Puisi-Puisi A. Nabil Wibisana; B UNTUK BUS

A UNTUK ASMA

untuk Anaci Tnunay

 

temannya, ahli matematika

yang mengajar bahasa,

menulis kisah pendek

tentang bocah pengidap asma

ia seketika tahu, akan sesak napas

bahkan sebelum kalimat pungkas

bukan, bukan karena itu kisah sedih,

atau karena benih tangis yang ditanam

sejak kalimat pertama, ia hanya teringat

panas matahari pagi saat mendaki

ke puncak taman doa. udara teramat

tipis, dosa berlapis-lapis. baris kalimat apa

yang mesti dipanjatkan jika ia hanya punya

tiga sampai enam kata, sebelum napasnya

habis? ia pun belajar nilai kata-kata

sebuah kata bisa berarti banyak

itulah sebabnya saat ia membaca “inhaler”

atau “maaf” atau “obat”, ia seakan kembali

terlempar ke jalan menanjak itu dan sekali

lagi percaya: meski panjang-berliku,

jalan kasih mampu menyembuhkan

apa-apa yang tak sempat tersembuhkan

dalam sebuah kisah pendek

 

(Bello, 2016)

 

 


 

B UNTUK BUS

untuk mengejar kebahagiaan,

kau perlu waktu. tapi bukan

melulu waktu, kau juga perlu

sekutu. bukan sembarang sekutu,

tapi sosok yang meneguhkan

prinsip─tak jeri akan ancaman

salib ataupun salip

sosok dengan dua cita

mirip belaka: menjadi tuhan

atau menjadi sopir bus

saat kau terengah-engah

dan tiba di simpang jalan itu,

kau bahkan tak perlu mengetuk

pintu. kau cukup bersimpuh

dan menatap dengan mata berembun

ia melihat segalanya. masa lalu

yang jauh, masa depan yang keruh.

jika akhirnya kau tak bisa menemui

kebahagiaan, selalu ada halte tempat

kau menuju, tempat ia sudi menunggu

 

(Fatululi, 2017)

 

 

C UNTUK CRAGLE

 

meski pembatas telah disisipkan,

kisah tak mesti berakhir. Lagi pula,

mereka tahu enigma cinta bukanlah

perkara yang mudah tuntas. kata-kata

terhapus, keping peristiwa terpangkas

pernah ada satu masa, mereka harus

menjauh─serupa gagang telepon

dan rumahnya─agar bisa bicara

tapi kini, setelah bagian-bagian

rumah itu melekat satu sama lain,

bicara hanyalah ihwal satu sentuhan

halus. sebelum langit hangus,

vista berubah, barangkali terjungkir─

atau malah tertata wajar belaka?

langit-langit likat. di hamparan likra

putih susu, kontur bukit dara. pikat

seulas senyum, lengkung cakrawala

tepat saat bibir mereka merekat,

kisah bermula

 

(Bello, 2017)


WRITER’S BLOCK,

ATAU D UNTUK DOR!

 

selepas dua belas

kelokan terjal,

sungai deras tempat

batu-batu pejal terbaring,

dan hamparan mawar liar

di halaman tanpa pagar,

ia pun tiba di teras rumah itu

santun mengetuk pintu

berharap dalil dan jawaban,

bukan dalih dan pertanyaan

 

celakanya, itulah yang terjadi

 

tuan penyair, bukan? tunggu sebentar,

saya sedang keluar

 

selepas getun yang panjang,

ia seret kasut, serupa menggambar

jalur-jalur kusut di lantai berdebu

sekali lagi berharap seseorang

datang mengetuk pintu,

membawa entah pistol atau pisau

tapi tak ada pria berjanggut,

lelaki petugas jajak pendapat,

ataupun bujang pengantar piza

ia benar-benar sendiri

dalam penantian yang konon

sebentar tapi ternyata tak jua kelar

 

maka ia tuliskan saja apa adanya,

apa yang sungguh-sungguh terjadi

 

(Bello, 2016)


 

E UNTUK ETGAR

 

for me, writing was always

an act of losing control.

 

/1/

sebermula telinga

jurang menganga

antara apa yang normal

dan apa yang ganjil

mungkin ada yang menemu tanda:

ia perawi yang tak layak dipercaya

“cerap yang tak cakap!” simpul

sang pengadil, membuka kartu

tapi tetap saja, apa yang keliru?

bahkan di usia sebelia itu,

ia tak mudah dipedaya

truth or dare baginya

sama belaka. jujur moral utama,

nyali mengalir dalam nama

tapi apakah dunia peduli?

 

/2/

dunia kadang punya selera humor

yang buruk, tapi alergi serbuk kayu

bisa jadi canda penawar kantuk

memang palang tukang kayu

berbeda dengan soket tukang pipa

tapi jalan penebusan tetaplah

jalan penebusan, meski yang satu

demi umat manusia dan yang lain

hanya untuk diri sendiri

dari sudut pandang tertentu,

bukankah bumi dan kelereng

serupa belaka? sungguh tak sia-sia

ia pergi, sungguh tak sia-sia

ia lepas kendali─kecuali satu

hal kecil: ia lupa membawa kartu.

 

(Bello, 2017)

 

 

Catatan:

Puisi-puisi di atas berutang pada lima cerpen karya Etgar Keret, berturut-turut: a) Asthma Attack, b) The Bus Driver Who Wanted to be God, c) Crazy Glue, d) Suddenly, a Knock on the Door, dan e) Pipe.

A. Nabil Wibisana
Latest posts by A. Nabil Wibisana (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!