Aku Memesan Denyut Jantungmu
”Beauty is truth, truth beauty,”–that is all
Ye know on earth, and all ye need to know.” (John Keats)
*
Kemudian kau datang dalam hidup
Yang penuh hujan di Bandung
Luasnya langit tak bisa menampung
Puisi ini yang sudah mengalami tragedi
Dan kerja keras. Di dada ini pernah tersimpan
Sekian kenangan juga bekas jejak bulan
Dan masih menyembunyikan ingatan
Arwah – arwah api
Lampu-lampu di jalan seperti leher jerapah
Yang memayungi keresahanku. Dengan takdir
Aku enggan berhadapan satu lawan satu
*
Kemudian kau masuk dalam puisi ini
Dengan kesadaran penuh. Memanggil
Nama penyairnya. Lalu menuliskan
Sebuah memo tentang daftar hari-hari,
Kisah-kisah kabut. Juga mimpimu. Kau
Dan kemudian aku, saling melambai
Tanpa mengetahui dengan pasti
Akan jam-jam berikut setelahnya
Kau ukur jarak kerinduanmu
Sekali lagi dengan lambaian
Yang lamat-lamat hilang dijilat sepi
Aku menatap raut wajahmu dari dekat
Lalu dari jauh. Lalu dekat lagi dan semakin jauh
Jauh.
*
Kemudian ketika negara tidak mau mengurus
Perasaan seorang penyair, selama ratusan tahun
Aku memesan denyut jantungmu
Untuk menyelamatkan perjalanan puisiku ini
Kelak, ketika awan dan gunung tidak lagi
Berdamai.
*
Kemudian kau menyimpan seribu musim dingin
Di keningku. Saat itu jalanan basah, diinjak hujan
Daun-daun saling bergandeng tangan. Malam bertamu
Sebentar lagi. Dan kau harus pulang. Aku juga harus
Pulang. Tapi ke mana kita akan pulang?
2018.
Ciuman yang Bekerja Sesuai Jadwal
Aku terbangun pada pukul 4 sore
Mimpi buruk dan lupa mengenakan
Selimut tebal. Di balik tirai jendela
Kamarku, keresahan mengintip
Seperti seorang pencuri yang gagal
Di ujung gang. Dadaku rentan
Sesak napas. Mantan pemilik kamar
Ini tidak becus merawat atap
Yang terkelupas oleh desah
Meskipun sedang menulis
Aku selalu membuat kopi sore
Dua cangkir. Siapa tahu, setelah
Sibuk seharian di kantor kata-kata
Kau pasti akan butuh kopi
Dan butuh ruang untuk tenang
Aku hanya ingin memastikan
Kau baik-baik saja. Seperti
Matamu yang butuh libur
Akhir pekan
Selebihnya kesunyian kau
Dan aku kita urus setelah
Ciuman bekerja sesuai jadwal
Sebelum padam puisi ini
Karena lain hal
Bandung, di sore hari
Memang terlihat jangkung
Dan bahaya. Bagi mereka
Yang putus asa di awal bulan.
Tidak lagi bisa menampung
Beban air mata di saku masing-
Masing
Aku tidak ingin melihat
Kesedihan di mata mereka
Beterbangan bagai burung
Gagak yang tersesat di hutan-
Hutan. Aku pun tak ingin
Meminjam kesedihan mereka
Untuk meyakinkan dirimu
Kalau aku memang sedang
Menunggu ciuman itu bekerja
Sesuai jadwal yang telah
Kau dan aku tetapkan
2018.
Gempa Bumi Kesunyian
Berjalanlah dengan langkah penuh debar ke arahku
Sebelum kabut menggeser rindu itu dan ditelan gempa
Bumi kesunyian. Aku tidak akan bertanya, mengapa
Wajah sungai memancarkan kesedihanmu berulang kali
Sepanjang rawa-rawa dan kelokan curug demi curug
Sekian cinta pernah menghilang dalam jubah sedu sedan
Bahwa matahari pagi yang mengintip di antara celah pohon
Masih ada harap untuk menerawang alamat yang kutuju
Berjalanlah dengan langkah penuh debar ke arahku
Sebelum jejakmu dihilangkan secara paksa oleh waktu
Dan udara dingin semakin mempersingkat pertemuan
Aku masih menantikan sekelebat bayanganmu
2017.
Setiap Cinta Seorang Penyair
Tenggelamkanlah aku di sungai air matamu
Dan biarkan setiap resah dibacakan batu-batu
Terowongan demi terowongan sudah lama berlumut
Kini yang tersisa hanya sepotong doa yang dikirimkan
Mulut daun-daun
Setiap yang kutemui selalu berakhir pada keheningan
Rumput-rumput di malam hari. Setiap cinta seorang
Penyair selalu ditandai letusan gunung berapi, laut
Yang surut, nelayan yang kehilangan ikan, gempa bumi
Bintang jatuh, angin topan dan hutan yang ditinggalkan
Pohon-pohon. Aku ingin menggapaimu, tapi tak pernah
Bisa. Jarak seperti ruang tanpa sandaran
2017.
Menyusun Melankolia di Cijambe
Aku tak suka
dengan kesedihan yang sama
Apakah jam yang terpaku
Di samping jendela, selalu
Memperlihatkan lambaian tanganmu?
Cinta tak sehalus rambut para nabi
Dan sesenyap makam-makam tua
Di ruang tamu, 3 orang penulis
Mereka-reka nasib seseorang
Di masa lalu
Lalu, ranting di luar patah
Disentil angin liar. Dinding
Basah
Di antara, lilitan daun-
Daun serei merah
Aku sendiri, menatap
Tirai yang tersibak
Meja bar, sebuah Obeo Concerto
Mengalir begitu saja
Begitu saja
Malaikat Desember
Dengan tubuhnya
Yang dingin, membawakanku
Air mineral
Tapi aku tak ingin
Meneguknya. Biarlah
Aku kehausan sepanjang waktu
Lalu jatuhlah segala resah
Yang liar. Dalam pagi
Aku kehilangan Firdaus
Hujan bernanah
Dan kau di mana?
Kau di mana?
2017.
- Puisi-puisi Rendy Jean Satria; Setiap Cinta Seorang Penyair - 27 February 2018