Selubung Niat di Balik Transfer Pemain

estatico.vozpopuli.com

Willie Groves memang tidak setenar Christiano Ronaldo. Harganya pun tidak semahal Gareth Bale. Tapi, tanpa dia, barangkali kebijakan transfer pemain antarklub tidak akan pernah ada atau, paling tidak, ide tersebut akan terlambat datang.

Groves adalah pesepak bola pertama yang menorehkan sejarah transfer dengan nilai 100 pounds saat pindah dari West Bromwich Albion (WBA) ke Aston Villa. Jika Anda membayangkan proses transfernya berjalan mulus disertai perayaan meriah dan potong pita atau tumpeng, Anda harus kecewa. Pada tahun 1893, saat sejarah tersebut terukir, Aston Villa, yang merupakan rival WBA, secara ilegal melakukan pendekatan pada dua pemain andalan WBA, Willie Groves dan Jack Reynold. Sialnya, mereka setuju.

Kenapa ilegal?

Pada tahun 1885, FA (federasi sepak bola Inggris) menetapkan pendaftaran pemain untuk klub, setelah sebelumnya para pemain boleh bermain di klub mana pun yang disukai tanpa ikatan kontrak. Efeknya, pemain tidak bisa lagi keluar masuk klub sesuka hatinya.

Dalam latar demikian, Groves dan rekan setimnya, saat memutuskan bergabung ke Aston Villa, statusnya masih pemain WBA. WBA pun berang. Marah. Mereka lantas mengadukan Aston Villa ke FA, yang membuat Aston Villa didenda 25 pounds. Dan masih diharuskan membayar mahar 100 pounds kepada WBA untuk kepindahan Groves.

Patut disimak dengan teliti di sini ihwal yang melandasi tujuan transfer Aston Villa itu sendiri. Tindakan Aston Villa membajak dua pemain WBA itu bukan hanya terkait dengan upaya menguatkan skuatnya, tetapi terutama untuk melemahkan rivalnya. Hasilnya pun memuaskan. Aston Villa berhasil memenangkan Liga Divisi 1 tahun 1893/1894. Sungguh sebuah alasan yang “kejam”!

Lantas, bagaimana perbandingannya dengan situasi sekarang? Apakah tujuan transfer pemain menjadi lebih mulia dibanding dulu?

Tentu tidak. Pasalnya, konsep melemahkan-klub-lain-demi-memperkuat-klub-sendiri masih terus banyak dijumpai. Terutama, di Eropa.

Sebut saja Borussia Dortmund, yang cemerlang di Liga Champion tahun 2013, dengan mengalahkan klub raksasa Real Madrid dan melaju ke final. Mereka memiliki pemain-pemain garda yang kompak, yang membuat klub-klub besar lain kesengsem.

Serentak semua berubah ketika satu per satu pemain andalan itu dijual. Terutama saat Lewandowski berhasil diboyong oleh Bayern München yang notabene adalah rival sengit mereka. Peforma tim menurun. Bahkan berujung pada pemecatan Jürgen Klopp, sang pelatih, yang kini menukangi Liverpool.

Itu baru satu contoh. Masih banyak contoh lain yang menunjukkan konsep egoistis di balik transfer pemain itu. Memanggungkan kesan bahwa yang boleh “sukses” cuma saya, lainnya haram. Persis kelakuan Mamarika yang seketika gatal-gatal melihat bangsa lain digdaya.

Itu pulalah alasannya mengapa kompetisi sepak bola antarnegara yang digelar setiap empat tahun sekali hanya mengizinkan tiap pemain membela satu negara, sekalipun memiliki lebih dari satu kewarganegaraan. Cukuplah konsep transfer berbau anyir itu diterapkan di level klub, dan biarkan negara-negara senantiasa memiliki pahlawan-pahlawannya.

Apakah lantas kesuksesan selalu menyertai klub-klub yang bisa memboyong pemain-pemain utama klub lain? Tidak semua klub seberuntung PSG atau AS Monaco yang dengan jajaran pemain bintangnya bisa menjuarai liga. Ada pula yang senasib duo Manchester musim ini, dipantati klub semenjana ala Leicester City. Ada pula bahkan yang terpuruk dan terpecah belah. Siapa lagi kalau bukan Real Madrid dengan skuat Los Galacticos-nya.

Namun, agaknya, bagi Real Madrid, tujuan transfer tak sesederhana perkara melemahkan-klub-lain-demi-memperkuat-klub-sendiri. Di tangan dingin Florentino Perez, presiden klub, niat transfer menjadi bercabang-cabang. Anda pasti masih ingat gelegar janjinya untuk memboyong Luis Figo dari Barcelona jika terpilih jadi presiden klub tahun 2000 silam. Persis tepukan yang gemuruh dalam kampanye buih-buih ludah para wakil rakyat yang menjanjikan perluasan lapangan kerja.

Selain target melemahkan rival abadinya, Barcelona, Perez menjadikan transfer Luis Figo sebagai iming-iming demi memuluskan ambisinya menjadi presiden Real Madrid, yang belakangan benar-benar ditepatinya. Inilah bedanya Perez dengan bapak-bapak dewan kita yang terhormat.

Setelah menjabat, Perez mulai mewujudkan proyek gilanya yang bertajuk Los Galacticos (tim bertabur bintang) versi 1. Diaraknya satu per satu pemain bintang dengan harga mahal. Luis Figo hanya sebuah permulaan. Berikutnya, dia mendatangkan Zidane, Ronaldo da Lima, Beckham, Owen, dan bintang-bintang lainnya, kendati harus disertai dengan membuang pemain-pemain penting yang telah ada macam Hierro dan Makelele. Di proyek Los Galacticos versi 2, kembali beberapa bintang didepaknya, sebutlah Xabi, Di Maria, dan Ozil.

Memang, saya tidak hendak menganggap Ronaldo da Lima tidak penting bagi Real Madrid. Karena berkat Ronaldolah penjualan kaus klub melambung tinggi. Tidak juga dengan Beckham, yang selalu dikintili tawaran iklan-iklan. Akan tetapi, faktanya, perlahan nun pasti prestasi Real Madrid melempem bagai krupuk masuk angin. Melandai, menurun, kemudian jadi telo benar sehengkangnya Vicente del Bosque.

Tentu Perez tak tinggal diam. Ia selalu bergerak cepat melakukan pembenahan-pembenahan seolah pahlawan benar yang tengah berjuang mengangkat martabat klub terhebat, bergengsi tinggi, terkaya seplanet bumi. Dia memperlakukan klub layaknya orang kaya sakit jiwa yang sanggup membeli segala jenis makanan semahal apa pun, meski belum tentu dimakan semua. Dari soal pemain hingga pelatih.

Tanpa ampun, siapa pun pelatih yang tak berhasil memuaskan libidonya meramu para pemain yang dibelinya dengan harga mahal langsung dipenggal. Perez memperlakukan para pelatih bak penulis yang disuruh menulis oleh penerbitnya, memakai komputer supercanggih dengan aplikasi ngetop, minus Ms Word yang justru penting. Bila sang penulis mengeluh atau tak segera menyelesaikan tugasnya karena kesulitan menulis tanpa Ms Word, dengan entengnya Perez akan berkata, “Kan bisa pakai program lainnya? Photoshop, kek; Corel, kek; Autocad, kek? Kan itu sudah pada canggih? Gimana sih kamu? Nulis kok ndak becus. Minggat sana!”

Seyogianya Perez dan para pemilik klub lainnya, juga pelatih-pelatih yang mudah kesengsem pada pemain-pemain bintang, segera insaf bahwa sekalipun mereka mengisi skuatnya dengan pemain-pemain hebat, semuanya butuh proses. Butuh waktu, dedikasi, dan kesabaran. Mereka harus mengerti bahwa apa pun jenis biji kopinya, semahal apa pun harganya, setua apa pun luwaknya, mau diolah jadi cappuccino, coffee latte, atau kopi tubruk, tujuannya cuma satu: enak diminum. Kalau tidak enak, kedai bakal sepi!

Dari sini, saya lalu berpikir, perlukah setiap klub terlibat dalam bursa transfer demi mendapatkan pemain yang diharapkan menguatkan skuatnya? Jikapun benar-benar perlu, lantas apa fungsinya akademi?

Saya kira ini tak ubahnya mamah-mamah muda yang tidak mau menyusui bayinya lantaran menganggap susu sapi lebih bergizi daripada susunya sendiri. Tentu saja, selain menyalahi kodrat, itu kecemasan yang disebut Kierkeegard sebagai melecehkan diri sendiri. Susu mamah sampai kiamat aslinya untuk bayinya, bukan ayahnya, mau segemar apa pun ayahnya mainan susu.

Ah, mulai gagal fokus. Cuci muka dulu, deh!

Shofyan Kurniawan
Add Me
Latest posts by Shofyan Kurniawan (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!