Sigar Jambe

selingkuh-ilustrasi-dailymail

Sumiatun, teman lama yang sudah lama tidak bertemu, mendadak menyapa dan bertanya ini itu padaku. Kami berbincang banyak hal, layaknya teman dekat yang terpaut jarak teramat jauh—meski sebenarnya tidak begitu. Rukoyyah yang suka pencilakan, Parmin yang sok gagah, serta Pak Narto, guru olahraga paling galak di antara guru-guru waktu itu, tak luput dari perbincangan kami mengenang masa-masa SMP dulu. Giliran yang terakhir itu, Sumiatun tertawa lebar saat menceritakannya.

“Aku dulu pernah nembak Pak Narto, Na. Bagiku, guru galak itu adalah guru paling cool. Paling aku suka! Macho sekali!”

Aku terbelalak tak percaya mendengar cerita gila dari mulut Sumiatun itu.

Saat dia mulai menceritakan suami dan anak-anaknya, aku hanya termangu. Saat dia menceritakan kebaikan mertuanya, aku ikut merasa haru. Hingga akhirnya dia menuntut balik aku menceritakan keluargaku sekarang, suamiku, juga anak-anakku.

Dengan senang hati aku melakukannya. Aku ceritakan dengan gamblang bagaimana kehidupanku sekarang. Terakhir, aku menceritakan padanya, bagaimana hingga usia pernikahan yang kesekian aku belum mendapat momongan.

Sumiatun memberi aku semangat untuk tidak cepat putus asa. Dia ceritakan banyak hal yang dapat dilakukan oleh pasangan yang belum dikaruniai momongan.

Hampir tengah hari, kami baru menyudahi perbincangan. Sumiatun yang tubuhnya berubah sangat gendut itu harus segera pulang. Tapi, sebelum kami berpisah, dia sempat menyodorkan hapenya padaku, memperlihatkan capture yang entah kapan dia ambil. Di sana, seorang lelaki berdiri di samping seorang perempuan cantik. Lelaki itu memegang segelas kopi. Si lelaki memakai kaus. Ganteng sekali.

Aku melongok melihatnya.

“Ini suamimu, kan? Kemarin aku bertemu waktu dolan ke rumahnya Tumini. Semula aku tidak tahu, Na, kalau dia itu suamimu. Tapi setelah tanya-tanya, nyambung juga akhirnya,” kata Sumiatun, semringah sekali. “Suamimu itu ganteng, Na! Aku tidak menyangka kau akan dapat suami seganteng itu.”

Sumiatun pergi.

Mendadak saja, batinku terusik. Aku ingat lagi tampang suamiku dalam capture yang ditunjukkan Sumiatun. Suamiku itu memakai kaus, memegang segelas kopi di samping seorang perempuan cantik. Belahan rambutnya tepat berada di tengah, di atas ubun-ubun. Belahan rambut sigar jambe.

***

Belum pernah aku merasa sekhawatir ini. Belum pernah sekali pun.

Dulu, waktu keluargaku mengatakan Supriyono bukan pilihan yang tepat untukku, aku tidak merasa khawatir. Dikatakan Supriyono kere, Supriyono hanya orang rendahan yang tak terpandang, aku bergeming. Aku hanya tidak rela melepas orang sebaik dan sebertanggung jawab Supriyono.

Kau tahu, selama ini Supriyono yang menjadi tulang punggung keluarganya. Dia yang membiayai pendidikan adik-adiknya, tak kurang sejak mereka masih SD hingga tamat perguruan tinggi. Supriyono pula yang setiap hari merawat lelaki asal muasal dirinya, yang sudah sakit-sakitan sejak empat tahun sebelum aku mengenalnya.

Melihat lelaki seperti itu, aku tak ingin menyesal seumur hidup karena melepaskannya. Aku mencintai Supriyono. Supriyono juga mencintaiku. Tak ada pilihan lain selain aku harus menikah dengannya.

Di tengah kecamuk keluargaku yang tetap tidak setuju, di tengah kecaman dan ancaman tidak akan mengakuiku sebagai anggota keluarga, aku nekat mencatatkan hari bahagiaku bersama Supriyono di KUA.

Kau tidak perlu bertanya apa yang terjadi kemudian. Sebab tentu, aku dikucilkan layaknya anak yang tidak berpekerti baik. Kedatanganku ke rumah tak ubahnya debu yang harus selalu mereka bersihkan setiap hari: disapu, dilap, bahkan hingga dipel dengan cairan khusus.

Aku berusaha untuk tidak kecewa dan sedih. Di dunia ini tidak ada yang aku butuhkan selain Supriyono. Bagiku, memiliki Supriyono adalah kebahagiaan yang lebih dari cukup. Aku tidak perlu bapak, ibu, dan kakak-kakakku berlaku baik padaku. Biarkan saja mereka hidup dengan kepicikan cara pandang mereka terhadap Supriyono. Aku tidak akan menggugat atau apalah untuk kembali meluruskan cara pandang mereka yang terlanjur sempit—menurutku.

***

Kekhawatiran yang sepuluh tahun lalu sama sekali tidak muncul, kini mendadak datang.

Aku menentangnya. Berkali-kali bahkan aku membengkokkan arah pikiranku, berharap rasa khawatir itu lenyap dan memilih pergi. Tapi sungguh, usahaku itu sia-sia belaka. Toh pada akhirnya aku tetap gelisah. Dadaku sesak bukan kepalang dibekap kekhawatiran.

Belahan rambut sigar jambe yang aku lihat dalam foto di hape Sumiati….

Apakah Supriyono lupa, sebelum aku menikah dengan Supriyono, aku pernah memintanya mengubah belahan kepalanya? Aku ingin Supriyono membelah tepi rambutnya. Belahan tepi lebih menunjukkan pribadi yang arif dan baik. Santun dan sopan. Berbeda dengan belahan sigar jambe yang lebih mengarah ke konotasi nakal dan kurang ajar.

Terlepas dari benar atau salah, aku memang tidak suka belahan sigar jambe itu ada pada diri suamiku. Aku sama sekali tidak suka.

“Kenapa?” tanya Supriyono saat itu.

“Dalam keluargaku tidak ada seorang pun yang membelah rambutnya dengan belahan sigar jambe. Setiap lelaki di keluargaku selalu membelah rambutnya di tepi atau memotong rambutnya pendek sekalian. Sedang yang perempuan selalu mengucir rambutnya di belakang dengan membiarkan poni sedikit di dahinya.”

“Tapi sejak kecil aku sudah membelah rambutku dengan sigar jambe, Na…,” Supriyono berusaha menjelaskan.

“Dan aku tidak mungkin mengubah persepsiku, belahan sigar jambe hanya untuk lelaki nakal dan kurang ajar.”

Supriyono diam.

“Mengubah belahan rambut lebih mudah daripada mengubah persepsi seseorang, Sayang…,” kataku kemudian. “Untuk mengubah belahan rambut, kau cukup mengambil sisir dan menata rambutmu. Tak lebih dari semenit semuanya sudah selesai. Tapi mengubah persepsi… tentu kau tahu kan, bagaimana sulitnya…?”

Supriyono mengangguk-angguk. Lelaki itu tampak tertegun kemudian. Wajahnya tampak tegang. Khas saat orang tengah berpikir.

“Apa itu menjadi persyaratan mutlak?” tanyanya kemudian.

“Iya. Jika kau membelah rambutmu di tepi, itu artinya kau mencintaiku dan kita menikah. Tapi jika kau membelah rambutmu dengan belahan sigar jambe, itu sudah cukup memberikan pesan, kau sedang ingin mencari yang lain. Belahan tepi menunjukkan keberpihakanmu padaku, kau masih mencintaiku, kau masih ingin bersamaku. Belahan sigar jambe menunjukkan kebimbangan, antara kau mempertahankan diriku atau menoleh pada yang lain selainku.”

“Begitukah?”

“Tentu saja,” kataku. “Lakukanlah itu untukku!”

Supriyono mengangguk-angguk lagi.

***

Supriyono selingkuh?

Aku belum percaya benar. Kuingat-ingat lagi foto yang ditunjukkan Sumiati padaku dengan hati sakit sekali. Ada segelas kopi di tangan Supriyono saat itu.

Kopi? Bagaimana mungkin Supriyono minum kopi? Suamiku itu tidak suka kopi. Jika pun aku harus menyiapkan minuman, suamiku hanya mau teh atau air putih saja. Suatu kali bahkan aku pernah memberinya kopi saat dia memintaku membuatkan minuman. Suamiku itu marah besar. Dalam ceracau kemarahannya, dia terus menegaskan padaku, seumur hidupnya dia tidak akan minum kopi meski dia akan mati jika tidak meminumnya.

Tapi, di foto itu suamiku minum kopi. Apakah sebegitu penting perempuan di samping suamiku itu hingga dia harus minum kopi? Suamiku mati-matian tidak akan minum kopi. Jika sekarang dia minum kopi, tentu itu sudah cukup menjelaskan betapa suamiku rela mati untuk perempuan itu. Ah…!

Satu minggu lamanya hatiku sesak. Tak tahan aku ingin segera bertanya pada Supriyono tentang sesak di hatiku itu.

“Kau selingkuh?”

Supriyono mengerutkan keningnya. “Maksudmu?”

“Jangan katakan kau ini berbohong padaku, No! Kau selingkuh dengan perempuan lain atau bagaimana, aku sudah melihatnya.”

Supriyono tetap tak mengerti. Dia tunjukkan wajah bodoh kepadaku.

“Maksudmu?” tanyanya lagi, membuatmu makin muak pada suamiku itu.

“Aku istrimu, No. Sudah sepuluh tahun kita menikah. Aku tahu jelas bagaimana dirimu. Aku bisa merasakan dengan baik perubahan sikap yang kau tunjukkan padaku. Kau selingkuh! Kau menodai hubungan kita! Aku sudah melihat semuanya. Kau minum kopi. Kau membelah rambutmu dengan sigar jambe. Kau sungguh bajingan! Kau pantas disebut bangsat!”

Supriyono beku. Matanya saja yang tajam menatapku. Ada kesumat yang bergolak pada tatapan mata itu.

“Kau terlalu mengada-ada, Na. Minum kopi? Sigar jambe? Apa maksudmu? Apakah ada yang melarang minum kopi? Apa salahnya aku minum kopi? Sigar jambe? Mengubah belahan rambut tidak ada hubungannya dengan yang kau tuduhkan itu?”

“Halah! Kau tidak usah bohong padaku! Kau tidak suka minum kopi. Tentu saja kalau kau minum kopi ada orang yang mengharuskanmu. Dan aku tahu, orang itu tentu sangat penting bagimu. Sebaliknya, aku kau anggap sudah bukan apa-apa lagi. Kau mengubah rambutmu sigar jambe. Padahal dulu aku memintamu membelah tepi rambutmu. Kau kira aku bodoh?”

Kulihat Supriyono merapatkan bibirnya. Amat rapatnya.

“Supriyono, mengapa sekarang kau berubah bangsat padaku? Kau begitu bajingan dengan melakukan semua itu padaku. Tidakkah cukup apa yang aku lakukan padamu? Tidakkah cukup semua pengorbananku untuk kita? Benar-benar bajingan kau ini, Supriyono! Tega kau selingkuh!”

Wajah supriyono berubah sangat merah. Tidak ada senyum di bibirnya seperti yang dulu sering dia tunjukkan. Lelaki itu lantas berpaling, mengambil langkah menjauh dariku, mengambil segelas air, duduk, dan berangsur meminumnya. Tanpa berkata-kata padaku, Supriyono langsung masuk ke dalam kamar. Tidur.

***

Aku tak pernah dapat menerima alasan apa pun yang diberikan Supriyono padaku. Bahwa minum kopi bukan sesuatu yang buruk, bahwa belahan rambut tak patut dijadikan masalah besar, aku tak peduli. Nyatanya memang Supriyono telah berubah. Apa mungkin dia akan marah jika aku menuduhnya selingkuh kecuali itu benar adanya?

Supriyono…, Supriyono! Jangan kira aku ini perempuan bodoh yang bisa begitu mudahnya kau tipu. Jujur saja jika kau memang selingkuh! Akui saja dengan seterang-terangnya. Dasar bajingan! Bangsat!

Satu bulan setelah percekcokan itu, Supriyono menceraikan aku. Aku sudah mengira itu yang akan dibuatnya. Sebab hari-hari setelah percekcokan itu, aku selalu tak suka dengan segala kalimat dan perbuatannya. Dia selalu minum kopi di depanku. Rambutnya pun selalu dibelah sigar jambe.

Aku benar-benar muak dengan Supriyono. Aku sangat membenci Supriyono.

Dua bulan kemudian, Supriyono menikah dengan perempuan yang ada di foto yang ditunjukkan Sumiati padaku. Lewat mulut Sumiati pula, saat kebetulan kami bertemu, Supriyono mengatakan, aku adalah perempuan yang picik dan berpikiran sempit.

“Bagaimana mungkin minum kopi dan rambut sigar jambe menjadi alasan untuk menuduh perselingkuhan…?” kata Sumiati, menirukan kalimat Supriyono.

Aku diam dengan perasaan terkecam. Supriyono bangsat!_

Sumber gambar: ipotnews.com

Ulin Nuha Mahali
Latest posts by Ulin Nuha Mahali (see all)

Comments

  1. Adam Reply

    Cerita yang cukup menarik. Lebih menariknya lagi, rupanya penulisnya sendiri lah yang berambut Sigar Jambe. Wkwkwk… Plot twist.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!