan di mata mereka

Beterbangan bagai burung

Gagak yang tersesat di hutan-

Hutan. Aku pun tak ingin

Meminjam kesedihan mereka

Untuk meyakinkan dirimu

Kalau aku memang sedang

Menunggu ciuman itu bekerja

Sesuai jadwal yang telah

Kau dan aku tetapkan

 

2018.

 

 

Gempa Bumi Kesunyian

 

Berjalanlah dengan langkah penuh debar ke arahku

Sebelum kabut menggeser rindu itu dan ditelan gempa

Bumi kesunyian. Aku tidak akan bertanya, mengapa

Wajah sungai memancarkan kesedihanmu berulang kali

 

Sepanjang rawa-rawa dan kelokan curug demi curug

Sekian cinta pernah menghilang dalam jubah sedu sedan

Bahwa matahari pagi yang mengintip di antara celah pohon

Masih ada harap untuk menerawang alamat yang kutuju

 

Berjalanlah dengan langkah penuh debar ke arahku

Sebelum jejakmu dihilangkan secara paksa oleh waktu

Dan udara dingin semakin mempersingkat pertemuan

Aku masih menantikan sekelebat bayanganmu

 

2017.

 

 

Setiap Cinta Seorang Penyair

 

Tenggelamkanlah aku di sungai air matamu

Dan biarkan setiap resah dibacakan batu-batu

Terowongan demi terowongan sudah lama berlumut

Kini yang tersisa hanya sepotong doa yang dikirimkan

Mulut daun-daun

 

Setiap yang kutemui selalu berakhir pada keheningan

Rumput-rumput di malam hari. Setiap cinta seorang

Penyair selalu ditandai letusan gunung berapi, laut

Yang surut, nelayan yang kehilangan ikan, gempa bumi

Bintang jatuh, angin topan dan hutan yang ditinggalkan

Pohon-pohon. Aku ingin menggapaimu, tapi tak pernah

Bisa. Jarak seperti ruang tanpa sandaran

 

2017.

 

 

Menyusun Melankolia di Cijambe

 

Aku tak suka

dengan kesedihan yang sama

 

Apakah jam yang terpaku

Di samping jendela, selalu

Memperlihatkan lambaian tanganmu?

 

Cinta tak sehalus rambut para nabi

Dan sesenyap makam-makam tua

 

Di ruang tamu, 3 orang penulis

Mereka-reka nasib seseorang

Di masa lalu

 

Lalu, ranting di luar patah

Disentil angin liar. Dinding

Basah

 

Di antara, lilitan daun-

Daun serei merah

Aku sendiri, menatap

Tirai yang tersibak

 

Meja bar, sebuah Obeo Concerto

Mengalir begitu saja

 

Begitu saja

 

Malaikat Desember

Dengan tubuhnya

Yang dingin, membawakanku

Air mineral

 

Tapi aku tak ingin

Meneguknya. Biarlah

Aku kehausan sepanjang waktu

 

Lalu jatuhlah segala resah

Yang liar. Dalam pagi

Aku kehilangan Firdaus

 

Hujan bernanah

 

Dan kau di mana?

 

Kau di mana?

 

2017.


 

Rendy Satria
Latest posts by Rendy Satria (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!