Puisi-Puisi Toni Lesmana; Di Bukit Seseorang Menggiring Angin

thirddime.com

Bapa

 

Bapa, kenapa belajar

kata-kata di kebun

binatang? Ibu masuk

kandang harimau, adik

merayap di sangkar burung.

 

Bapa, kenapa termenung

di kolam buaya. Pintu

kandang monyet terbuka

untuk siapa? Ada ayunan

dan pohon-pohon gundul.

 

Aku memanjat kata-kata di sini,

lenyap menghilang

dalam peluk sepasang monyet.

 

Bapa, apakah aku manusia?

 

2016

 

 

Mengembara di Kebun Binatang

 

Di kandang zebra, mula-mula kudengar

suara itu. “Zebra, kamu adalah Zebra.

Kamu adalah pengembara. Kamu

adalah hutan kebebasan. Berlarilah

dari jeruji ini. Dari kerumunan ini.”

 

Suara yang khas. Seperti suara

kipas angin, seperti suara

gergaji besi, seperti suara

batu menumbuk rantai.

 

Mendekati kandang burung,

suara itu merdu menyembur

ke sayap dan bulu-bulu. Berputaran

di paruh-paruh. Malah di kandang ular,

terlihat tumbuh dalam sisik baru.

 

Di kandang lainnya, suara bergelantungan

di belalai gajah, menunggangi punuk unta,

meninabobokan singa, menyusup

dalam ketiak kalong, memanjat pohon

macan tutul,  mengasah taring buaya, melompat

centil di kuping surili.

 

Suara yang ada di mana-mana, melebihi

sabda nabi yang kekal di bibirmu, Bapa.

Suara yang terus mengembara

di kebun binatang. Dari kandang

ke kandang. Seperti dari kampung

ke kampung, kota ke kota, pulau

ke pulau, negeri ke negeri, benua

ke benua. Dari jaman ke jaman.

 

Bapa, di manakah tubuhnya? Kenapa hanya suaranya saja

yang terdengar samar dalam kepung hingarbingar

kota di luar sana.

 

2016


 

Di Bukit Seseorang  Menggiring Angin

 

Bapa, ke bukit di sebrang kota itu

kau mengajakku mendaki. Aku belum

hapal doa-doa, dan kata-kata masih

tertinggal di kebun binatang

dalam kandang monyet itu.

 

Tapi, Bapa, kulihat ada seseorang

sedang memanjat pohon-pohon nisan

yang lebat menjulang. Ia berdiri di puncak

paling runcing memanggil-manggil angin

dengan rambut keritingnya.

 

Angin yang ikal dan nakal itu

digiringnya ke puncak bukit. Bapa,

ia menggiring angin, ziarah

ke mana-mana. Mereka berdoa

dengan kata-kata lembut. Apakah ia pemilik

kata-kata? Aku ingin menarik

rambut keritingnya, menari

dan menyanyi di sana.

 

Bapa, bukit itu terbang. Terbang

mengikuti mereka yang terus

menggiring angin. Ke langit, Bapa,

ke langit.

 

Bapa, kenapa kita masih di kandang monyet?

 

2016


 

Kuda Merah Muda di Rumah Sakit

 

Aku di sini sekarang,

di rumah sakit

dalam dirimu, Bapa.

 

Aku menatap arakan rasa sakit

dari setiap ruangan. Blankar-blankar

berlayar di gang-gang yang

diserbu erangan dari setiap kamar.

 

Tubuh siapa terbaring dan menggelepar,

tubuhku atau tubuhmu? Jarum suntik,

selang infus, tabung oksigen, dan di sini,

Bapa, di sini aku melihat dinding putih

seakan memandang hutan putih. Ada banyak kuda

melompat dari dinding itu. Kuda-kuda berwarna

merah muda. Bapa,  ayo menunggang kuda-kuda itu.

Kuda-kuda terbang merah muda.

 

Bapa, Bapa, aku melihat detik

berjatuhan dari surai, berjatuhan

ke lantai rumah sakit

menghapus jalan ke arah

kamar mayat. Semua jadi serba putih

kecuali kuda, kuda terbang merah muda

yang membawamu, membawaku

 

terbang

keluar masuk

dinding putih.

 

Ayo, Bapa, tapi kemana?

 

2016

 

Zulfa dalam Keranjang Batu

 

Zulfa, kota dalam kepalamu itu

melempar batu ke dalam keranjang

di trotoar. Seperti pemain basket

ketika kehilangan bola, lekas berlomba

mencabut kepala sendiri dan melemparnya

dengan sedikit atraksi salto.

 

Batu-batu di kota dalam kepalamu itu

mirip kepala-kepala yang terjebak

dalam keranjang. Kepalaku mungkin,

kepala bapa mungkin, kepala ibu mungkin.

Zulfa, kota dalam kepalamu juga batu-batu itu

mengikutiku. Menghantuiku. Membawaku pergi

menjauhi Bapa, Ibu, Adik dan

kampung halaman.

 

2016

Toni Lesmana
Latest posts by Toni Lesmana (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!