Amanda

kai kalhh

Ini bukan hal baru ketika cermin yang membungkus hampir setengah dinding toilet berhias bekas lipstik, sink[1] yang disumbat  permen karet, lantai penuh dengan toilet paper[2], gelas cocktail, botol Smirnoff dan Jack Daniels, kaleng Heineken, stocking, bahkan undies[3] menyibukkan malam tahun baruku. Masih dengan sarung tangan karet berlapis enam masing-masing di tangan kiri dan kanan sambil menikmati hentakan keras bass dan teriakan DJ dari ruang utama diskotek terbesar di kota ini, kuambil  sapu, dustpan[4], picker[5], dan pengepel yang sejak jam kerja dimulai kuletakkan di balik pintu masuk toilet ini. Dan sekali lagi bukan hal yang baru jika hanya dalam waktu lima menit toilet yang terdiri dari sembilan bilik ini terlihat bersih kembali.

I really appreciate it.” Suara itu memecah keheningan. Kulirik Amanda yang berjalan bak model dengan senyum khas yang melekat di wajahnya, melewatiku dan masuk ke dalam bilik.

No worries,” jawabku singkat, seadanya, mencoba untuk merespons dengan senyum yang dibuat. Sapaan singkat ini adalah etika standar di negara yang dijuluki benua hijau ini. Di negeri ini kesadaran akan etika dan hukum melebihi segalanya. Dan pastinya berlaku di mana pun.

Oya, sampah di dalam toilet ini adalah keisengan. Sekadar dibuang berserakan sebagai tanda pembangkangan sistem dan kemapanan. Itu kenapa di jalan tadi banyak kudengar teriakan “Fucking free night, mate!” Dan terkadang kutanggapi dengan keisengan tidak membersihkannya sampai ditegur supervisor. Konyol bukan?

Tiga tahun bekerja membuatku hafal betul situasi dan pengunjung YOLO Complex. Termasuk Amanda. Wanita cantik ini adalah salah satu pengunjung tetap. Bahkan dia kenal betul pemilik YOLO. Sempat kulihat dirinya beberapa kali berseloroh lepas dengan the Big Boss. Dan malam ini sebelum mendapati sampah berserakan di dalam toilet, kudapati Amanda berasyik-masyuk dengan seorang lelaki Afrika di sudut Bar.

Ahhgg… Amanda, wanita ini sering berganti pasangan. Hampir setiap minggunya. Pernah beberapa kali kepergok bercinta di dalam toilet, lalu bersama lelakinya diusir dari diskotek. Tak ada guratan rasa malu terselip dalam senyumnya. Terkadang memikirkannya menggiringku pada Sex and City; Jakarta Undercover, Moammar Emka. Tapi fisiknya yang nyaris sempurna dan senyumannya yang anggun membuatku tak sanggup menyejajarkannya dengan para hostess ataupun lady escort.

***

 “Dia akan datang sebentar lagi. Tempat ini sangat sempit dan terang. Desahanmu akan didengarnya.”

Erangan-erangan kecil menyusup keluar dari bilik berukuran satu kali satu meter. Permainan si petualang nyaris mustahil untuk tidak terdengar mengingat di dalam bilik berukuran kecil tersebut terdapat closet duduk, tissue roll holder[6], dan sebuah tempat sampah. Sempit tapi cukup asyik untuk berhimpitan.

Satu menit…

Dua menit…

Tiga menit…

Empat menit…

Fantastic. You drive me hog wild[7], Amanda.” Lenguhan yang panjang mengalahkan kesunyian. Hancur berkecai-kecai.

“Cepat bersihkan dirimu! Aku tak ingin diusir lagi dari tempat ini.”

“Pakai saja sepuasmu!” Larry menyelipkan Visa Debit di antara belahan dada yang penuh itu.

Tak ada ritual kedekatan persekutuan cinta. Tidak ada ucapan terima kasih, kecupan, ataupun pelukan. Semua hanyalah permainan. Lelaki itu bukan hanya meninggalkannya karena keharusan agar tidak tertangkap, dia lelaki, ketika mencapai puncak tubuh melepaskan hormon-hormon senyawa kimia yang menyebabkan rasa kantuk dan minuman adalah obatnya. Sedangkan tubuh wanita melepaskan hormon yang membuatnya terjaga.

Amanda duduk bergeming di atas closet. Telunjuknya mengitari bibir gelas cocktail yang disembunyikan di balik closet sesaat setelah Larry memaksa masuk ke dalam bilik yang sama. Pikirannya menembus batas. Meraba-raba. Mencoba mendapati dirinya yang dahulu.

***

Dari balik tirai yang ditiup angin November, Amanda menarik selimut putih bermotif bunga sakura. Menutup tubuhnya. Menatap lekat rona merah langit senja berpadu pesona ungu deretan jacaranda[8] yang berdiri tegap. Tak ada yang lebih indah dari berbaring di tempat tidur bersama lelaki yang dicintai, menikmati wine[9], dan senja.

“Satu kecupan untuk membayar segelas wine dan senja.” Amanda tersenyum menunggu dipagut dan membiarkan dirinya kembali melayang bersama kelopak-kelopak ungu jacaranda yang pasti akan dirontokkan angin November. Alunan musik melebur bersama waktu dan cumbuan. Seirama. Dan untuk kesekian kalinya Stewart mampu menyentuh inti terdalam sensualitas wanita cantik itu.

Senja, ciuman, bunga, kartu, surat yang ditulis tangan sendiri, perhiasan, parfum, gaun, coklat, dan kumpulan puisi romantis, adalah hal-hal kecil yang berarti banyak bagi wanita. Begitupun Amanda, dia sangat bahagia ketika dengan cara imajinatif dan kreatif Stewart menyisipkan cincin berlian putih di dalam kartu ulang tahun dan menaruhnya di bawah bantalnya. Untuk membalas kejutan lelakinya, Amanda menyiapkan makan malam romantis. Bunga dan lilin menghiasi meja yang ditatanya apik. Gaun hitam off shoulder, stiletto hitam, make-up natural, dan rambut pirang yang tergerai membuatnya menawan.

“Malam ini akan luar biasa!” gumamnya sambil tersenyum seolah mencari persetujuan cermin.

Suara gagak pulang ke sangkar menyibukkan senja yang perlahan dilumat waktu. Seekor merpati bertengger di atas kotak pos seolah mengenang zaman baheula. Siluet deretan pohon jacaranda dibentuk oleh biasan lampu jalan. Kelopak-kelopak ungu melantai bersama dedaunan kering di atas rumput hijau yang gagah dan rapi diiringi nyanyian rindu rimbunan bunga daisy. Rindu pada cahaya sejati dan embun pagi yang segar seperti rindu gadis melewati malam dalam temaram.

Aroma mawar merah pucat menyeruak memenuhi ruangan. Kini malam benar-benar hadir. Sudah berjam-jam Amanda menunggu kedatangan Stewart. Dua porsi kabuli palaw[10] yang dipesan dari restoran Afghan seberang jalan telah dingin. Wine yang tadinya berisi penuh kini tinggal seperempat botol. Rasa tak sabaran telah menenggak habis tiga perempat botol.  Stiletto hitam tergeletak di lantai, rambutnya diacak tak keruan karena menahan emosi. Dan setelah menghabiskan seperempat botol terakhir, Amanda terlelap.

Angin sepoi basah menyelinap masuk melalui jendela yang dibiarkan terbuka. Amanda membuka mata dan mendapati kekasihnya bersimpuh di hadapannya. Ia mereka-reka apa yang terjadi setelah dirinya tak sadarkan diri tetapi kepalanya yang berat tak bisa diajak kompromi.

“Maafkan aku. Carla menungguku di mobil.”

Carla adalah rekan Stewart. Mereka bertemu dua tahun yang lalu ketika bersama-sama membangun usaha kafe. Cinta pada pandangan pertama adalah kesan yang terbawa dalam cerita tentang rekanannya itu. Amanda tak menyangka Stewart tak mempertimbangkan hubungan mereka yang baginya lebih dari apa pun di dunia ini.  Dia berusaha untuk tidak mencemburui Stewart ketika terpaksa harus menemani Carla mencari kontrakan atau mengantarkannya pulang. Waktu berlalu dan ternyata ceritanya tentang Carla telah menjerumuskan dirinya untuk lebih mengenal wanita itu.

Amanda memperhatikannya tanpa bisa mengucapkan sepatah kata pun. Kalimatnya seperti petir yang menyambar sebatang pohon di tengah hamparan kanola. Bidikan yang menancap tepat dan mematikan. Stewart mencoba mengecupnya tapi ia cepat membuang muka. Dan untuk pertama kalinya Amanda tak menatap wajah rupawan yang sangat dicintainya itu. Hatinya terlampau sakit untuk sekadar mengintipnya dari kejauhan. Ia tahu betul gelagat kekasihnya. Ia tak akan pergi selarut ini jika ia tak lebih memilih Carla.

Amanda membawa kenyataan dikhianati ke dalam mimpinya dan tak ingin bangun lagi. Tetapi hidup adalah hidup. Berdiam dan menyesal hanyalah fase duka tanpa mengubah apa pun. Tidak cinta, hidupnya, ataupun waktu. Hati yang menyimpan cinta kini juga menyimpan luka. Dan di matanya lelaki adalah Stewart tanpa cinta.

***

Deritan pintu bilik membuyarkan lamunanku. Amanda melangkah ke depan cermin sambil merapikan gaunnya. Memastikan make-up-nya sempurna di bawah mata pucatnya. Jujurnya Amanda lebih menyerupai Shopie, si wanita Perancis, yang digambarkan Helena Frith Powell dalam Two Lipsticks and a Lover. Tinggi, langsing, cantik, dan apa pun yang dikenakan selalu membuatnya terlihat menawan.

 “Happy New Year, Love.” Amanda menyelipkan bungkusan kecil berisi serbuk putih yang dikeluarkan dari tas tangan Mimco hitam ke dalam tanganku. Dengan senyum dan satu kedipan mata, wanita itu berlalu. Tenggelam dalam keremangan lampu.

[1] Tempat cuci tangan

[2] Tisu toilet

[3] Pakaian dalam

[4] Tempat menaruh sampah yang berbentuk terbuka dan ceper

[5] Penjepit sampah

[6] Tempat tisu yang menempel di dinding

[7] Luar biasa! Kau membuatku lupa daratan.

[8] Pohon berbunga ungu

[9] Minuman anggur

[10] Nasi kukus yang dicampur kismis, lobak merah, dan daging kambing

Lidwin Maria
Latest posts by Lidwin Maria (see all)

Comments

  1. Anonymous Reply

    Berprasangka baik. Mungkin basabasi sedang kekurangan naskah untuk diposting.

    • Anonymous Reply

      Terima kasih sudah membaca.

    • Lidwin Maria Reply

      Terima kasih sudah membaca.

  2. Anonymous Reply

    Berprasangka baik. Mungkin basabasi sedang kekurangan naskah untuk diposting.

    emang kenapa gituh cerpennya?

    • Lidwin Maria Reply

      Terima kasih sudah membaca.

  3. Anonymous Reply

    I love it!

    • Lidwin Maria Reply

      Thank you for reading.

  4. Lina Reply

    I love it,
    Mungkin karena beberapa orang tidak menyukai genre yg seperti ini. Dalam novel ini genrenya metropop, kalo nggak salah.

  5. Lidwin Maria Reply

    Thank you for reading.

  6. Nong Moa Reply

    Ringkas, dan tuntas begitu saja. Seperti kita jatuh cinta pada sesuatu dan ketika kita mendekat hampir meraihnya, ia malah lenyap. Inilah yang membuat cerita ini tak tertebak karena banyak ruang dibiarkan kosong dan itu membuat pembaca diberi ruang cukup bahkan sangat luas untuk masuk dalam cerita.

    • Lidwin Maria Reply

      Thank you for reading

Leave a Reply to Lidwin Maria Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!