
2015
Setahun setelah kematian Zulfikri, kami menziarahi akun facebook-nya. Kami bertiga tinggal terpisah, berpencaran sebagai anak rantau, sehingga tak sempat melayat ketika sahabat kami itu berpulang.
Ruslan yang biasa dipanggil Cullang kini di Jakarta, Budi alias Odin di Tarakan, dan aku sendiri di Teluk Bintuni. Dan ia, almarhum sahabat kami itu, telah terbaring tenang di makamnya di Makassar, tanah kelahirannya, tempat kami bertemu dan mengikat tali persahabatan semasa kuliah.
Dibanding yang lain, kendala jarak rasanya berlipat-ganda lagi bagiku. Aku tinggal dan mengajar di satu distrik terpencil yang tak terjangkau sinyal internet. Demi ziarah ini, aku harus naik perahu bermesin tempel tiga jam lalu naik kapal tiga jam lagi untuk sampai ke ibu kota kabupaten, tempat sinyal bermukim. Untungnya setahun kepergian Zulfikri bertepatan dengan libur semester.
Dalam kamar di penginapan dekat Kampung Nusantara, aku duduk memegang ponsel pintarku. Telah kucoba menelepon yang lain, tapi tak diangkat. Memang, karena tiga bulan di pedalaman membuat kartuku terblokir, aku telah mengganti nomor kontakku. Aku bisa memaklumi keadaan mereka; pasti, saking sibuknya, saking berharganya waktu bagi mereka, nomor baru takkan digubris. Sebenarnya aku juga telah mengirim pesan singkat, tapi itu pun tak mereka balas. Bosan menunggu, aku “berangkat” duluan. Kubuka facebook, kucari nama Zulfikri.
Ia masih di sana, di dunia itu. Fotonya terpampang jelas.
Meski telah setahun meninggal, janggut Zulfikri masih tercukur rapi, baju kokonya putih, dan wajahnya juga tetap bersih. Rambutnya tidak tumbuh panjang, rupanya ia tak mau mengulang apa yang betah dipeliharanya saat kuliah. Dan peci putih itu, yang menjadi pelengkap permanen penampilannya kira-kira setahun sebelum meninggal, masih bertengger di kepalanya. Ia berfoto di depan Masjid Raya, tempat ia, menurut pengakuannya, pernah menaruh dosa yang sangat disesalinya.
Aku lupa demo apa yang dimaksudnya, tapi saat demo itu berlangsung, ia yang kebelet kencing buru-buru mengoper megafon dan meninggalkan posnya sebagai Korlap dan berlari ke masjid. Diburu kantung kemih sendiri, ia kesasar masuk toilet perempuan, membuka pintu yang ternyata tak terkunci—entah kuncinya rusak atau memang disengaja, tapi sepertinya kemungkinan yang tersebut belakangan itu sulit dipercaya—dan menemukan pemandangan yang sampai kapan pun sebaiknya tak diceritakan secara rinci. Teriakan seorang perempuan memancing keributan di seluruh penjuru toilet itu. Zulfikri terbirit-birit kabur, lupa pada niatnya berkemih.
Itu kisah yang memancing senyum, kami tak menduga kalau ia merasa amat-sangat-menyesal-sekali karenanya. Semua tahu Zulfikri, si mahasiswa urakan, dengan kesehariannya yang asing dari tata krama, dan persediaan lelucon jorok yang tak sabar melompat dari liang di bawah kantung amandelnya. Meski begitu, sungguh pendapat yang gegabah bila menganggap kejadian itulah yang mengubah penampilannya.
“Heh, kamu dari berguru di mana?” Pertanyaan ini masih tersimpan di kotak pesan masukku, pada tanggal ketika ia mengganti foto profilnya dengan yang terbaru sekaligus terakhir itu.
Ia hanya menjawab: “Saya bosan, Cikak[1].”
Tidak mungkin. Adalah mustahil ia yang menyembah rasionalitas itu tiba-tiba berubah tanpa alasan. Tapi ia tak mau cerita, selalu dibengkokkannya obrolan, melipir ke sana-kemari, berulang-kali memang menyentuh ranah lelucon seperti biasa, tapi kali itu ia hanya menyisir yang jorok-jorok di atas permukaannya saja, seperti angin berembus di atas gundukan tanah. Di balik gundukan itu, tertimbun kosakata cabul yang telah dimamahnya baik-baik selama 29 tahun hidupnya; yang kerap diterjemahkannya dengan memelesetkan nama sastrawan Inggris termasyhur sebagai “alusi seks-pearean”; lelucon yang selalu kami tunggu-tunggu; yang rupanya tak lagi hendak diubek-ubeknya. Mungkin itulah yang disebut tobat.
“Kau sudah duluan rupanya,” sebuah pesan masuk dari Odin.
“Iya, Cikak. Mana bos yang satu?” aku menanyakan Cullang.
“Mungkin lagi urus izin pada istri keduanya.”
Aku tersenyum. Jelas bagiku Odin bercanda. Cullang bekerja di salah satu perusahaan properti besar di ibu kota. Ia mungkin masih sibuk di kantornya.
Mungkin sampai satu jam aku dan Odin mengobrol, bertukar gurau, mengingat-ingat lagi kejadian-kejadian berkesan yang dulu kami lalui sama-sama. Tak lupa, kutanyakan kabar istri dan anaknya yang semula kukira masih sebiji.
“Kau tidak menanyakan junior yang lain?” tulisnya.
“Yang mana?”
“Keponakanmu tambah satu lagi dua minggu lalu. Batangan, lagi. Namanya Zidan, biar dia bisa main di Real Madrid.”
Aku memberi selamat. Tapi perasaan canggung yang aneh kontan menyusul setelahnya.
“Kamu kapan?” tanyanya. “Jangan kawin terus, sesekali menikah, dong.”
“Hus! Saya tidak seperti kau.”
“Hehehe. Tidaklah. Saya sayang keluarga.”
“Syukurlah, Odin. Kalau kuingat brengseknya kau dulu…, ternyata bisa juga kau sayang keluarga.”
Ada semenit jeda sebelum ia mengirim pesan lagi. Mungkin ia menungguku, tapi jujur saja aku tak tahu mau bilang apa. Mengalihkan topik obrolan hanya akan menjadikanku bulan-bulanan.
“Menikahlah cepat, Man,” tulisnya kemudian, kukira ia berubah serius. “Jangan biarkan kekayaan alammu jadi batu akik.”
Aih. Setan si Odin ini.
“Sudah,” tulisku. “Ingat, sebentar lagi kita ziarah.”
***
Karena Cullang tak kunjung muncul, Odin memintaku memulai saja.
Maka, kutulislah ini di dinding akun almarhum: Ya Tuhan kami, ampunilah segala kesalahan sahabat kami Zulfikri, terimalah segala amal baiknya, lipat-gandakanlah pahalanya, dan lapangkanlah alam kuburnya. Aamiin.
Odin segera mengomentarinya dengan kata “Aamiin”. Lalu satu per satu teman-teman lain, dari tempatnya masing-masing, mengirimkan jempol dan turut mengaminkan.
Kami melanjutkan ziarah kami dengan menyusuri tulisan, foto, video, tautan, pokoknya apa saja yang dibagikan almarhum selama hidupnya, yang sempat diabadikan media sosial itu.
Aku mengamati, kurang dari setahun sebelum meninggal, rupanya ia memanfaatkan media ini untuk menyiarkan pesan-pesan positif tentang kehidupan. Tak ada lagi candaan vulgar yang sebelum itu banyak menghiasi dindingnya, yang selalu memancing komentar dan jempol orang begitu banyak; bahkan, saat aku terus turun ke tahun 2012, salah satu tulisannya di tahun itu mencapai seribu lebih jempol dan komentar menghampiri seratus, padahal tulisan itu singkat saja—kukutip di sini apa adanya: “Selamat BERAKtifitas”. Dari persentase respons, bisa dikatakan itulah “pikiran” terbaiknya (kata “pikiran” di sini tentu saja kucomot dari pertanyaan yang selalu diajukan kolom kosong di facebook: apa yang Anda pikirkan sekarang?). Jumlah itu bahkan mengalahkan nasihat-nasihat ataupun kata-kata motivasi yang bisa menuntunmu hidup lebih baik, yang sering ia bagikan selama fase terakhir hidupnya; sepengamatanku, pada fase terakhir tersebut, paling tinggi hanya 50-an orang yang mengirimkan jempol. Boleh jadi itu bukti dari tabiat manusia sekarang, yang kata sekian banyak orang yang pernah kudengar, semakin tak suka digurui. Ataukah teman-temannya memang kurang menganggap simpatik—bukan menganggap buruk, tentu saja—perubahannya? Tak tahulah.
Barangkali tak adil meringkas kehidupan orang dalam satu kesimpulan saja. Tapi, bila dibolehkan begitu, bisa kukatakan bahwa menjelang akhir hidupnya Zulfikri tampak lebih matang dalam hidup. Mungkin ia tak lagi tertarik pada hal-hal yang sebatas permukaan semata. Bila sebelumnya ia dengan lantang merayakan kesenangan-kesenangan hidup dari yang bisa diciptakan dengan kata-kata, setahun sebelum meninggal ia mulai membaliknya, beralih menggunakan kata-kata untuk menyampaikan pandangannya tentang apa yang baik, yang utama, dalam hidup.
“Odin?”
Tak ada jawaban.
“Odin?”
Entah ke mana dia.
Balasan darinya baru datang kemudian, saat mataku telah memasuki tahun 2011 kehidupan Zulfikri.
“Kau juga terima SMS itu?” tulisnya.
“Yang mana? Nomorku baru, tak ada yang tahu.”
“Innalillah…. Saya baru saja menerima kabar dari istri Cullang: sahabat kita itu telah berpulang tadi pagi. Gagal jantung.”
Hening.
“Jangan bercanda.”
“Kau percaya saya masih bisa bercanda soal begituan?”
Aku terdiam. Bukan hanya tanganku, pikiranku pun rasanya ikut diam. Meski itu tentu saja tidak betul. Suara-suara tetap bersipongang di benakku.
Mendengar kabar orang yang sudah tua meninggal, aku sering berkata memang sudah waktunya, tubuhnya sudah menyerah, mungkin semangatnya juga. Tapi ia yang masih muda, belum seberapa lama hidup, tanpa pertanda apa pun tiba-tiba meninggal? Rasanya sulit diterima. Tapi, adakah kematian yang bisa direlakan dengan mudah? Apalagi itu kematian sahabat kami, ia yang dulu mencetuskan ide menziarahi akun Zulfikri, yang kami tunggu-tunggu sedari tadi, tapi yang muncul malah kabar bahwa dia telah menyusul sahabat kami yang telah lebih dulu pergi.
Dan bagaimana pula selanjutnya? Untuk sementara kami akan bersedih, tentu saja, tapi waktu berlalu dan kami melanjutkan hidup seperti biasa, sampai kabar kematian berikutnya datang dan seolah bertanya, “Perlu berapa kematian lagi agar kau bisa mengingatku?”
Ah, kalau begini, sepertinya bukan kami yang melakukan ziarah, melainkan kematian itulah yang menziarahi kehidupan kami. Merenungkannya, alih-alih bergidik ngeri, aku malah merasa kuat, tapi murung sekaligus.
“Man, kita sudahi, ya?”
“Ya, Odin.”
“Sampai jumpa setahun lagi.”
Bojo, Oktober 2016
[1] Cikak: teman.
Kang.Sani
Diksinya bagus, enak dibacanya, mengalir. Salam literasi-Kang.Sani
layung kemuning
mantap ini.
ada sindiran halus untuk para pengguna sosmed, tapi juga sindiran kepada semua pembaca yang lalai pada kematian yang berkali-kali mengingatkan.
Desak N. Pusparini
Suka dengan isinya dan gaya berceritanya. Enak dibaca.
Rolyta Nur Utami
Mantap qolbu
Meipurple.com
mantapss. diksi keren, dan pesan yang dapet!
kerennn..
Bunga Rizki Ananda
Simpel, tapi pesannya kena sekali. Mengingatkan Saya pada sahabat yang telah berpulang lebih dahulu.