Beliau adalah ‘Abdurrahim al-Isthakhri Abu ‘Amr. Beliau pernah menempuh perjalanan yang cukup jauh menuju Hijaz, menuju Iraq, menuju Syiria. Sebuah perjalanan yang tentu saja dilingkupi oleh kekuatan rohani. Beliau bersahabat dengan Syaikh Ruwaim al-Baghdadi. Beliau juga sempat menyaksikan Syaikh Sahl bin ‘Abdillah at-Tustari.
Jalan hidup beliau adalah menutupi diri serapat mungkin agar kebaikan-kebaikannya tidak banyak diketahui orang. Bahkan beliau memperlihatkan diri sebagai orang yang jahat. Tidak hanya perilaku, tapi juga pakaiannya. Beliau suka berburu dengan membawa anjing-anjing. Beliau juga bermain-main dengan merpati.
Syaikh Abu ‘Abdillah bin al-Khafif pernah menceritakan bahwa suatu hari dia sowan kepada Syaikh Ruwaim al-Baghdadi yang kemudian bertanya tentang kondisi Syaikh ‘Abdurrahim al-Isthakhri. “Beliau sudah wafat tahun ini,” kata al-Khafif. “Moga Allah memberikan rahmat kepada beliau. Aku bersahabat dengan para sufi di Gunung Lukam dan aku tak menemukan orang yang lebih sabar dari beliau,” kata Syaikh Ruwaim.
Suatu waktu, Syaikh ‘Abdurrahim al-Isthakhri keluar dari rumahnya untuk berburu. Syaikh al-Khafif mengikutinya dari belakang sembari sembunyi. Ketika sampai di sebuah gunung, beliau melepaskan anjing-anjing. Beliau mengenakan baju rantai dan berdiri tegak di atas kakinya.
Beliau betul-betul sibuk dengan dzikir kepada Allah Ta’ala. Dari ceruk gunung itu muncul suara yang aneh. Dan dari bebunyian itu, Syaikh Abu ‘Abdillah bin al-Khafif menyangka bahwa tidak mungkin suara batu, suara pohon, suara binatang atau suara apa pun yang lain kecuali semua itu mengikuti dzikir Syaikh ‘Abdurrahim al-Isthakhri.
Syaikh Ja’far al-Hadzdza’ pernah bercerita bahwa pada suatu waktu dia berkunjung ke Isthakhr untuk sowan kepada Syaikh ‘Abdurrahim al-Isthakhri. Ketika telah sampai ke depan pintu rumahnya, dia menyaksikan kalau rumahnya telah menjadi reruntuhan. Tetap dia memasuki pintu itu.
Ternyata Syaikh ‘Abdurrahim duduk di zawiyah rumahnya. Beliau memiliki kain perca yang sudah sangat lapuk. Beliau betul-betul mendapatkan ujian dari Allah Ta’ala. Syaikh Ja’far al-Hadzdza’ menjadi sangat heran dan berbelas kasih kepada beliau. Beliau malah bilang kepada Syaikh Ja’far: “Ada apa denganmu?”
Syaikh Ja’far merespons: “Celaka kau. Sekarang kau wafat.” Syaikh ‘Abdurrahim al-Isthakhri lalu turun dari zawiyahnya. Beliau lalu mengangkat batu yang sangat besar setinggi bubungan rumah. Beliau kemudian berkata: “Wahai engkau yang sangat kuat, tolong turunkan batu ini” kepada Syaikh Ja’far. Padahal sudah tujuh belas hari beliau tidak makan apa pun.
Apa yang kita dapatkan dari pelajaran rohani tentang beliau? Kegagahan hubungan dengan Allah Ta’ala sehingga tidak tergelincir bermain mata dengan makhluk-makhluk. Di hadapan beliau, makhluk itu bisa dikatakan ada, bisa juga dikatakan tidak ada. Hal itu bergantung kepada perspektifnya.
Tapi Allah Ta’ala jelas merupakan Wajib al-Wujud yang tidak mungkin untuk tidak ada. Karena itu, fokus hidup beliau terutama tertuju kepada hadiratNya, tidak kepada apa pun yang lain. Dengan lebih tertuju kepada Dia yang merupakan awal dan akhir segala sesuatu, beliau jelas jauh lebih beruntung. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh ‘Abd al-Aziz al-Bahrani - 10 May 2024
- Puisi Tjak S. Parlan - 19 March 2024
- Syaikh ‘Abdurrahim al-Isthakhri - 26 January 2024