- Puisi yang Bergerak Menuju Prosa
Penyair Iyut Fitra menjuduli buku puisi terkininya dengan kata Baromban. (2016). Pilihan redaksional yang agak berbeda dengan Musim Retak (2006), Dongeng-dongeng Tua (2009), dan Beri Aku Malam (2012)—tiga antologi puisi Iyut sebelumnya. Pilihan yang tak biasa itu, bagi saya, tentu saja menggembirakan, bila tidak bisa disebut mencengangkan. Sebab, sejauh yang saya tahu, Iyut Fitra adalah penyair flamboyan yang sangat bersetia pada corak liris, semacam sidik-jari yang telah bercokol sekian lama dalam tubuh puisi Indonesia modern.
Adapun yang saya pahami dari terminologi Baromban adalah tanda yang mengacu pada sebuah kata benda, yang dalam bahasa Indonesia lazim disebut bendungan. Ia berfungsi menghambat atau membendung deras arus dari hulu, agar tak lekas melaju menuju hilir. Dengan begitu, Baromban dapat menahan air dalam rentang waktu tertentu, dan pada momentum itulah alirannya kemudian dapat dibelokkan ke areal-areal persawahan sekitar. Tapi, itu hanya makna konvensional yang saya peroleh dari sekeping kenangan di masa kanak-kanak. Baromban dalam sajak Iyut Fitra, saya pastikan bukanlah tanda yang mengacu pada pengertian kanak-kanak saya. Iyut menggunakan “Baromban” sebagai kepala cerita tentang almanak derita para penambang pasir di dasar sungai. Entah di Batang Agam, Batang Lampasi, atau Batang Sinamar.
Makna yang hendak dituju oleh Baromban sedikit-banyaknya tergambar pada ilustrasi sampul depan buku itu. Sederetan sampan kayu tanpa muatan yang sedang tertambat di tepi sungai dan tampak jelas dari arah jembatan—seperti di-capture dengan konsep pemotretan landscape photography. Ke hulu, ia kayuh sampan-sampan itu tiap waktu, demikian kata Iyut. Ia taruhkan harapan pada penggalian, lalu dikunci dengan sebuah logical propher name (nama diri logis) yang berbunyi; Inilah Baromban. Tempat alam memberi kami kehidupan.
Istilah logical propher name saya peroleh dari filsuf Bertrand Russel (1872-1970) dalam karya monumentalnya Logic and Knowledge (1959). Bagi Russel, kata “Inilah”—dalam konteks ini hendak saya gunakan untuk menggali makna “Inilah Baromban”—menunjuk pada sebuah pengalaman konkret individual, dalam artian hanya dialami satu orang saja. Sebelum sajak itu dirumuskan, boleh jadi Iyut Fitra pernah mendengar seseorang berkisah tentang Baromban, dan sebagai pendengar ia mengakui (afirmasi) kisah itu sebagai peristiwa faktual. Tapi, Iyut tidak akan bisa masuk ke dalam pengalaman konkret individual orang itu saat ia mengungkapkan; “Inilah Baromban!” Yang hendak saya katakan adalah, puisi itu sedang menegaskan keterhubungan antara tanda dan makna dalam corak yang aksiomatik, di mana satu kata hanya mengacu pada satu makna, dan satu kalimat semata-mata menunjuk pada satu peristiwa faktual belaka. Tapi persoalannya, yang sedang kita baca adalah puisi, bukan kamus, bukan pula peta dalam sebuah atlas Nusantara.
Inilah Baromban. Tempat kehidupan akan ia serahkan. Sampai pada harap penghabisan. Sekali lagi Iyut Fitra menggunakan logical propher name, untuk menegaskan betapa pelaku dari kisah penggali pasir yang tak bahagia itu adalah satu orang, bukan perwakilan dari kepayahan hidup para penggali pasir pada umumnya. Bila pada umumnya sebuah karya seni lahir dari situasi faktual yang masif dan jamak, puisi Baromban ini, menurut saya, lahir dari pengalaman konkret individual, bukan pengalaman komunal. Dalam bahasa sederhana dapat saya katakan; puisi ini meringkus sebuah pemahaman yang bergerak dari “yang sebagian” menuju “yang seluruh.” Kepayahan hidup seorang penambang pasir dikuliti sedemikian rupa, digali sedalam-dalamnya, dengan harapan dapat menjadi sebuah cermin besar dari kegetiran-kegetiran para penggali pasir di suatu wilayah, di kurun tertentu.
Kreativitas semacam ini bukanlah tanpa risiko. Iyut Fitra boleh jadi dapat membebaskan diri dari kekangan lirisisme yang telah sedemikian menggelisahkan itu, tapi bila kurang hati-hati, puisinya bisa terjerumus menjadi prosa. Godaan-godaan untuk bercerita biasanya sukar dielakkan, hingga kepadatan dan kekokohan narasi puitik menjadi cair dan mudah tercemar. Tunggulah, ia akan memintal senyum. Di pekan telah menunggu beras segantang dan ikan tawar kalau tak rendang. Inilah yang saya maksud dengan godaan untuk berkisah dan berhikayat tersebut. Separuh terasa sebagai loyalitas yang tak diragukan pada sikap lirik, separuh lagi terkesan sebagai keinginan untuk membangun sebuah arsitektur prosa.
Ada dua sajak yang berangkat dari kata “Baromban” dalam buku itu. Sajak pertama berjudul Sampan-sampan di Baromban, dengan tarikh penciptaan 2014, dan sajak kedua hanya menggunakan kata Baromban dengan tarikh penciptaan 2015. Sajak pertama memperlakukan “Baromban” sebagai “pelabuhan” harfiah bagi sampan-sampan yang saban hari “berlayar” menggali pasir di kedalaman, sementara sajak kedua memperlakukan “Baromban” sebagai pelabuhan tempat seorang penggali pasir menambatkan rupa-rupa kepayahan hidup.
Meskipun saya sudah mengunci pemahaman dengan cara berpikir logical propher name, sebagai penikmat puisi, saya tidak bisa mengelak dari godaan untuk membayangkan Baromban sebagai bendungan. Bagi saya, tetap saja Baromban sebagai perkakas yang berfungsi membendung, menghambat, dan menghalangi. Dalam “kisah” penggali pasir itu, maka yang paling bertanggung jawab atas dapur yang tak berasap, tungku-tungku yang kosong, ladang tak menjadi adalah Baromban itu sendiri, dan bukan sebab-sebab yang alamiah. Subjek penggali pasir yang senantiasa memikul derita dari waktu ke waktu itu, bagi saya, setali tiga uang dengan orang-orang yang menambatkan kemalasan saban pagi di kedai-kedai kopi, hingga cangkul baru diayun ke udara setelah tinggi hari. Dengan begitu, maka Baromban adalah juga tanda yang menunjuk pada kelambanan, ketidakgesitan, bahkan kemalasan.
Oleh karena itu, sajak Baromban baik yang pertama maupun yang kedua, erat sekali kaitannya dengan sajak Jantan Lepau. Sekali lagi, dengan pendekatan prosaik, Iyut Fitra mengungkapkan bukankah jantan di sini gadang di lepau? Kata “jantan” dan “gadang” (besar) sepintas lalu mungkin terkesan maskulin dan bisa menjadi pertanda bagi etos ketangguhan. Tapi, maskulinitas dan ketangguhan apa yang bisa digapai bila saban malam kaum jantan itu begadang dengan kertas koa dan kartu domino? Gantung! Ini koa gantung!
Begitulah setiap permainan di kedai kopi, akan “gantung” terus-menerus, tidak akan pernah putus. Menggantungkan harapan senantiasa, tapi tidak pernah beranjak dari diam dan mentalitas berpangku tangan. Dengan demikian, Baromban dan Lepau adalah simbol yang sama-sama menunjuk pada situasi tertahan atau terbendungnya kreativitas, kegigihan, kerja keras, dan barangkali juga akal-sehat. Kejantanan apa yang bisa didambakan dari mentalitas yang lamban dan personalitas yang malas?
- Kampung yang Bergerak Menuju Kota
Payakumbuh, kota kepenyairan Iyut Fitra, yang adalah juga kota masa remaja saya, tampaknya menjadi perhatian serius buku ini. Saya menginventarisir setidaknya ada tujuh sajak yang “berkisah” tentang kota, antara lain; Angkutan Kota yang Tak Penuh, Potret Kota Malam, Truk Sampah yang Melintas Pagi-pagi, Pemulung dan Toko Mainan, Langit Masih Biru, Kusir Bendi, dan Kota Beragam Wajah.
Sajak “Angkutan Kota yang Tak Penuh” yang bertarikh 2013 berkhidmat membentur-benturkan gambaran visual tentang pohon-pohon rindang dengan beton-beton tinggi yang menggapai cakrawala. Antara angkutan kota (dulu bernama “sago”) yang hari-hari ini barangkali telah menerima takdirnya sebagai besi tua dengan kendaraan-kendaraan pribadi yang saban petang melintas di Jembatan Ratapan Ibu, lalu parkir di halaman depan kafe-kafe berpendingin udara. Antara anak-anak muda kelas menengah yang sibuk dengan keypad telepon pintar sambil menunggu jemputan sekolah dengan seorang Bapak Tua yang ingin berhenti di halte bernama masa lalu. Apa yang sebenarnya sedang terjadi di Payakumbuh? Tak ada lagikah suasana yang membedakan antara wajah kota kecil Payakumbuh dengan raut muka kota metropolitan Jakarta?
Dalam kenangan saya, Payakumbuh adalah kota yang jauh dari keriuhan, kepadatan lalu lintas, apalagi hiruk-pikuk dunia malam yang menyesakkan, sebagaimana di kota-kota besar. Itu sebabnya saya memasang niat, bila kelak tugas-tugas kerumahtanggaan saya sudah tunai, saya akan kembali ke kota itu, dan hidup bersahaja sebagai petani—tanpa gadget, tanpa WiFi, dan tanpa pergaulan dunia maya tentunya. Namun, kegamangan akan terkikisnya kearifan rural akibat merajalelanya gaya hidup urban di Payakumbuh membuat saya berpikir dua kali untuk pulang ke kota itu. Lihat, supir tua melarikan pedih secepat angin. Tidakkah kita akan rindu pada pedih yang lain? Ia bayangkan orang-orang yang berlarian menuju kehilangan (sajak “Truk Sampah yang Melintas Pagi-pagi”), begitu Iyut menggambarkan ketidaksabaran mentalitas lama (kampung) untuk lekas bergerak menuju mentalitas baru (kota). Lantaran ketergesaan itu, truk tua, bak tua, dan supir tua, akhirnya terguling sia-sia sebelum ia sampai di tujuan.
Bagi saya, sajak ini adalah tanda tentang ketidaksiapan tenaga dan stamina personalitas lama untuk beralih rupa menjadi personalitas baru. Ada jarak ideologis yang begitu menganga antara realitas rural dan realitas urban, yang bahkan hampir-hampir tak terjembatani, hingga berakibat pada keletihan menggapai saja, sementara “manusia kota” yang modern dan canggih itu tidak pernah sungguh-sungguh berada dalam genggaman. Bagi sajak ini, yang senantiasa berlangsung dalam dinamika perubahan itu adalah benturan-benturan keras antara narasi boneka Barbie dengan bola sepak tekong, permainan lego dengan kuda-kudaan pelepah pisang. Keduanya tak mungkin bersekutu dalam sebuah harmoni, tapi senantiasa beradu untuk saling memusnahkan, saling meniadakan.
Lalu, ke mana kota ini akan dibawa? Demikian sekali lagi Iyut bertanya dalam sajak “Kusir Bendi.” Kota, dengan segala dinamikanya, adalah lambang kebergegasan, sementara Bendi adalah simbol kelambanan. Meskipun kuda mungkin dapat mengacu pada ketangguhan dan kecepatan, tapi kata “Bendi” membuat tenaganya merosot sampai jauh. Oleh karena itu, bila dibenturkan dengan fakta tentang kota, maka sebelum keluar dari kandang pun, kuda sudah mati dikekang zaman. Jangankan Kuda Bendi, angkutan kota pun di Payakumbuh masa kini tidak lagi pernah penuh. Semua orang bagai berlomba-lomba untuk mendapatkan kendaraan yang secepat mungkin mengantarkan mereka menuju perwujudan manusia kota. Begitulah risiko dari perjalanan cepat menggapai mentalitas kota.
- Kedalaman yang Bergerak Menuju Kedangkalan?
Bagi saya, puisi adalah kedalaman, sementara prosa adalah kenyinyiran bercerita, yang dalam batas-batas tertentu, bisa tergoda untuk berlama-lama di permukaan. Di era dunia maya, prosa—apa pun bentuk dan jenisnya—mungkin lebih digandrungi ketimbang puisi. Dan, dunia cerita yang beranak-pinak di media sosial lebih mengandaikan “pembaca yang banyak” ketimbang pembaca yang rela berdalam-dalam (meskipun jumlahnya sedikit). Tengoklah kerumunan pengarang-pengarang muda yang saban pekan berjingkrak-jingkrak dengan segenap tim pemandu sorak guna merayakan ketermuatan sebuah cerita pendek di koran nasional bertiras besar. Adapun yang mereka rayakan bukanlah pencapaian-pencapaian estetis pada setiap cerita yang muncul, gagasan-gagasan genuine yang menjadi panggilan penciptaan, apalagi problem-problem substansial seni bercerita yang sedang berlangsung di belantika sastra masa kini. Mereka hanya sibuk merundingkan siapa yang paling produktif, pengarang mana yang paling juara angka publikasinya, siapa yang paling layak beroleh acungan jempol, dan maklumat puja-puji. Sulit sekali memperoleh rundingan tentang kajian kritis-analitis terhadap sebuah cerita yang telah ternobat sebagai juara sekalipun. Ramai-riuh di permukaan, sepi-senyap di kedalaman.
Itu sebabnya saya agak cemas menimbang keterampilan artistik Iyut Fitra yang bergerak dari puisi menuju prosa, atau setidaknya ada upaya untuk menghela dunia puisi ke dunia cerita. Apakah kini, penyair seperti Iyut Fitra sudah pula mengandaikan “pembaca yang banyak” ketimbang “pembaca yang dalam”? Begitu saya bertanya setelah berkali-kali membaca sajak-sajak dalam kumpulan Baromban ini. Dominasi atau sebut saja “kuasa” lirik mungkin sudah terlalu membebani, sehingga Iyut Fitri kemudian ingin melarikan diri darinya, tapi membawa puisi ke dunia prosa, bukanlah tanpa risiko. Aura dan autentisitas puisi bisa terkikis perlahan-lahan. Ide-ide kokoh yang melandasi puisi akan lekas keropos. Kedalaman, sebagai kampung halaman puisi, bisa terdorong ke permukaan, lalu terapung-apung seperti deretan sampan-sampan lapuk di Baromban….
- Tiga Kemungkinan Bagi Sajak-Sajak Iyut Fitra - 3 November 2016
- Jejak Sentuhan Tanpa Sidik Jari; Puisi-Puisi Damhuri Muhammad (Jakarta) - 9 February 2016