Seperti detektif yang sedang berpikir keras memecahkan sebuah kasus, kami—dua orang pemuda kolot—berdiskusi. Mengapa detektif jadi perumpamaan untuk kami? Jawabannya, karena yang kami diskusikan saat itu adalah perihal pencurian yang luar biasa dengan tersangka yang luar biasa pula.
Memang, jika direnungkan kembali, diskusi kami saat itu dapat dikiaskan sebagai usaha untuk menginterogasi Sukab—salah satu tokoh utama dalam kumpulan cerpen Sepotong Senja Untuk Pacarku karya Seno Gumira Ajidarma, yang memotong senja, memasukkannya ke dalam amplop, menggantinya dengan senja abadi dari dunia bawah, lalu mengirimkan senja sempurna yang asli kepada pacarnya, Alina, sehingga hebohlah seluruh dunia karena senja hilang.
Menginterogasi Sukab dalam hal ini bukanlah perkara mudah. Maka dari itu, usaha awal untuk menginterogasi tersangka kasus pencurian dan hilangnya senja itu harus dimulai dengan menelusuri motifnya. Kami harus menafsirkan beberapa perilaku Sukab untuk memahami siapakah Sukab dan mengapa dia mencuri senja.
Dengan bekal beberapa teori penafsiran mulai dari hermeneutika sampai ta’wil amatiran, kami mulai menafsirkan perilaku Sukab. Melihat kronologi peristiwa pencurian senja yang terdapat dalam cerita, entah mengapa kami merasakan ada nuansa sufistik yang kental pada diri Sukab. Kami mencatat beberapa hal berikut sebagai bukti dan alasan dari kecurigaan kami waktu itu.
Pertama, Sukab cinta mati kepada pacarnya, Alina. Kerelaan dan kesungguhan Sukab dalam mencintai pacarnya itu, dibuktikannya dengan mencuri senja. Sosok Alina yang sangat dicintainya itu, beberapa kali dipuji dalam suratnya, menunjukkan betapa Sukab mencintai Alina-nya itu.
Alina adalah seorang wanita yang sangat dicintai oleh Sukab, meskipun tak ada balasan sedikit pun cinta dari Sang Alina. Bahkan, dalam cerita “Jawaban Alina”, tokoh Sukab beberapa kali dikatai bodoh dan tolol, tapi tetap saja ia mencintai Alina—dalam hal ini jelaslah kedudukan dan karakter Alina.
Kesungguhan Sukab yang begitu luar biasa dalam mencintai Alina dalam cerita itu, mengingatkan kami pada kisah Syekh San’an yang juga mencintai seseorang wanita dengan kesungguhan yang luar biasa.
Dalam kisahnya itu, Syekh San’an jatuh hati kepada seorang wanita Nasrani di sebuah kota yang diketahuinya pertama kali lewat mimpi. Syekh San’an kemudian membuktikan kerelaannya untuk melakukan apa pun agar dapat tetap dekat dengan wanita yang dicintainya itu, meskipun wanita Nasrani itu tak sedikit pun menaruh hati padanya. Karena cintanya itu, Syekh San’an rela untuk tinggal dalam sebuah kandang bersama babi dalam kondisi yang menyedihkan.
Hal senada juga yang ditunjukkan oleh Sukab dalam peristiwa pemotongan senja itu. Beberapa kali Sukab dalam surat yang ditulisnya dan dimasukkannya ke dalam amplop bersama sepotong senja itu, memuji-muji dan memanis-maniskan cintanya kepada Alina. Sukab berjuang, lari dari pengejaran polisi, hanya untuk menyelamatkan senja yang akan diberikannya kepada Alina, meskipun Alina dalam surat balasannya kemudian mengatakan, sebenarnya cinta Sukab adalah sia-sia. Malahan senja itu kemudian tumpah dari dalam amplop, lalu memenuhi seluruh semesta dengan air laut dan senja yang asli (dalam surat Sukab) mengalahkan dan menggeser keberadaan senja dari dunia bawah. Sampai seluruh dunia dibanjiri air laut, Sukab yang terasing, tetap mencintai pacarnya itu.
Kedua, Sukab memasuki dunia bawah yang ajaib dan penuh misteri. Dunia bawah itu dalam cerita “Sepotong Senja Untuk Pacarku” adalah gorong-gorong yang ternyata di dalamnya menyimpan sebuah dimensi lain yang tak terikat ruang dan waktu. Dikisahkan bahwa Sukab berhasil memasuki dunia bawah itu atas petunjuk seorang gelandangan yang menyelamatkannya dari kejaran polisi. Dalam dunia itu, Sukab menemukan senja lain. Senja yang abadi, tak terikat waktu. Sukab akhirnya memotong juga senja dalam dunia bawah itu, lalu menggantikan senja dunia atas yang baru saja diambilnya dengan senja dari dunia bawah—sebuah jawaban penyelesaian dari ketegangannya dikejar-kejar polisi.
Tentang adanya dunia bawah yang dicantumkan dalam kisah pelarian Sukab setelah memotong senja itu, dijelaskan oleh SGA berhubungan dengan kisah dalam cerpen karya Danarto, “Paris Nostradamus”, ada kota yang persis Paris di bawah kota Paris—SGA menuliskannya dengan kata “seperti”. Jika demikian, maka kisah dunia bawah di gorong-gorong dan Paris di bawah Paris itu pun paling tidak sama secara konsepnya.
Mengenai dunia bawah, kami mendapatkan penjelasan dari kisah dunia bawah yang dimasuki oleh Syekh Abdul Jalil (Syekh Siti Jenar) yang ditulis oleh Agus Sunyoto. Kisah ini juga sangat kental nuansa sufistiknya karena memang menceritakan perjalanan spiritual seorang wali terlarang yang terkubur sejarahnya.
Pada kisah yang ditulis oleh Agus Sunyoto itu, Syekh Abdul Jalil berhasil memasuki dunia bawah setelah bertemu dengan salah satu kawan ayahnya sekaligus kemudian menjadi gurunya dalam mengarungi samudra makna dan keheningan. Dalam dunia bawah itu, Syekh Abdul Jalil memahami bahwa dunia bawah itu diisi oleh berbagai makhluk aneh dan kondisi alam atau dunia yang sangat berbeda dari dunia atas (dunia nyata). Dunia bawah juga memiliki peradaban yang melebihi bayangan manusia di dunia nyata. Jika dilihat, dunia bawah seperti dunia khayalan yang tak pernah terbayangkan keberadaannya. Seperti yang dialami oleh Sukab ketika memasuki gorong-gorong lalu menemukan senja dari dunia yang lain.
Namun, perbedaan antara cerita dunia bawah yang dimasuki oleh Sukab dan dunia bawah yang dimasuki oleh Syekh Abdul Jalil adalah terletak pada kedudukan dunia bawah itu sebagai realitas dalam alur cerita. Jika dalam cerita Syekh Abdul Jalil hanya jiwanya saja yang berhasil masuk dalam dunia bawah, maka dalam cerita “Sepotong Senja Untuk Pacarku”, Sukab memasuki dunia bawah itu beserta seluruh tubuhnya. Dengan kata lain, Syekh Abdul Jalil tak memiliki akses nyata untuk memasuki dunia bawah itu kembali, sedangkan Sukab memiliki gorong-gorong yang sewaktu-waktu dapat dikunjunginya lagi—untuk mengembalikan senja yang abadi itu pada tempatnya.
Memang sangatlah egois dan terburu-buru jika menafsirkan simbol-simbol dalam cerita SGA seperti senja dan dunia bawah dengan sekadar interteks saja. Namun, seperti kata Kasino Warkop DKI, namanya juga usaha. Lanjut!
Ketiga; Sukab sembahyang di tengah laut, Sukab sering bersinggungan dengan senja di laut padahal senja bisa saja dilihat dari atas gunung, dan Sukab menjadi peselancar “Agung” di laut. Berdasarkan penyelidikan kami saat itu, bukti ketiga inilah yang membuat kami semakin curiga akan kesufian tokoh Sukab.
Sukab dalam kisah rumah yang menghadap ke pantai, diceritakan sebagai sosok yang sangat misterius, aneh, gila, dan sangat mistis. Perilakunya menyimpang dari kebiasaan masyarakat di sekitarnya. Sukab membangun rumah yang menghadap ke laut di sebuah tanjung di sudut desa. Kebiasaan itu tentu menjadi pergunjingan masyarakat, bahkan sempat ada yang sampai menengok rumah Sukab setelah ia menghilang. Puncak dari keanehan Sukab dalam cerita itu adalah ketika ada tokoh pelaut dari desa lain yang menceritakan pernah melihat Sukab berlayar sendirian dengan perahu kecil, bukan untuk mencari ikan atau mengangkut barang. Sukab bahkan diceritakan pernah shalat di tengah badai.
Semakin mumet-lah kepala kami ketika salah satu dari kami menyadari dan mencoba menafsirkan peristiwa Sukab yang sembahyang di tengah badai laut. Namun, lagi-lagi kami menemukan penjelasannya dengan konsep-konsep dan kisah-kisah sufi. Perahu dan laut sangat dekat kaitannya dengan konsep sufistik. Kedua simbol ini pernah tertuang dalam karya besar sufi Nusantara yaitu Hamzah Fansuri. Laut yang begitu luas adalah tempat paling sunyi bagi manusia yang hendak merenungi kehidupan. Dalam konsep sufisme, laut adalah tantangan yang harus dihadapi oleh para pencari kebenaran, sufi. Laut bermakna kehidupan yang harus ditaklukkan. Perahu dalam hal ini adalah alat atau kendaraan yang digunakan untuk mengarungi lautan pencarian yang begitu luas. Perahu adalah alat penyelamat, maka dalam dunia nyata perahu adalah apa saja yang digunakan manusia untuk bertahan hidup dan selamat di dunia, termasuk hukum-hukum agama yang melarang yang ini dan membolehkan yang itu.
Memang tak diceritakan secara gamblang bahwa Sukab menempuh jalan sufi. Namun, melalui penafsiran simbol-simbol berupa perilaku Sukab, sangat nyata jika Sukab, oleh SGA dalam kasus senja yang hilang, dipolitisasi tubuh dan jiwanya sebagai seorang perenung yang resah terhadap dunia dan cinta. Selain itu, ada juga kecurigaan sinisme bahwa menulis cerita yang memuat konsep mistik dan teologi adalah pencapaian tingkat tinggi yang hanya dapat disematkan pada karya sastra yang bernilai tinggi pula.
Pemaknaan terhadap idiom-idiom dalam kisah seputar senja ini tak dapat ditarik pada garis lurus sebuah kesimpulan—memang demikianlah seharusnya. Namun, jika ditelisik lagi lebih mendalam dari beberapa bukti di atas, dapat dikatakan bahwa Sukab adalah seorang manusia yang mencoba memahami kemanusiaannya hingga ia sampai pada pengetahuan yang tak dapat dilukiskan atau digambarkan oleh kata-kata dalam bahasa—dalam hal ini disimbolkan dengan satu kata “senja”. Senja yang dipotong untuk seorang pacar (cerpen “Sepotong Senja Untuk Pacarku”), senja yang direnungi oleh Sukab saban hari (cerpen “Rumah Panggung di Tepi Pantai”), senja yang menjadi latar belakang dari atraksi peselancar agung yang memesona (cerpen “Peselancar Agung”), semua senja itu adalah pengetahuan khusus yang tak dapat dijelaskan, sebuah kenisbian tak terbatas yang kemudian disematkan pada hal yang tak terjelaskan pula.
Menarik kesimpulan demikian butuh waktu sampai beberapa hari. Bahkan, jika dihitung hampir mendekati sebulan setelah diskusi pertama kami dilakukan. Akhirnya perburuan kami terhadap jejak Sukab Sang Pencuri Senja menemukan jalan yang semestinya—jalan terangnya sudah terlihat tapi kami akhirnya terjebak dalam kegelapan makna. Kami harus menunggu Sukab muncul kembali dalam kasus lain, karena tak mungkin ia diam saja setelah membuat gaduh dunia dengan senjanya itu. Senja yang sempurna masih hilang, belum dikembalikan, dan Sukab juga belum tertangkap.
- Usaha Menginterogasi Sukab dalam Kasus Pencurian Senja - 9 November 2017