Ikhtiar Kiai Faizi Menyalasar Puisi

“Usaha karya sastra menjadi populer atau bisa dinikmati secara populus (people, masyarakat luas) tentu saja tidak harus berasal dari sastra populer. Karya sastra populer menjadi populer sudah menjadi barang biasa tetapi karya sastra serius kemudian menjadi populer akan memantik diskusus yang menarik dalam konteks kajian kebudayaan kita secara umum.” 

(Memopulerkan Karya Sastra, Kompas 30 Desember 2017)

Di sela-sela peluncuran buku Nyalasar karya M Faizi, penyair dan budayawan Iman Budhi Santosa berbisik dalam bahasa Jawa yang artinya, “Mestinya para guru SMP, SMA, dan dosen-dosen sastra di kampus-kampus malu terhadap hadirnya buku ini. Mereka yang bertanggung jawab mengenalkan puisi dengan cara yang mudah agar bisa dipahami oleh anak didiknya. Malu mereka maunya hanya menulis kritik sastra yang dakik-dakik tapi melupakan cara dan apresiasi seperti dilakukan Faizi.”

Saya menyadari Mas Iman, begitu saya memanggilnya, tidak sedang bercanda, seperti tercatat dalam risalah hidupnya yang sudah lebih dari 70 tahun mengabdikan diri kepada dunia sastra dan budaya di Yogyakarta khususnya. Mas Iman merasa terhenyak karena buku Nyalasar ternyata mampu mengingatkan kembali sepak terjang dunia sastra Yogyakarta dan Indonesia secara umum. Nyalasar seperti menggodam dirinya begitu dalam karena buku ini dianggapnya sebagai “sesuatu yang belum pernah dilakukannya.” Nyalasar, dalam persaksian Mas Iman, ibarat esai-esai Saini K.M. dalam rublik Pertemuan Kecil di harian Pikiran Rakyat periode 1976-1996 (hal. 7) dan hari ini M. Faizi, seorang kiai dari Pondok Pesantren Annuqayah, kembali menuliskan sebentuk esai-esai yang mengulas puisi dengan gaya, cara, dan selera Faizi.

Sebagai kumpulan esai yang ditulis untuk mengapresiasi dan menafsir puisi dari 29 penyair dalam buku ini, Nyalasar di tangan Kiai Faizi menjadi #tafsirpuisimanasuka, sebuah tagline yang diperkenalkan sejak esai pertama (awalnya diunggah secara acak di akun pribadi media sosial Facebook). #Tafsirpuisimanasuka, saya lebih suka menyebutnya esai-tafsir puisi ala Kiai Faizi, telah menjadi branding dan sekaligus posisi diri (self-positioning) penulisnya sebelum berhadapan dengan khalayak lebih luas (termasik para sastrawan dan khususnya kritikus puisi sendiri). Posisi demikian menjadi semacam abstraksi lorong kecil yang akan ditempuh oleh Kiai Faizi dalam membahas puisi-puisi dari para penyair selanjutnya. Karena jika tidak, gaya menafsir Kiai Faizi mungkin saja bisa “mencederai” satu-dua orang yang memandang puisi dengan cara berbeda (baca: elite dan serius dengan teori sana-sini). Apalagi misalnya ketika Kiai Faizi sendiri “meminta maaf” jika caranya dianggap ugal-ugalan.

Kiai Faizi mengerjakan semua ini secara gembira, dengan keikhlasan tingkat tinggi. Jumlah puisi yang dibahas Kiai Faizi—seperti  pengakuannya sendiri—telah mencapai lebih dari 40 judul, termasuk salah satu puisi saya sendiri yang berjudul “Sheb-i Arus II” dalam Rumbara Perjalanan (Diva Press, 2017). Sementara buku Nyalasar hanya memilih dan memilah 29 puisi mulai dari penyair muda seperti Kim Al Ghozali, Jamil Massa, Malkan Junanidi, hingga nama-nama beken dari penyair generasi sebelumnya seperti Iman Budhi Santosa, Afrizal Malna, Joko Pinurbo, Raudal Tanjung Banua, Acep Zamzam Noor, Iyut Fitra, Zeffry J. Katiri, Nana Ernawati, Abdul Wachid BS, dan sebagainya.

Saya optimis dan sangat mengapresiasi cara membahas puisi seperti yang dilakukan Kiai Faizi sebagai angin segar di tengah kemarau panjang apresiasi (dan kritik) terhadap puisi dan karya sastra secara umum. Meski apa yang dilakukan Kiai Faizi tidak secara serta-merta menjadi kritik sastra, misalnya jika harus mengikuti kaidah akademik dan sejnisnya, kegiatan suka-suka seperti ini lahir dari inisiatif yang hati dan jiwa yang jernih, tanpa ada pretensi selain karena melakukannya atas dasar moral kerelaan (decency).

Nyalasar (Madura) secara etimologi adalah menyerut, menggambarkan aktivitas mempercantik atau memperhalus kayu (bagi masyarkat dengan kultur ukir di Madura). Buku ini adalah sebuah ikhtiar, cara Kiai Faizi untuk me-nyalasar puisi agar bisa dibawa ke selasar di mana publik bisa mengaksesnya. Ihtiar seperti ini, setidak-tidaknya, menawarkan hal penting yang patut diapresiasi.

Pertama, Kiai Faizi mengajarkan tentang cara membaca puisi sesusai dengan selera dan kapasitas kita masing-masing. Sejak dalam esai-tafsir puisi pertama karya Malkan Junaidi, Kiai Faizi sudah jelas menunjukkan cara, sikap, dan visinya dalam menafsir puisi. Sehingga jangan heran jika kemudian kita menemukan pernyataan-pernyataan seperti “di sinilah, mengapa tafsir puisi dari saya akan berbeda dengan tafsir Anda” (hal. 25); “puisi-puisi yang saya ulas—termasuk yang ini—tidak mengandung unsur pesanan apalagi tekanan” (hal. 30); “maaf, saya agak ngelantur” (hal. 44); dan “saya perlu minta maaf karena tidak mampu melanjutkan tafsir” (hal. 99) yang menguatkan argumen tentang rasa dan selera suka-suka ala Kiai Faizi dalam menulis tafsir puisi dalam Nyalasar. Suka-suka di sini jangan dimaknai sebagai aktivitas usil dan sia-sia. Kesuka-sukaan Kiai Faizi dalam menafsirkan puisi lebih sebagai bentuk ekspresi kultural yang melekat dan terkonstruksi pada diri seorang kiai pesantren yang, kata orang Turki, mütevazı atau dalam bahasa luar Madura disebut humble!

Dengan asas cara suka-suka dan selera melalui esai-tafsir puisi, melalui Nyalasar Kiai Faizi seperti ingin menunjukkan kepada pembaca luas bahwa puisi adalah medan tafsir yang polyphonic di mana setiap warna dan latar identitas bisa melakukannya. Singkatnya, puisi jangan lagi dianggap sebagai objek kajian yang rumit dan dakik-dakik, alih-alih hingga mendefinisikan dan melahirkan kelas pembaca tersendiri untuk sekadar menikmatinya. Kiai Faizi pasti tidak akan menyukai melulu pencitraan tinggi atas puisi. Satu sisi, disiplin akademik dan pencitraan tinggi terhadap puisi boleh sebagai apresiasi atas karya sastra. Tetapi di sisi lain—dan ini yang sedang dan telah dilakukan Kiai Faizi—menghadirkan puisi ke gelanggang populis, ke serambi rakyat luas, adalah perjuangan pelaksanaan kata-kata, meminjam larik puisi W.S. Rendra.

Belajar kepada cara kerja Nyalasar adalah menelisik tentang kesediaan akan tantangan untuk menafsirkan puisi dengan kapasitas masing-masing, dengan latar pengetahuan, cara, dan selera. Dengan cara begitu puisi tidak akan pergi lebih jauh lagi dari dunia kebudayaan, di mana puisi lahir di tangan penyairnya.

Kedua, silaturahim, kosakata yang sangat pesantren dan telah menjadi pandangan dunia Kiai Faizi (Faizi’s world view). Terma silaturahim terdiri dari shilah yang berarti hubungan dan rohim kerabat, belas kasih dan sayang. Ketika esai-tafsir puisi Nyalasar menjadi lokus aktualisasi bagi silaturahim, serat-serat paling esensial dari roda kebudayaan manusia, dalam konteks literasi, sebenarnya sudah aktif menggelinding. Cara membangun hubungan dengan kerabat, teman, dan orang lain dengan landasan belas kasih dan sayang adalah nilai-nilai luhur silaturahim literasi yang dilakukan Kiai Faizi. Dari silaturahim literasi begini sangat mungkin merambah kepada silaturahim aktual¸ di mana sapaan, pertemuan langsung, dan peristiwa cabis (sowan) bisa terjadi secara live. Komposisi silaturahim literasi yang telah dilakukan Kiai Faizi: (a) Membaca/menyapa karya penyair (karya kebudayaan); (b) Pesan si penyair dicoba untuk dijabarkan/ditafsirkan; (c) Si penyair akan merasa senang karena karyanya dibaca dan diapresasi; (d) Publik (jamaah Fesbukiyyah khsusnya) membaca dan menikmati makna-makna puisi hasil dari tafsir Kiai Faizi dengan sematan aspek-aspek tradisi, budaya, mitos, agama, dan humor.

Silaturahim yang dilakukan Kiai Faizi lewat Nyalasar adalah silaturahim dunia maya, via media sosial, konsekuensi atas perkembangan kebudayaan kita yang makin canggih. Silaturahim, seperti juga aktivitas sosiologis manusia secara umum, sudah bergerak dari yang fisik menuju nonfisik. Tidak ada yang salah dengan itu. Simulasi dunia internet, dengan bantuan teknologinya yang makin canggih, mampu menghadirkan aktualitas dan bahkan menghapus anggapan dunia maya karena nyaris semuanya menjadi aktual dan faktual. Misalnya, ketika kita bersilaturahim dengan satu kerabat atau teman via Facebook, di sana sudah tersedia fitur chatting dengan suara, gambar, dan video sekaligus, di mana hal-hal yang aktual sebenarnya terjadi

Ikhtiar silaturahim ini benar-benar diselami oleh Kiai Faizi dengan membuka ruang dialog, bahkan bukan hanya antara Kiai Faizi dan si penyair, juga membuka lapak silaturahim pemikiran dengan teman-teman Facebook yang lain. Momentum dan ruang yang memungkinkan terjadinya dialog misalnya disampaikan dengan “Anis Sayidah boleh protes andai saja pembacaaan saya ini keliru, tetapi demikian inilah yang telah terjadi” (hal. 48) yang bisa dibaca untk tujuan memancing komentar.

Ketiga, memanfaatkan keluasan sudut pandang. Cara ini dilakukan Kiai Faizi untuk membingkai khazanah tentang interpretasi puisi yang rada serius tapi santai, selera keakraban, persahabatan, dan humor. Kiai Faizi melakukan kerja mengulas puisi-puisi dalam buku Nyalasar dengan beragama cara: santun, hati-hati, sabar dan penuh hormat, seperti esai-tafsir puisi “Ya, Kekasih” karya W.A.A Ibrahimy (karena sama-sama kiai, harus menjaga adab kepada guru), “Pada Sebuah Ucapara Turun Tanah” karya Iman Budhi Santosa (sebagai guru sastra dan senior), “Doa Seorang Pesolek” karya Joko Pinurbo (mungkin menjadi salah satu inspirator bagi Kiai Faizi), “Pohon Shahabi” karya Nana Ernawati (seorang penyair yang menggerakkan literasi dan sastra), dan “Masjid Jami’ Bluluk” karya Abdul Wachid BS (penyair yang puisinya diulas paling panjang dalam buku Nyalasar); rada ugal-ugalan seperti esai-tafsir puisi “sebab cinta” karya Kim Al Ghazoli AM; dengan sentuhan selera humor seperti dalam puisi “Abaya Hitam” karya Ben Sohib, Tanding Puisi: Sahlul Fuad & Binhad Nurrohmat, Suatau Sore di Stasiun UI Depok karya Zeffry J. Alkatiri, “Kepada Tuan Sapardi” karya Nanang Suryadi, dan “Ode Buat Seorang Penyanyi Dangdut” karya Acep Zamzam Noor; bahkan ada tafsir puisi putus asa (menyerah), menunjukkan ketidaksanggupan Kiai Faizi dalam mengulas puisi karya Afrizal Malna berjudul “Dalam Gereja Munster” (hal. 93). Di tengah ketidaksanggupan itu, Kiai Faizi bertanya (kepada siapa?): Sekarang saatnya bertanya, apakah tafsir ini berguna? (hal. 99).

Akhirnya, dengan terbitnya buku Nyalasar, pertanyaan di atas sudah terjawab dengan sendirinya: ya, berguna sekali. Kiai Faizi sudah pasti tidak pernah terpikir bahwa apa yang dilakukannya di status Facebooknya itu akan menjadi sedemikian penting dan diapresiasi oleh Ibu Nana Ernawati lewat Lembaga Seni dan Sastra Reboeng. Sekarang, sebagai bagian dari masyarakat sastra Indonesia, saya ingin mengucapkan, “Selamat melanjutkan menafsir puisi suka-suka, Kiai!”

 

Bernando J. Sujibto
Latest posts by Bernando J. Sujibto (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!