Puisi Benny Arnas

 

Aroma Perjalanan

 

Antre di konter check in

Orang-orang berpasangan

Bercanda-kecil tentang tempat tujuan

Atau sarapan apa yang akan disantap berdua

Di luar, subuh belum tiba

Dinginnya udara bagai mengejek

Aku yang berdiri sendiri dalam barisan

Mengingatmu di rumah: 

Yang mungkin sudah terjaga

Mengaji usai tahajud

Atau menyiapkan sarapan terenak di dunia

Tentu saja, kelelahan mengoreksi PR murid 

Atau mengajari anak-anak mengaji 

Malam tadi, menguap sudah

Di muka petugas, aku tergugu

Kuserahkan KTP dan tiket 

Berdua, tanyanya—atau ejeknya

Ah, alangkah nyelekitnya

Musim semi tahun depan, kataku

Ia tertawa, memberiku boarding pass

Dalam pesawat, sebagaimana biasa

Puisi sekaligus permohonan doa kukirim

Rindu tiba-tiba merimbun dan cinta

Alangkah semak dan dinginnya

Jakarta, 30 September 2022

 

 

Dari Waldorf hingga Silent Apartment,

Rumah Kita Mekar Berbunga

 

Di luar unit 34A Waldorf 

Burung-burung berjalan kaki

Lupa caranya menjauh dari bahaya

Sebab semesta membuka tangan

Lewat restu dan ketabahan

Di dalam unit 34A Waldorf

Aku membuat sambal kentang

Dengan mata yang tak lepas

Dari resep andalanmu agar pedas 

Dan manisnya dekat

Nun di Puncak Kemuning nan monokrom

Kamu tak henti mengecek ponsel

Menunggu puisi dan kabar baik

Dan tersenyum oleh pesan yang rekah:

Sambal kentang itu sudah jadi!

Silent Apartment pun kudatangi

Janji-janji indah itu kulabuhi lagi

Kau menunggu puisi dan lagi

Lanskap Ljubljana yang cokelat kukirimi

Sua dan tawa pecah dalam mimpi

Di rentang 10.192 kilometer

Burung-burung terbang dari Lubuklinggau

Membuat Licon Street macet

Oleh serakan buah kam dan kasai

Yang membuat tanya mengawang:

Siapa yang pergi?

Mengapa kamu yang pulang?

Siapa yang berjanji?

Mengapa dia yang setia?

Sambal kentang habis sudah!

Waktu melepuh dan selamat

Datang ke sabana keemasan 

Yang membeku-bungkuskan 

Antara timur dan selatan

Rumah kita tumbuh di antaranya

Lubuklinggau, 19 September 2022

 

 

Di Pekarangan yang Rimbun Ini

 

Di pekarangan yang rimbun ini, kegembiraan

dan matahari jatuh cinta, meski tak ada tepuk

tangan, belalang dan bunga muri-muri senantiasa

antusias mendengarkan lenguh napasmu

ketika kau mengayuh sepeda atau berteriak-teriak

manja minta perhatian ayah yang sibuk

dengan puisi dan naskah-naskah

Di pekarangan yang rimbun ini, masa lalu

akan menunjukkan kepongahannya.

Semak-semak akan mati dan terus berganti lalu

kita—termasuk kau—akan rindu aroma

ilalang yang patah atau buahpena yang pecah,

meski semua kisah sudah digulung dan tak pernah

persis sama ketika diceritakan ulang

atau sekadar dikenang dengan tangis yang tak lagi

kuasa mengucurkan air mata.

Di pekarangan yang rimbun ini, kau bermain-main

dengan kupu-kupu yang mengepak-ngepakkan

masa depanmu.

Di pekarangan yang rimbun ini, jadilah bunga abadi

yang terus tumbuh, mekar, dan mewangi di rekah

tangan ayah dan telapak kaki ibu, wahai anak-anakku …

Lubuklinggau, 11 Maret 2018

 

 

Serat Kecemasan 

 

Keringat sebesar biji kopi

Merimbuni pori-poriku

Asin di lidah, pahit di jiwa

Kabar baik datang lewat pintu

Terbuka dalam kira-kira

Mengetuk jendela yang baru

Kau basuh dengan ampas derita

Panjang liku ujian adalah

Keriting uban yang kesat

Hingga nasib menyaru cinta

Yang mulanya merah bendera

Lalu luka menjadikannya marun sudah

Permintaan maaf adalah nyeri

Berkhidmat atas nama harga diri

Kecemasan selalu lepas kendali

Kuseruput kopi, keringatmu pahit sekali

19 September 2022

Benny Arnas
Follow Me
Latest posts by Benny Arnas (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!