Setiap Saat Ketika Ia Sibuk Melukis dengan Air Matanya Sendiri

Marion Bolognesi

 

Sesaat sebelum kantuk menyergap kesadarannya dan lapar menyerang pikirannya untuk beranjak, atau orang-orang yang akan sibuk bertanya “Bagaimana harimu hari ini?” kepada pasangannya di atas ranjang, tokoh utama kita tak akan meninggalkan lukisannya yang belum rampung itu. Sekalipun kau datang membawa dongeng yang sangat menarik dengan dua cangkir kopi yang mengepulkan aroma nikmat, beserta gorengan pisang sehangat isu korupsi yang tak pernah absen diperbincangkan namun tak diberitakan di tv itu, ia tak akan bisa kau ajak bicara.

Sebelum tokoh utama kita merampungkan lukisannya itu dan bisa kau ajak bicara, bolehlah jika aku yang mewakilinya untuk sekadar memenuhi keingintahuanmu.

Pagi itu, yang hampir sama dengan pagi-pagi sebelumnya, tokoh utama kita berjalan di antara orang-orang yang berlalu-lalang dengan barang belanjaan di kedua tangan mereka. Satu dua tampak mengangkat karung besar di punggung, beberapa di antaranya menawarkan barang dan beberapa lagi menawar harga. Tokoh utama kita ini, membawa sebuah kanvas yang katanya berisi lukisan. Entah apa yang ia lakukan, yang kutahu ia hanya membawa lukisan itu berkeliling. Ia tak bicara, tak mencari atau menawar sebarang pun, juga tak berniat menawarkan lukisannya.

Salah seorang sempat bertanya pada tokoh utama kita ini, “Apa yang ada dalam lukisanmu, Pak?”

“Apa yang kau lihat?”

“Seseorang yang membunuh dirinya?” Orang itu menjawab tak yakin, namun tokoh utama kita mengangguk.

“Itu adalah kau.” Selepas mengatakannya, tokoh utama kita pergi. Ia menyisakan tanya dalam wajah orang-orang yang mendengar percakapan keduanya, dan itu terjawab beberapa hari kemudian, yang kutahu lelaki yang bertanya tadi ditemukan mati dalam kamarnya.

***

Dengan selembar kain yang dibawanya dari rumah, tokoh utama kita menggelarnya tak jauh dari pasar. Ia meletakkan kanvas yang dibawanya lengkap dengan penyangga beserta kuas. Namun, kau akan menemukan satu hal ganjil di sana. Jika biasanya seorang pelukis akan kau temukan dengan cat warna-warni yang sering kau sebut dengan mejiku-hibiniu, kau tak akan menemukannya ada bersama tokoh utama kita. Ia hanya membawa satu botol cairan bening, yang ia tuang ke dalam sebuah mangkuk atom. Tangannya menari-nari begitu luwes. Menyapu sudut kanan kanvas hingga sudut kiri, dari atas ke bawah, dari tengah ke samping. Sesekali ia mencelupkan kuasnya dalam mangkuk itu, lantas kembali menggoreskan kuas itu pada permukaan kanvas.

Seorang bersetelan mecing dengan jas dan sepatu hitam mengilap melihatnya. Awalnya orang ini mendatangi tokoh utama kita karena merasa kasihan. Begitu mendekat, rasa kasihan itu berganti dengan rasa penasaran atas apa yang dilakukan oleh tokoh utama kita. Ia memandang lekat pada lukisan itu. Meski begitu, tokoh utama kita tak merasa risih atau terganggu atas kehadiran orang ini, ia masih meneruskan lukisannya. Lelaki bersetelan mecing itu berdeham cukup keras, ingin menarik perhatian. Tak mendapat respons seperti yang diinginkannya, lelaki itu membuka suara, “Dengan apa kau melukis, Pak?”

“Air mata.” Tokoh utama kita menjawab dengan tak mengalihkan pandangannya sesenti pun, ia bertingkah seolah lukisan itu adalah magnet yang menarik habis perhatiannya.

Orang dari belahan bumi mana yang mampu melukis dengan air mata? Orang ini mengira mungkin saja tokoh utama kita mengalami sedikit keterbelakangan mental, atau mungkin mata tuanya telah berhalusinasi.

“Air mata? Jika air mata bisa digunakan untuk melukis, lukislah diriku ini.” Sepertinya orang ini pun mulai gila. Ia seolah menantang tokoh utama kita untuk melukis dirinya dengan air mata.

“Aku telah melukismu.” Lelaki itu tampak bingung, sejak kapan lelaki tua dengan tubuh kurus dan rambut gondrong tak terurus itu melukisnya? Lagi pula ia tak melihat wajahnya ada pada lukisan itu.

“Apa yang kau lihat?” tanya tokoh utama kita.

“Seorang lelaki yang terjatuh dari kursinya.” Tokoh utama kita hanya mengangguk, ia meneruskan kembali lukisannya dengan saksama.

Sudah kukatakan orang dengan setelan mecing ini mulai gila. Bagaimana mungkin ia dapat melihat seorang lelaki yang tengah terjatuh dari kursinya pada lukisan yang hanya dilukis dengan air mata itu? Namun, penglihatannya itu nyata adanya. Begitu orang ini memilih pergi, esoknya, koran-koran, tivi, radio, penuh dengan pemberitaan ia terlibat kasus korupsi.

***

Banyak orang pintar yang berkata untuk tak percaya dengan ramalan-ramalan atau hal-hal yang tak berasal dari Tuhan dan utusan-Nya. Itu perkara musrik katanya. Mereka memperdengarkan ayat-ayat perihal itu, atau kisah-kisah orang terdahulu pada orang-orang yang mencoba menemui tokoh utama kita. Benarkah begitu? Apakah mereka akan tetap mengatakan hal yang sama jika mengetahui apa yang terjadi pada orang-orang begitu melihat lukisan tokoh utama kita?

Lukisan itu memang tampak seperti lukisan biasa, bahkan satu dua orang yang tak acuh dengan lukisan itu, awalnya mengira itu hanyalah sebuah kain putih yang terjatuh dalam kubangan air. Begini, jika kau melihat suatu kertas putih, kanvas, atau hal semacam itu penuh dengan warna-warna merah, kuning, hijau, dan sebagainya dengan suatu objek cantik yang bisa kau kenali, kau akan menyebut itu lukisan. Namun, jika yang kau dapati hanyalah sebuah kanvas putih, yang terlihat basah di beberapa bagian, tampak menguning di beberapa tempat dengan pola abstrak apakah itu bisa kau sebut lukisan? Begitulah kiranya pikiran awal orang-orang yang hanya sekilas melihat lukisan tokoh utama kita.

Namun, jika kau amati dengan saksama, lukisan itu seolah mampu mengubah dirinya sesuai dengan apa yang ada dalam pikiranmu. Aku pernah melihat tokoh utama kita yang menggelar kain di bawah pohon rindang di taman kota. Itu sebuah siang yang cerah. Beberapa pedagang jajanan nampak melebarkan payung di atas dagangannya, beberapa ojek mangkal di tempat yang teduh, sisanya orang-orang yang menggelar tikar dengan makanan yang mereka bawa dari rumah bersama keluarga atau satu dua pasangan yang duduk pada kursi-kursi.

Di antara orang-orang itu, tokoh utama kita melukis. Tak ada hal lain yang ia kerjakan selain melukis. Di mana pun itu, entah pada rumah dengan dinding-dinding beku, atau sebuah tempat ramai dengan kabar-kabar yang berseliweran, tokoh utama kita tak akan peduli dengan hal lain selain lukisannya.

Kebanyakan orang mulai memperhatikannya, lebih banyak yang mulai bergumam membicarakan pelukis yang katanya mampu meramal dengan lukisannya itu. Seorang dari mereka meneguhkan niat menghampiri tokoh utama kita ini. Ia merasa penasaran seperti apa lukisan itu hingga mampu meramal seseorang. Begitu mendekat, orang ini tampak mengernyitkan dahinya. Itu bukan lukisan, begitu batinnya. Orang ini hanya mendapati sebuah kanvas yang terlihat basah di beberapa tempat. Ia melihat tokoh utama kita akan menyapukan kembali kuasnya jika kanvas itu mengering. Tidak ada suatu gambar mengerikan atau yang terlihat indah di sana.

“Sudah kukatan jangan percaya dengan ramalan. Aku sudah melihatnya dan tidak ada apa-apa di lukisan lelaki tua itu.” begitu katanya pada orang-orang. Ah aku sudah mengira, ia termasuk salah seorang pintar yang taat.

Ramai orang mulai berani mendekat, mereka seolah ingin membuktikan perihal mana yang benar, perkataan orang pintar tadi atau orang-orang yang membawa kabar-kabar cenderung gelap itu?

“Bukankah itu gambar sepasang pengantin?” Salah satu bagian dari mereka mulai berpendapat.

“Apanya yang sepasang pegantin? Bukankah itu gambar mempelai wanita yang menangis?” satu yang lain menimpali.

“Apa-apaan kalian ini, itu gambar seorang tentara.”

“Bukan, itu gambar sebuah bus yang terguling.”

Begitulah kiranya orang-orang mulai berdebat perihal lukisan tokoh utama kita. Kau tak akan pernah tahu, gambar apa itu sebelum kau menyaksikannya sendiri atau sebelum kau merampungkan cerita ini.

Dari kejauahan, yang mungkin berjarak sepuluh meter dari tokoh utama kita melukis, seorang anak melihat keramaian itu. Ia bertanya pada ibunya apa yang terjadi. Ketika anak itu akan mendekat, ia dicegah oleh ibunya. “Mengapa aku tak boleh mendekat, Ibu? Aku mau diramal.”

“Kita tak boleh percaya pada ramalan, Sayang.” Namun begitu, anak-anak tetaplah anak-anak. Rasa penasarannya melebihi rasa takutnya. Meski ibunya telah menceritakan dongeng betapa mengerikannya sebuah ramalan sebagai pengantar tidurnya, ia tak merasa takut. Begitu ibunya lengah, anak ini berlari mendekat. Ia menyibak kerumunan orang-orang yang wajahnya mulai pucat itu.

“Apa yang kau lukis, Kakek?” Tokoh utama kita menoleh. Pandangannya jatuh pada seorang anak yang menggenggam sebuah permen.

“Apa yang kau lihat, Nak?”

Anak ini terdiam, ia meneliti keseluruhan lukisan itu. Ibunya tampak menahan napas, meski ia mengatakan untuk tak percaya pada ramalan, namun rasa takut atau lebih tepat kau sebut khawatir itu tetap menggelayuti hatinya. Sebagai seorang ibu, ia tentu tak mau sesuatu yang buruk terjadi pada anaknya, meski kabar-kabar itu mengatakan ramalan tokoh utama kita tak selalu buruk.

“Seorang wanita cantik dengan anaknya yang tampan sepertiku, apa mereka keluargamu?” katanya kemudian.

Untuk pertama kalinya, aku melihat tokoh utama kita menarik kedua ujung bibirnya, ia menepuk-nepuk pelan kepala anak kecil itu.

“Kau benar, Nak, ini adalah lukisan istri dan anakku.”

Orang-orang di sana bertambah pucat, apa yang anak itu katakan tak sama dengan apa yang mereka lihat. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi? Apakah mata seorang anak kecil yang polos lebih menunjukkan kebenaran daripada mata seorang dewasa yang telah berpengalaman dan penuh ambisi?

Evik Kumala Sari
Latest posts by Evik Kumala Sari (see all)

Comments

  1. Ratna Purnamasari Reply

    Kece sekali

  2. Rofikoh Sulistiani Reply

    👍👍

  3. Annisa Nurwulan Maulida Reply

    mantapquee

  4. Suci Saraswati Reply

    Kerbis! Keren abis 😀

  5. Rangga Reply

    Cerpen yang cukup menarik, mantap!

  6. Intan Reply

    Bagus sekaliii, bacanya merinding takut. Endingnya unpredictable. Kereeeeennn!!!

  7. Indah Reply

    keren sekali

  8. grifih mercia Reply

    waahhh takjub aku!

    • Frostyven Reply

      Keren gila

  9. Yusroul A Reply

    Salam untuk penulis. Bagus, cantik ceritanya. Semangat terus dalam berkarya kakak!!

  10. Em Reply

    Wow! Maasyaa Allah daah.. Spechless akuuh.. Mantap Kak.. Baarakalahu fiikk…

  11. Felita Sukanti Reply

    Wah, bagus. Sambil membaca, saya tidak bisa menebak endingnya akan seperti apa.

Leave a Reply to Rangga Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!