Syaikh ‘Abd al-Aziz al-Bahrani

Beliau adalah minim riwayat. Satu-satunya yang meriwayatkan tentang beliau adalah Syaikh Abu ‘Abdillah bin al-Khafif sebagaimana diceritakan di dalam Kitab Nafahat al-Unsi min Hadharat al-Qudsi karya Mulla ‘Abdurrahman al-Jami. Kitab-kitab yang lain sebagai kitab-kitab thabaqat kosong dari kehadiran beliau.

Syaikh Abu ‘Abdillah bin al-Khafif menceritakan bahwa Syaikh ‘Abd al-‘Aziz al-Bahrani pada saat musim panas masuk ke Syiraz. Beliau memiliki baju yang sangat lapuk. Ketika beliau mengalami futuh, mengalami penyingkapan rohani, beliau menyedekahkan baju itu kepada fakir-miskin.

Menyedekahkan baju, itu pun baju lapuk, berpahalakah? Ketahuilah bahwa baju yang sangat lapuk selapuk baju dirinya sangatlah berharga, apalagi dimiliki oleh seorang sufi yang miskin. Orang-orang menghargai sehelai baju yang sudah lapuk bukan karena baju itu sendiri, tapi karena dimiliki oleh seorang sufi.

Syaikh ‘Abd al-‘Aziz al-Bahrani tidak lama tinggal di Syiraz, cuma tiga hari. Mereka membuka pembicaraan dengan Syaikh ‘Abd al-‘Aziz al-Bahrani tentang perkara baju yang lapuk itu. Salah seorang mereka berkata bahwa jiwanya ingin berlari sekencang-kencangnya dari baju yang lapuk itu.

Syaikh ‘Abd al-‘Aziz al-Bahrani telah lama mengalami mati. Termasuk mati hijau, mati dari segala pakaian yang bagus-bagus. Karena itu, ketika seseorang mengatakan bahwa jiwanya ingin lari sekencang-kencangnya dari baju yang lapuk, beliau tidak tersinggung sama sekali. Cuma beliau ingin bermanfaat semanfaat-manfaatnya. Itu saja keinginan beliau.

Syaikh ‘Abd al-‘Aziz al-Bahrani berkata kepada Syaikh Abu ‘Abdillah bin al-Khafif: “Keluarkan aku dari kota ini. Karena aku tidak ingin untuk mengenakan di kota ini baju yang bagus-bagus.” Syaikh Abu ‘Abdillah bin al-Khafif menjawab: “Ke mana kita akan pergi?” Syaikh ‘Abd al-‘Aziz al-Bahrani menjawab: “Ke tepi laut.”

Di tepi laut, Syaikh Abu ‘Abdillah bin al-Khafif melihat Syaikh Abu al-Khair al-Maliki sedang menunggang bigal. Dia memacunya dan memanggil Syaikh Abu ‘Abdillah bin al-Khafif. Dia memiliki makanan. Ketika dia sampai di tepi laut, dia mempersilahkan makan. Maka, semua orang itu makan kecuali Syaikh ‘Abd al-‘Aziz al-Bahrani.

Beliau memilih mengepit sajadah ketimbang memakan makanan bersama dengan orang-orang itu. Syaikh Abu al-Khair al-Maliki mengatakan kepada Syaikh ‘Abd al-‘Aziz al-Bahrani: “Barangkali kau lebih baik membawa sedikit makanan ini.” Syaikh ‘Abd al-‘Aziz menimpali bahwa dapur beliau masih ada di depan.

“Lantas, untuk apa makananku ini?” Tak ada jawaban selain “lemparkan saja di sisi anjing-anjing.” Lantas, beliau pergi. Dan tak pernah kembali lagi. Sama sekali. Mungkin beliau telah mengambil jalan yang tidak semestinya. Yang tidak diketahui banyak orang. Mungkin beliau telah menempuh jalan yang tidak seharusnya. Atau entahlah.

Seorang sufi tidak harus menempuh jalan sebagaimana orang kebanyakan. Asalkan mesra dengan Allah Ta’ala, kalau bisa juga mesra dengan sesama, itu sudah cukup. Seorang sufi tidak harus mengukir namanya sebaik mungkin. Seorang sufi tidak harus mencetak namanya seindah mungkin. Tujuan mereka adalah Allah Ta’ala. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Admin
Latest posts by Admin (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!