
Di Sungai Hitam
Mengalirlah air keruh asam
Gambut membiak kabut
Di atas pohonan pucuk Halaban.
Perahu jukung batang kayu
Berkayuh pelan mengintai kecipak ikan
Satu dua bekantan menyapa.
“Halo, apa kabar ibu kota?
Buah pedada matang jatuh,
lalu hilang sekelebat kibas
Patin seekor menamatkan lapar.
Pada permukaan lambat arus,
liuk capung tak lagi lincah
di mulut ikan sumpit.
Biawak dan Piton berlawan arah
memetakan kode wilayah.
Di pelabuhan kecil,
jejak amis para turis
begitu menggoda.
Rupa rupiah jelas
warna dan nominalnya.
Samboja, 2021
Ke Dalam Syair Penyair Cair
Aku takut
kata-kataku
memakan aku,
kata-kata
yang kutulis
sebagai puisi.
Apa yang kutulis
menjadi mantra,
menjadi larik-larik
tuah juga amarah.
Dikutuknya aku
jadi syair perindu.
Kata-kataku
sari pati huruf
menyusun dirinya
menjadi makna.
Air matanya
kata-kata.
Tawanya
kata-kata.
Segala apa
pada dirinya
menjelma
kata-kata.
Ke dalam kata
membenam
menuntas kertas
lembar-lembar
kabar menjabar.
Mengutuklah kata,
tubuh mencair.
Sungai Raden, 2020
Garbarium
Nutfah.
Perjalanan waktu
menuju Engkau.
Di antara iga dan sulbi ibu,
diturunkan dari Lauhul Mahfuz
sebelum ditiupkan
nur kekasihNya
Menangislah,
sekeras kau bisa.
Beritakan pada dunia
nikmat perjalanan
menuju kampung halaman
Adam dan Hawa.
2020
Kopikarta
Kita,
Menyusun peta kota
di setiap malam.
Dari bangku ke bangku,
Dari saset–saset kopi,
menandai letak mimpi.
Kita jumputi kata-kata.
Daurpermak sebait sajak,
tentang mimpi sebuah kota.
Dari bungkus bekas kopi,
bukan melulu rindu.
Ada pula diam
mengasapi demam.
Menghangatkan air mata
menyetem nada tawa
sebab nasib seharian
tak terbayangkan.
Bermacam pisuhan
kita telan saja.
Sebab di kota ini,
setiap waktu kita
tak peduli, tak mengenali.
Kopikarta,
di tengah kota
mimpi kita menyusun
rupa macam perkara;
Sungai Raden, 2017.
- Sajak-Sajak Ali Sadli Salim - 20 April 2021