
Puq Bijoq duduk tanpa baju di pintu. Susah payah ia mencari tingo[1] di pusarnya. Kedua kakinya terjulur, kepalanya turun sebawah mungkin, punggungnya membungkuk sampai tulang-tulangnya tampak akan lepas dan merobek dagingnya. Tetap saja makhluk kecil itu tidak bisa ia temukan. Sementara rasa gatal terus menyiksanya.
Di berugaq[2], Bugiali; anak pertamanya, baru tiba dari desa. Keringat hangat membasahi wajah dan lehernya. “Bu, saya mau petik kopi,” katanya sambil berusaha menyelipkan parang miliknya di atap. Napasnya masih terengah-engah.
Seperti tidak mendengar kata-kata Bugiali, Puq Bijoq tetap menunduk mencari tingo yang telah sangat mengganggunya. Dengan kuku ibu jari ia korek-korek pusarnya. Rasa gatal menjalar sampai selangkangan.
“Pakai minyak tanah,” kata Bugiali.
Kali ini Puq Bijoq langsung menyahut. Suaranya parau. “Kamu mau bunuh saya. Kamu mau kulit saya terbakar. Mentang-mentang saya sudah tua,” katanya.
“Ndak. Tingo-nya pasti langsung mati. Kalau mau dicari begitu sampai mati ndak akan ketemu. Saya juga udah ndak bisa lihat, apalagi epe[3],” terang Bugiali. Sebenarnya ia masih mampu melihat, tapi ia ingin ibunya memakai cara yang mudah. Puq Bijoq telah kembali menunduk. Ia buka matanya lebar-lebar. “Pakai minyak tanah makanya.” Bugiali kembali menyarankan. Ia kesal pada ibunya yang begitu keras kepala.
Sambil mengayun-ayunkan kaki, Bugiali mengulang kata-katanya yang tadi tidak didengar. “Saya mau petik kopi bagian saya.” Puq Bijoq yang sedang begitu serius mencari tingo, benar-benar tidak mendengar kata-kata anaknya. “Saya mau petik yang di dekat sungai itu,” sambung Bugiali.
Puq Bijoq merasa telah melihat tingo yang ia cari, tapi suara anaknya membuat kepalanya pusing dan pandangannya mengabur. “Petik semuanya, petik! Cabut ‘dah sama pohon-pohonnya!” bentaknya. Suaranya begitu dipaksakan sampai terdengar tidak begitu jelas. Sambil tetap menunduk dan membuka matanya lebar-lebar, berharap ia benar-benar menemukan tingo itu, ia melanjutkan. “Kelapa, cokelat, pisang, semuanya petik sudah. Bawa anak istrimu suruh petik semuanya.” Puq Bijoq terbatuk-batuk. Terdengar seperti ada dahak mendidih di kerongkongannya.
“Kopinya nanti keburu dicuri kalau ndak kita petik cepat-cepat. Sudah harusnya dipetik dari kemarin-kemarin,” kata Bugiali semakin kesal.
“Makanya cabut sudah sama pohon-pohonnya juga.” Puq Bijoq memandang anaknya. Matanya membelalak, terlihat bola matanya seperti akan meloncat keluar. Lalu ia kembali menekuni pekerjaannya yang tadi terhenti. Kini begitu bawah kepalanya, sampai terlihat punggungnya akan patah; sampai kedua susunya turun dan kedua putingnya terlihat seperti sepasang mata yang juga ingin mengetahui di mana letak tingo itu bersembunyi.
“Yang di dekat dadap itu juga saya petik.”
Puq Bijoq melenguh. Tingo itu seperti telah menguras tenaganya. Setelah terbatuk-batuk, ia melenguh lagi. Hanya sebentar ia angkat tubuhnya, kemudian ia menunduk seperti semula. Jari tangannya membuka pusarnya sampai di dalam sana.
Setelah mengambil parang yang ia selipkan tadi di atap berugaq, Bugiali turun. Di halaman, ia berdiri. Sebelum pergi, ia melihat ke arah ibunya. Puq Bijoq tampak telah dibuat begitu kacau oleh makhluk kecil yang tidak kunjung ia temukan itu. Terlintas di pikiran Bugiali untuk membantunya mencari, tetapi ibunya telah membuat ia kesal. Ia urungkan niat untuk membantu.
“Kita petik semuanya sudah, sekalian petik untuk epe belanja.”
Seperti sebelumnya, setiap kali ia merasa telah melihat tingo itu, anaknya selalu mengganggunya. Ia angkat wajah. Dan dengan suara yang sangat-sangat dipaksakan sampai terdengar serak, Puq Bijoq membentak anaknya.
“Anak acong![4] Kamu petik semuanya! Petik! Bawa karung banyak-banyak! Jangan kasih saya. Saya tidak perlu belanja!”
Seperti dikagetkan oleh suara Puq Bijoq, anjing yang dari tadi menghangatkan diri dekat jebak[5] tiba-tiba menggonggong. Tanpa berpikir panjang, dengan sekuat tenaga, Bugiali lempar anjing itu dengan parang miliknya, tepat mengenai perutnya. Anjing itu mengkaeng-kaeng tidak keruan.
“Bunuh! Bunuh! Sekalian bunuh saya juga!” teriak Puq Bijoq. Kini tubuhnya terlihat bergetar hebat. Kedua tangannya yang masih mencari tingo meski tanpa melihat, bergetar juga seperti tali jemuran yang ditiup angin kencang. Puq Bijoq memang selalu begini jika telah tidak bisa mengendalikan amarahnya. Dengan tatapan seakan-akan ingin membakar anaknya, ia pelototi Bugiali yang sedang berjalan menuju tempat parangnya tergeletak. Dari mulutnya keluar sumpah serapah yang paling kasar.
Sayup-sayup ia mendengar suara seseorang, mengeluh bahwa dirinya begitu lelah berjalan. Lama-lama Puq Bijoq merasa sangat kenal dengan suara itu. Setelah pemilik suara itu sampai di jebak, dan ia bisa mengamatinya dengan leluasa, sesuatu dalam dirinya seperti bangun dan memaksanya untuk mencari tingo di pusarnya itu lagi.
Kecepeh; anak keduanya, datang menggendong bayinya. Dengan tangan kirinya, anak itu memegang sepotong jajan untuk-untuk[6]. Di atas kepala Kecepeh, bertengger bakul besar. Sebelum menundukkan kepala, Puq Bijoq melihat anak keduanya, dan mengetahui apa yang dibawa oleh anaknya. Jika bertahun-tahun lalu, ia sangat mengharapkan dibawakan sesuatu, sekarang, ia sama sekali tidak mengharapkan apa-apa. Karena itu, ia diam saja seolah-olah tidak tahu bahwa anaknya datang.
Bugiali yang tadi ingin pergi mengurungkan niatnya. Ia kembali duduk di tempatnya semula. Kecepeh menurunkan bakul, lalu anaknya, dan tanpa membiarkan napasnya menjadi tenang, ia langsung keluarkan barang bawaannya. Bugiali melihat barang-barang itu ditumpuk di depannya, tiga ekor ikan panggang, sebungkus jajan untuk-untuk, dan dua biji timun.
“Bakul yang begitu besar cuma itu isinya?” tanya Bugiali dengan nada menyinggung.
“Ndak ada orang jualan,” kata Kecepeh. Lalu, setelah mengeluarkan dua buah jajan untuk-untuk untuk kakaknya, ia membawakan sisa jajan itu untuk ibunya. Kecepeh meletakkan jajan itu di atas tanah, tepat di samping ibunya. “Jajan, Bu,” katanya.
Dan Puq Bijoq melenguh. “Tingo, tingo,” keluhnya.
Kecepeh ingin membantu ibunya, tapi ia tahu ibunya akan menolak. Setiap kali ia datang, perempuan tua itu tidak pernah mau dibantu olehnya dalam hal apa pun. Mereka pun hanya duduk di berugaq menonton ibu mereka membungkuk sedemikian rupa, dengan rambutnya yang putih dan jarang begitu berantakan.
“Pakai baju, Bu.” Kecepeh seperti baru sadar bahwa ibunya tidak memakai baju.
Puq Bijoq tetap menunduk seperti tidak mendengar apa pun.
“Gimana tingo ndak banyak datang, epe ndak pakai baju,” lanjut Kecepeh.
“Kalian saja yang pakai baju bagus-bagus. Jangan pikirkan saya.”
Melihat ibu mereka berbicara tanpa mengangkat wajah, dengan nada ketus yang terdengar begitu menyebalkan, Kecepeh jadi malas. Sebentar ia diam, lalu ia berbicara kepada kakaknya.
“Sudah matang semua kopi itu saya lihat tadi.”
“Ya. Itu makanya saya mau petik sekarang ini,” jawab Bugiali. Lalu ia mengambil parang yang ia letakkan di sampingnya dan bersiap-siap pergi. Ia begitu terburu-buru.
“Saya petik yang di dekat sungai itu, Man Gde[7].”
“Saya mau petik di sana juga. Kamu yang di dekat durian itu aja, banyak juga di sana.”
Bugiali turun. Di jebak, anjing yang tadi ia lempar tampak takut-takut berjalan masuk.
“Saya ‘dah yang di dekat sungai itu, sekalian saya pulang nanti. Biar saya ndak jauh bawa.” Kecepeh turun juga sambil menggendong anaknya.
Bugiali diam sebentar. Ia palingkan wajahnya ke tempat ibunya duduk, tampak ibunya masih seperti semula. Ia berpikir ibunya tidak mendengar kata-kata mereka. Karena itu ia bersikukuh untuk mendapatkan yang di dekat sungai itu, pohon kopi yang begitu ranum dan tidak perlu waktu lama untuk mendapatkan sekarung atau lebih.
“Saya ‘dah yang di dekat sungai itu, nanti musim kopi lagi sekali epe,” bujuk Kecepeh. Anaknya memandang anjing yang berjalan pelan-pelan di halaman sambil mengendus-endus tanah.
“Kan musim kopi yang kemarin kamu yang petik di dekat sungai itu.” Bugiali ingat musim kopi tahun lalu, semua kopi di dekat sungai itu dipetik oleh adiknya. Memang setiap musim kopi, biji kopi di dekat sungai itu selalu berbuah lebat dan selalu diperebutkan.
Anjing yang tadi mengendus-endus sekarang telah sampai di dekat Puq Bijoq. Ia endus-endus sebungkus jajan untuk-untuk di dekat tuannya. Puq Bijoq yang benar-benar sedang melihat titik merah menempel di dinding pusarnya, membiarkan anjing miliknya mengangkat sebungkus jajan itu.
Pelan-pelan, anjing itu membawa pergi jajan itu dengan moncongnya.***
[1] Serangga kecil berwarna merah yang bisa menyebabkan rasa gatal.
[2] Balai-balai.
[3] Kamu (bahasa halus).
[4] Anak anjing (ungkapan kasar).
[5] Gerbang.
[6] Makanan yang terbuat dari tepung dengan pisang di dalamnya.
[7] Panggilan untuk laki-laki yang memiliki anak pertama laki-laki.
- Puq Bijoq Mencari Tingo - 7 October 2016
Ocyid Al Bahrawi
Halo batur lombok.