Mungkin Raqib Tak Henti Tertawa

ADALAH Dammahum, pengusaha muda yang berela-rela terbang dari Jakarta ke Lubuklinggau, untuk sebuah penyelesaian atas nama baik motivator, profesi baru yang ia tekuni lima tahun terakhir.

Bermula dari cerita karib sesama motivator yang bertemu dengan seorang garin di salah satu masjid di kota itu. Garin itu cerdas dan mahir beretorika, katanya waktu itu. Jadi orang miskin adalah cita-citanya, imbuhnya kesal.

Saat berhadapan dengannya, ilmu karibnya itu mental. Bahkan untuk menceritakan kehebatan si garin saja, ia tak mumpuni. ”Datang saja ke sana, Hum. Aku nggak mau mengingatnya. Takut miskin beneran.”

***

SETIBA di muka bilik di samping tempat wudu masjid, Dammahum membuka sepatu bermereknya. Setelah mengucap salam, dengan wajah yang disemringah-semringahkan, ia menyalami seorang tua di dalam bilik itu: lelaki berwajah bening, usia enam puluhan, mengenakan koko putih dan berkopiah hitam.

Dammahum memperkenalkan diri dan tanpa tedeng aling-aling langsung mengerahkan semua isi kepalanya.

”Tak perlu banyak omong, Nak. Bapak tahu maksudmu,” ujar orang tua itu di tengah-tengah retorika menawan Dammahum tentang kesuksesan.

Dammahum tersenyum miring. Ia mengutuk ketololannya atas pemanasan yang buruk.

“Apa tujuan hidupmu, anak muda?”

”Sukses dan bahagia,” jawab Dammahum yakin. Ia sudah kapalan melatih jawaban itu.

Orang tua itu mengangguk.

Dammahum menaikkan alisnya. Hatinya berdecak, satu jalan terbuka! Maka, dilancarkannyalah informasi dan pemikiran-pemikiran yang siapa tahu belum terakses lawan bicaranya yang ternyata sudah tinggal di Lubuklinggau sepuluh tahun lamanya.

”Ada lagi?” tanya orang tua itu, seakan-akan jengah dengan kuliah ekonomi-motivasi.

Dammahum melepas lenguh. Ia mulai bosan dengan kesoktahuan kakek di hadapannya. Mungkinkah ini trik yang dipakai orangtua ini untuk menjatuhkan semangat dan mental karibku itu? Ah, murahan sekali. Aku tak semudah itu kaulumpuhkan, Pak Tua!

”Bukannya menuhankan harta, Pak,” Dammahum mulai lagi, ”tetapi bukankah agama dan kepercayaan mana pun, menganjurkan kita untuk hidup berkecukupan, bahkan berlebihan, demi membantu orang lebih banyak lagi. Bukankah membahagiakan diri sendiri dan orang lain itu perbuatan mulia?”

Orang tua itu tidak menjawab, seperti sengaja menunggu.

”Dan … bukankah itu salah satu upaya untuk merasakan kebahagiaan itu sendiri? Bukankah ketika sukses secara finansial, kita pun dapat merasakan kebahagiaan yang tak tertakar oleh orang-orang miskin, maaf, maksud saya, mereka yang tak berkecukupan secara ekonomi; seperti berderma, naik haji, membantu daerah bencana, membangun panti atau masjid ….”

Seakan-akan tak memedulikan rentetan ceramahnya, dengan tekanan suara yang diturunkan, orang tua itu menanyakan hal-hal yang sering orang-orang butuhkan dari motivator seperti Dammahum.

”Tentang pekerjaan itu sendiri,” jawab Dammahum. ”Mereka bertanya bagaimana bertahan di perusahaan besar, manajemen pengeluaran, upaya meningkatkan prestasi kerja, membangun usaha sendiri …”

”Lalu petuah yang kauberikan?”

”Cintai pekerjaanmu!” jawab Dammahum mantap.

Giliran si garin tersenyum miring.

”Apa maksud Bapak dengan ekspresi itu?”

”Untuk apa mencintai pekerjaan?”

”Agar dapat survive, bahkan meningkatkan taraf hidup. Yah, zaman sekarang …”

”Heh,” orang tua itu menyeringai, ”kalau benar orang-orang mencintai pekerjaan, mereka tak perlu meminta imbalan, bukan?”

Dammahum terdiam. Ia melipat daging dahinya, mencoba membuka buntilan perbekalannya yang lain.

”Pekerjaan adalah pembuluh darah. Dan uang adalah darahnya. Darah dalam pekerjaan …”

”Ups!” Dammahum menyela. ”Jangan terlalu filosofik, Pak! Nggak kepake!”

”Aku tahu ini tabu, Anak Muda,” katanya tenang. ”Tetapi, engkau tentu harus menyepakati ceritaku ini, bahwa ketika pimpinanmu bertanya motivasi kerjamu, lalu … refleks kau menjawab, ”Demi uang …” lalu kau gantung kalimatmu karena kau sadar telah membuka ketabuan, lalu … engkau dengan tergesa-gesa permisi untuk mengalihkan rasa malu. Kemungkinan besar engkau tak kembali lagi ke rapat itu. Mungkin saja kau tak akan pernah kembali ke kantor itu. Baik karena keinginanmu sendiri atau oleh kertas berlambang kebesaran perusahaan menghapus namamu dari daftar hadir pegawai ….”

Dammahum membuang muka. Bahunya naik-turun. ”Tetapi … tanpa materi, apalah kita,” Dammahum mencoba berargumentasi.

”Nah, kau cerdas, Anak Muda!”

”Tunggu dulu!” Dammahum tak ingin terjebak. ”Maksudku, tak dapat dipungkiri itu adalah salah satu jembatan untuk mendapatkan kebahagiaan.”

”Kebahagiaan bukan ’mendapatkan’ …”

”Kebahagiaan diciptakan,” potong Dammahum cepat. ”Bukan begitu?”

”Tentang menanggapi keadaan.”

”Ah, itu soal istilah saja, Pak.”

Orang tua itu tersenyum.

”Mmm … saya yakin Bapak cukup menangkap maksud kedatanganku. Maksudku … ya … kalau tak berkeberatan, langsung sajalah Bapak jelaskan maksud cita-cita Bapak yang ingin jadi orang miskin itu?” Dammahum mulai kesal.

Orang tua itu terkekeh kecil, ”Sebenarnya bukan hanya saya yang bercita-cita seperti itu …”

”Ya ya ya … I see,” potong Dammahum. ”Yang jelas, Bapak juga memiliki cita-cita itu, ‘kan?” kesabarannya menipis.

”Baiklah, Anak Muda,” garin itu membenarkan letak kopiahnya yang miring. ”Kita sudah begitu banyak ditipu oleh sesuatu yang namanya cita-cita, keinginan, mimpi-mimpi, atau obsesi, atau apalah namanya….”

”Ditipu? Bukannya itu adalah mafhum, bahkan kemestian?”

”Kita acap lupa bahwa keinginan atau mimpi-mimpi itu adalah pohon yang tak pernah mati. Ia terus bertunas. Tak pernah berhenti tumbuh, meskipun si pemiliknya sudah uzur atau tamat riwayatnya. Ya, kelelahan dalam memelihara pohon itu, tak pelak, turut berperan menguzurkan atau menamatkan hidup. Jadi, tidakkah mau sadar bahwa kita sudah dipermainkan oleh mimpi yang tak jelas rupanya? Bukankah itu sama saja diperdaya nafsu yang bertopengkan keinginan?”

Dammahum mengangguk-angguk pelan, tapi ia menolak takluk.

”Ketika kita dapat terus tumbuh menjadi orang yang baik,” jawab orang tua itu ketika Dammahum menanyakan arti kesuksesan menurutnya.

”Tumbuh menjadi baik? Baik yang seperti apa?”

”Sebagai seorang motivator, mustahil engkau tak memahami definisi kata itu?”

”Aku mau tahu pendapatmu. Lagi pula, itu terlalu absurd …”

”Ketika kita mampu menjaga harta-harta yang telah diberikan Tuhan sejak lahir. Itulah baik itu, Nak.”

”Harta-harta? Sejak bayi maksud Bapak?” intonasi Dammahum mirip sekali dengan suara anak SD yang penasaran.

Orang tua itu mengangguk. ”Saat itu kita dianugerahkan sifat jujur, adil, kasih sayang, cinta dan … banyak lainnya. Orang-orang yang baik adalah mereka yang mampu menjaga semua harta kehidupan itu. Terus menjaganya agar tak tergantikan oleh apa-apa yang kau bilang tadi: uang, jabatan, naik haji …”

”Terlalu berbau langit, Pak?” sanggah Dammahum. Ia tiba-tiba merasa bahasan itu tak relevan dengan kekinian.

”Itu masalah pilihan, Nak. Terlepas kau percaya ada atau tidaknya surga-neraka itu, ’langit’ adalah pelabuhan terakhir kita ….”

….

”Kalau mau dipikir-pikir, untuk apa kita berapi-api berpenghidupan kalau sudah tahu bahwa kita hidup bukan untuk selamanya ….”

….

”Di langit sana, kita tak tahu apakah akan bahagia atau tidak. Maka, berbahagialah di dunia ini dengan secukupnya.”

”Secukupnya?” tak ada lagi gebu dalam tekanan suaranya.

”Kauperhatikan orang-orang kaya. Gembirakah mereka? Jawabnya: ya. Tenangkah, damaikah hidupnya? Mereka sendirilah yang tahu. Karena semua berhubungan dengan cara mereka mendapatkan kegembiraannya. Dan … telah bersyukurkah mereka? Nah, ini berhubungan dengan tabiat hidupnya. Ia tak perlu bersusah-payah ke sana-kemari demi prestise seperti yang kausebutkan tadi apabila menyadari bahwa anak-istri sudah menanti di rumah. Atau yang lebih gawat, anggota keluarganya itu tiada merindukannya ….”

Dammahum termangu.

”Ketika kita meraup kegembiraan, kedamaian, dan rasa syukur dalam waktu yang bersamaan, itulah saat di mana kita tengah berbahagia. Kurang salah satunya saja, apa-apa yang dirasakan tak dapat disebut bahagia yang bahagia.”

”Jadi itu alasan Bapak tak ingin hidup kaya?”

Si garin tersenyum tipis. ”Tak akan ada orang yang bercita-cita seperti itu bila manusia tak muluk-muluk mendefinisikan ’kaya’. Miskin harta jauh lebih baik daripada harus berlelah-lelah meladeni interogasi malaikat di langit sana,” jawabnya sebelum berpanjang lebar menjelaskan keyakinannya bahwa kebahagiaan di langit sana baru didapat setelah hitung-hitungan pertanggungjawaban terhadap apa-apa yang telah dimiliki manusia semasa hidup telah usai. ”Kau tahu,” ia menatap Dammahum lamat-lamat, “dalam hidup ini, ketika potensi, amanah, tanggung jawab, dan kelebihan yang kaumiliki tidak diikuti dengan pengupayaan yang maksimal akan keberadaannya, maka engkau telah membuat selisih. Dan … selisih itu adalah … dosa!”

Wajah Dammahum memerah. Jantungnya berdegup lebih kencang. Hei Dammahum, apakah benar uangmu untuk berderma? Bila berderma, telah ikhlaskah niatmu? Pun bila kau merasa ikhlas, itu sama saja kau tak ikhlas, bukan? Bukanlah ikhlas artinya ketika kau melakukan kebaikan tanpa menyadarinya. Lalu … bagaimana niat berhajimu tahun ini, telah benarkah ia? Takkah ia hanya demi prestise seperti yang kaubilang tadi. Belum lagi, semua-mua kekayaan dan kecakapanmu yang lain, dapatkah kau rinci dengan saksama tentang pemanfaatannya di jalan yang benar? Keringat mengucur deras dari sekujur tubuh Dammahum.

”Beberapa minggu yang lalu,” garin membuyarkan lamunannya, ”juga ada motivator yang datang. Juga dari kota yang sama denganmu. Tapi sayang, kami tidak bertemu.”

”Apa?” ”Saat itu gurukulah yang menerimanya.”***

Lubuklinggau, 2009-2021

Benny Arnas
Follow Me
Latest posts by Benny Arnas (see all)

Comments

  1. Miftahur Rahman Reply

    Jika si dammahum kaya dan berkecukupan, perbulan bisa sodakoh 10% dari gaji, bisa diberikan ke fakir miskin/anak yatim piatu/orang yg membutuhkan bantuan karna berada dibawah garis kemiskinan, si raqib bisa jd mendoakan yg terbaik untuk si dammahum

  2. Din Reply

    Sa kasih jempol ke bawah dulu ya Bang: 👎
    .

  3. Kal Reply

    Dammahum si tukang ceramah diceramahi garin yang sekaligus pula ‘menceramahi’ pembaca.

  4. Ervina Eka Safira Reply

    Baguss

  5. Annisa A Reply

    Kalau Dammahum itu orang kaya yg juga bervisi ‘langit’, menggunakan hartanya di jalan yg benar, dia mungkin tidak akan bertentangan dgn ceramah garin, diskusi mereka bakal sejalan, artinya tidak apa-apa kaya asal cara mendapatkan dan menggunakannya juga benar.. Omong-omong saya baru tau ada istilah Garin, terima kasih loh ya 😀

  6. Noey Reply

    Jika mimpi-mimpi diibaratkan sebagai pohon yang tak pernah mati. Mungkin tidak ada salahnya seseorang hidup dengan merawat mimpi-mimpinya. Selama pohon yang tak pernah mati itu ia rawat dengan baik dan ia manfaatkan dengan benar. Maka akan sangat berguna bagi dirinya maupun orang lain disekitarnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!