Bapa
Bapa, kenapa belajar
kata-kata di kebun
binatang? Ibu masuk
kandang harimau, adik
merayap di sangkar burung.
Bapa, kenapa termenung
di kolam buaya. Pintu
kandang monyet terbuka
untuk siapa? Ada ayunan
dan pohon-pohon gundul.
Aku memanjat kata-kata di sini,
lenyap menghilang
dalam peluk sepasang monyet.
Bapa, apakah aku manusia?
2016
Mengembara di Kebun Binatang
Di kandang zebra, mula-mula kudengar
suara itu. “Zebra, kamu adalah Zebra.
Kamu adalah pengembara. Kamu
adalah hutan kebebasan. Berlarilah
dari jeruji ini. Dari kerumunan ini.”
Suara yang khas. Seperti suara
kipas angin, seperti suara
gergaji besi, seperti suara
batu menumbuk rantai.
Mendekati kandang burung,
suara itu merdu menyembur
ke sayap dan bulu-bulu. Berputaran
di paruh-paruh. Malah di kandang ular,
terlihat tumbuh dalam sisik baru.
Di kandang lainnya, suara bergelantungan
di belalai gajah, menunggangi punuk unta,
meninabobokan singa, menyusup
dalam ketiak kalong, memanjat pohon
macan tutul, mengasah taring buaya, melompat
centil di kuping surili.
Suara yang ada di mana-mana, melebihi
sabda nabi yang kekal di bibirmu, Bapa.
Suara yang terus mengembara
di kebun binatang. Dari kandang
ke kandang. Seperti dari kampung
ke kampung, kota ke kota, pulau
ke pulau, negeri ke negeri, benua
ke benua. Dari jaman ke jaman.
Bapa, di manakah tubuhnya? Kenapa hanya suaranya saja
yang terdengar samar dalam kepung hingarbingar
kota di luar sana.
2016
Di Bukit Seseorang Menggiring Angin
Bapa, ke bukit di sebrang kota itu
kau mengajakku mendaki. Aku belum
hapal doa-doa, dan kata-kata masih
tertinggal di kebun binatang
dalam kandang monyet itu.
Tapi, Bapa, kulihat ada seseorang
sedang memanjat pohon-pohon nisan
yang lebat menjulang. Ia berdiri di puncak
paling runcing memanggil-manggil angin
dengan rambut keritingnya.
Angin yang ikal dan nakal itu
digiringnya ke puncak bukit. Bapa,
ia menggiring angin, ziarah
ke mana-mana. Mereka berdoa
dengan kata-kata lembut. Apakah ia pemilik
kata-kata? Aku ingin menarik
rambut keritingnya, menari
dan menyanyi di sana.
Bapa, bukit itu terbang. Terbang
mengikuti mereka yang terus
menggiring angin. Ke langit, Bapa,
ke langit.
Bapa, kenapa kita masih di kandang monyet?
2016
Kuda Merah Muda di Rumah Sakit
Aku di sini sekarang,
di rumah sakit
dalam dirimu, Bapa.
Aku menatap arakan rasa sakit
dari setiap ruangan. Blankar-blankar
berlayar di gang-gang yang
diserbu erangan dari setiap kamar.
Tubuh siapa terbaring dan menggelepar,
tubuhku atau tubuhmu? Jarum suntik,
selang infus, tabung oksigen, dan di sini,
Bapa, di sini aku melihat dinding putih
seakan memandang hutan putih. Ada banyak kuda
melompat dari dinding itu. Kuda-kuda berwarna
merah muda. Bapa, ayo menunggang kuda-kuda itu.
Kuda-kuda terbang merah muda.
Bapa, Bapa, aku melihat detik
berjatuhan dari surai, berjatuhan
ke lantai rumah sakit
menghapus jalan ke arah
kamar mayat. Semua jadi serba putih
kecuali kuda, kuda terbang merah muda
yang membawamu, membawaku
terbang
keluar masuk
dinding putih.
Ayo, Bapa, tapi kemana?
2016
Zulfa dalam Keranjang Batu
Zulfa, kota dalam kepalamu itu
melempar batu ke dalam keranjang
di trotoar. Seperti pemain basket
ketika kehilangan bola, lekas berlomba
mencabut kepala sendiri dan melemparnya
dengan sedikit atraksi salto.
Batu-batu di kota dalam kepalamu itu
mirip kepala-kepala yang terjebak
dalam keranjang. Kepalaku mungkin,
kepala bapa mungkin, kepala ibu mungkin.
Zulfa, kota dalam kepalamu juga batu-batu itu
mengikutiku. Menghantuiku. Membawaku pergi
menjauhi Bapa, Ibu, Adik dan
kampung halaman.
2016
- Puisi Toni Lesmana - 23 January 2024
- Puisi-Puisi Toni Lesmana: Perayaan Kesendirian - 8 June 2021
- Hikayat Sakit Kepala - 12 March 2021