Hakim di Dapur

Nania adalah seorang hakim. Di dapur.

Sebuah pagi pada bulan Januari, benar-benar hari Senin, Nania menyadari itu. Sepenuhnya. Bahwa yang menilai bahan-bahan makanan, bumbu-bumbu, neraca dan cuaca, situasi dan kondisi, lantas memutuskan besok masak apa, adalah dirinya, bukan suaminya atau anak-anaknya.

Pada Minggu malam, pukul sebelas lebih tiga menit, Nania membuka kulkas, dia menerima sambutan dingin dan sedikit aroma busuk. Nania menghela napas dan memberi salam pada penghuni kulkas: sekotak mika daging ayam beku, daging sapi giling dalam kaleng, seperempat kilogram udang yang diselimuti bunga es, dua batang brokoli yang sudah menguning, separuh potongan labu kuning, lima wortel keriput, sekantung buncis layu, serta tiga tongkol jagung manis yang kelobotnya sudah kering.

“Besok masak apa, ya?” Nania membatin. Kulkas berdenging.

Nania memandangi bahan-bahan makanan yang teronggok menyedihkan dalam rak. Sementara kepalanya diliputi pertanyaan rumit yang sama—yang pada akhirnya hanya akan dia jawab sendiri.

Nania menghela napas. Meski selalu ragu, dia selalu punya jawaban besok mau masak apa. Nania mencungkil udang beku, mengeluarkan brokoli, wortel, jagung, serta buncis. Dia menyemprot udang beku dengan air keran, membuang kepalanya yang penuh tahi—setengah beku, lalu mencucinya bersih. Selanjutnya, dia mengupas dan memotong-motong buncis, wortel, jagung, serta brokoli, lalu mencucinya. Kegiatan itu dia akhiri dengan mengupas dan mencuci bawang merah, bawang putih, cabai merah besar, lengkuas, serta dua lembar daun salam.

“Udang tepung, tumis sayur gunung, sudah,” pungkasnya sambil menahan kantuk.

Nyaris satu jam berlalu hanya untuk menyiapkan remeh-temeh itu semua. Malam itu Nania berangkat tidur dengan tangan beraroma udang entah bawang entah lengkuas. Dan pagi-pagi buta dia sudah bangun, paling awal, seperti hari-hari yang lewat sepanjang bulan sepanjang tahun. Setelah membersihkan diri dan sembahyang pagi, Nania menyalakan lampu dapur, mencuci beras, menekan tombol cook mesin penanak nasi. Kegiatan dapur itu dia lakukan sambil keliling bilik, mengetuk-ngetuk pintu-pintu, memekik-mekik seperti ayam betina mau bertelur. Bangun! Bangun! Subuh! Subuh!

Suami Nania bangun disusul anak-anaknya. Nania bersyukur, mereka—anak-anak itu, sudah mulai bisa mengurus diri mereka sendiri. Suaminya berangkat pagi sekali sebelum udang tepung dientas dari penggorengan. Ada pekerjaan yang mengharuskannya datang pagi. Sementara anak-anaknya—setelah mandi dan berseragam lengkap, duduk ogah-ogahan di depan meja makan, mengambil nasi dua sendok dan mencomot udang tepung dua ekor tanpa menyentuh sayur. Nania berteriak-teriak soal sayur sambil mencuci piring dan membereskan kekacauan di dapur, anaknya berkata ‘iya-iya’, dan ketika mereka sudah berangkat ke sekolah, Nania baru sadar bahwa sayur dalam bekas piring anak-anaknya nyaris tak tersentuh. Nasi dalam mesin penanak juga nyaris utuh.

Nania duduk di depan meja makan sambil memandangi menu-menu yang mulai mendingin. Hal semacam itu terjadi beberapa kali. Terutama saat mereka tidak cocok dengan menu sarapan. Sungguh menyebalkan. Pada akhirnya semua makanan itu berakhir di tong sampah, dan yang paling menyedihkan adalah, Nania yang musti menumpahkannya sendiri ke tong sampah. Membuang makanan yang diracik dan dimasak sendiri benar-benar seperti mencampakkan anak sendiri.

“Apa gunanya masak pagi-pagi. Apa gunanya tiap malam aku berpikir keras, besok mau masak apa, besok mau menu apa …” Nania mengoceh sendiri, sedih, lelah, putus asa.

***

Bertahun-tahun silam, sebelum menikah dan punya tiga anak, Nania tak pernah memikirkan hal-hal aneh lagi rumit semacam itu. Sungguh melelahkan ketika seseorang selalu diliputi keraguan dan kecemasan perihal esok hari. Besok mau masak apa dan mau makan apa? Pertanyaan semacam itu rupanya lebih mengerikan dari pertanyaan: apakah besok masih bisa makan? Sebab Nania tahu, besok dan seterusnya Naina dan suaminya dan anak-anaknya akan selalu masih bisa makan. Kehidupan keluarganya selama ini selalu cukup. Tuhan maha pemurah. Namun, Nania takut, kemurahan Tuhan akan terganggu gara-gara keluarganya kerap pilih-pilih dan menyiakan makanan.

Urusan ‘besok mau masak apa’ ini benar-benar salah satu urusan paling rumit di bumi yang hanya menimpa makhluk-makhluk paling rumit di bumi. Beberapa mulut (kebanyakan mulut para lelaki) mengoceh, bahwa perempuan adalah makhluk paling rumit di bumi, dan menurut Nania itu tidak salah meski tidak sepenuhnya benar. Ada alasan-alasan rumit yang kadang tercipta tanpa butuh dipahami. Salah satu contoh kongkretnya, seperti, penyakit yang selalu menimpa Nania sebelum tidur: besok mau masak apa, mau menu apa?

Selalu ada kecemasan dalam kepala Nania dan mungkin dalam kepala kebanyakan perempuan, bahwa esok, pagi-pagi anak-anak harus pergi ke sekolah dan suami harus berangkat ke kantor. Dan sebuah aturan sakral yang bukan bikinan Tuhan telah tertancap dalam kepala mereka: sebelum anak-anak pergi ke sekolah dan suami berangkat ke kantor, mereka semua harus sarapan. Harus. Tidak boleh tidak. Tidak sarapan—meskipun cuma satu pagi, akan membuat seseorang lemas lalu sakit. Dan seseorang dari anggota keluarga tidak boleh sakit, terutama anak-anak, sebab itu bisa sangat merepotkan dan segala yang sangat merepotkan sering kali jadi pemicu stres. Nania tidak mau stres.

Laki-laki dan terutama anak-anak adalah makhluk setipe yang punya telinga hanya untuk dekorasi saja. Ketika mereka diminta sarapan dan lauknya tidak cocok, mereka akan mengambil nasi satu dua sendok, biasanya tanpa sayur, dan mengatakan bahwa mereka sudah sarapan. Ketika mereka dilarang mengurangi minum es, mereka akan membantah, itu tidak setiap hari. Ketika mereka diminta menjauhi yang manis-manis, mereka akan mencuri-curi kesempatan, dan mengatakan sesekali makan yang manis-manis tidak masalah. Lalu saat mereka batuk-batuk dan jatuh sakit, Nania yang akan cemas dan sibuk sepanjang waktu. Ini belum soal laki-laki dan rokok.

Sungguh tidak mudah memberi makan banyak kepala yang punya selera dan keinginan berbeda-beda. Saat Nania memasak masakan kesukaan suaminya, anak-anaknya tidak terlalu suka. Saat Nania memasak masakan kesukaan anak-anaknya, kebanyakan tidak pedas, dia dan suaminya tidak berselera karena menyukai pedas. Dan saat Nania memasak masakan kesukaannya sendiri—seringkali yang hijau-hijau, hanya Nania yang menghabiskannya sendiri. Dan Nania tidak sudi memasak lima menu lauk sekaligus dalam satu pagi. Itu sungguh keterlaluan.

Suatu malam, Nania dan suami dan anak-anaknya pernah duduk melingkar merapatkan menu-menu sehat apa saja yang akan dimasak Nania tiap harinya dalam sepekan. Nania berkutbah panjang perihal manfaat makan sayur kepada anak-anaknya, perihal meninggalkan penyedap rasa, perihal menghindari minuman manis dan bersoda, serta perihal azab orang yang membuang-buang makanan. Dan semuanya bersepakat, seperti orang yang baru menerima pencerahan dan kemudian bertaubat.

Nania mengetik jadwal dan menu-menu sehat itu di komputer, menghiasinya dengan gambar-gambar makanan menarik supaya anak-anaknya berselera, dan mencetaknya lalu menempelkannya di dinding dapur. Namun, jadwal yang tertempel itu segera menjadi poster kedaluwarsa ketika suatu pagi kepala Nania ditimpa migren dan dapur tidak jadi mengebul. Pagi itu, suami Nania melenggang sebentar untuk membeli lima porsi bubur ayam buat sarapan. Dan esok harinya, anak Nania memprotes perihal menu favorit pada hari lalu yang terlewat, disusul komentar perihal pemaksaan makan sayur yang tidak adil. Perihal urusan dapur dan meja makan yang begitu mengesalkan bagi anak-anak.

Anak-anak mengenal marah dan merajuk tanpa memikirkan betapa rumit menjadi orang dewasa yang selalu memikirkan menu dan merasa cemas saat keluarganya kelaparan. Semenjak hari itu, Nania kembali ke ‘alam’ dan melupakan jadwal hasil rapat. Dia akan berbelanja apa saja dan memasak apa saja yang muncul di kepalanya pada malam hari menjelang tidur atau pada pagi hari saat bangun tidur.

Sejak awal Nania sudah menduga bahwa jadwal menu semacam itu hanya bisa bertahan lama di restoran-restoran dan bukan di rumah, terutama kalau dalam rumah itu ada makhluk kecil yang selalu pilih-pilih makanan dan cepat bosan. Andaikata pilih-pilih makanan masuk dalam daftar dosa besar, mungkin akan lebih mudah bagi Nania untuk memasak beraneka menu pada pagi yang selalu riuh dengan urusan perut.

Pagi itu, benar-benar Selasa pada Januari yang tenang. Nania, sebagai hakim dapur telah memutuskan, pagi itu tidak akan ada penilaian apa pun dan konsekuensinya tidak ada keputusan masak apa pun. Begitu suaminya bangun dan melenggang ke kamar mandi, Nania menyelinap ke garasi dan dengan sepeda olahraga milik suaminya dia meluncur ke warung Pecel Madiun di Jl. Sunan Kalijaga, sekitar tujuh kilometer dari rumahnya. Warung itu sudah buka selama bertahun-tahun dan sampai sekarang masih saja ramai. Nania benar-benar lupa kapan terakhir kali makan di warung itu. Bahkan dia benar-benar lupa kapan terakhir kali makan pecel. Suami dan anak-anaknya bukan penggemar sayur, dan pecel adalah jenis makanan bersayur. Nania menyukai pecel dengan sambal kacang khas beraroma daun jeruk, dengan tingkat kepedasan tinggi, dengan lalapan lamtoro, cacahan mentimun, dan potongan kemangi. Tentu saja sedikit serundeng dan kering tempe, serta taburan renyah rempeyek teri.

Hari itu tidak ada yang akan merengek atau memerotes atau mengabaikan masakan Nania, sebab dia memang tidak memasak, sama sekali. Nania yakin, pagi itu akan ada drama besar di rumahnya: suaminya telat ke kantor dan (bisa jadi) anak-anak bakal membolos sekolah. Sekali-kali tak masalah, pikir Nania. Kalau mereka marah-marah, Nania akan dengan senang hati menjungkir balikkan kemarahan mereka. Nania telah siap mengemukakan jawaban panjang dan lebar perihal posisinya sebagai pemangku kebijakan di dapur. Seorang hakim dapur.

 Semalam, menjelang tidur, untuk pertama kalinya Nania, alih-alih memikirkan menu, dia membuat coret-coretan sepihak sepanjang lima lembar. Secara detail lembaran-lembaran itu berisi:

  1. Daftar tugas hakim dapur (salah satunya selalu memikirkan menu untuk hari esok).
  2. Konsekuensi hakim dapur (salah satunya harus membuang makanan yang dia masak sendiri—Nania juga menuliskan: itu rasanya seperti membuang anak sendiri).
  3. Hal-hal yang membahagiakan hakim dapur (cuma satu poin: menghabiskan makanan yang sudah dimasak).
  4. Hal-hal yang menyinggung perasaan hakim dapur (salah satunya—dan yang paling parah: tidak memakan makanan yang sudah dimasak).
  5. Tawaran karier alih posisi menjadi hakim dapur (kesempatan ini juga terbuka lebar bagi anak-anak), menjelang akhir tulisan Nania menyinggung soal gaji besar yang akan diberikan langsung oleh Tuhan bagi seorang hakim dapur.

Lima lembar kertas itu Nania tumpuk di atas meja makan dan dia tutupi dengan tudung saji. Pada satu titik, Nania merasa dirinya sangat kejam, namun, seorang hakim terkadang memang harus membuat keputusan kejam. Dan saat Nania berpikir tentang kekejaman itu, dia benar-benar tidak tahan, matanya berkaca-kaca, keringatnya berleleran. Pecel yang dia santap pagi itu, lezatnya dan pedasnya benar-benar kelewatan.***

Mashdar Zainal
Latest posts by Mashdar Zainal (see all)

Comments

  1. fifi puji lestari Reply

    bagus

  2. Nanas Reply

    Bagusss ceritanya dan kata2nya

  3. Rumpun Reply

    Ceritanya bagus, cocok dibaca untuk orang yang masih saja tidak menghargai makanan (apapun jenisnya)

  4. dini Reply

    inspiratif

  5. tari Reply

    Izin untuk membuat artikel analisis tentang cerpen ini 🙏🏻

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!