Rasulullah bersabda: “Lihatlah kepada orang yang berada di bawahmu dan jangan melihat orang yang berada di atasmu, karena yang demikian lebih patut, agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan kepadamu.” (HR. Bukhari)
Kehidupan selalu meletakkan manusia pada level yang berbeda-beda. Tidak hanya dalam konteks derajat sosial. Bisa lebih luas masuk ranah penguasaan ilmu pengetahuan, pengendalian emosi diri, hingga kemampuan memanajemen orang lain.
Saya beri contoh di dunia bersepeda. Ketika bertemu dengan banyak pesepeda di sebuah acara gathering, maka terkumpullah berbagai merek dan jenis sepeda di sana. Anggaplah itu sebagai senjata andalan yang sudah dipersiapkan baik-baik dari rumah untuk dibawa “berperang”. Saya tahu, di samping saya ada seorang pencinta tanjakan, ada yang suka touring, ada yang lebih banyak foto dan makan ketimbang bersepeda, dan lainnya. Setidaknya itulah yang terkesan dari foto-foto yang mereka posting di facebook. Acara yang beginian, yah 11-12 lah dengan Audax Randonneur tapi versi jarak pendek dengan tujuannya adalah tempat wisata alam. Audax Randonneur adalah semacam event bersepeda perorangan warisan negara Prancis yang mengharuskan pesertanya dengan menempuh jarak tertentu (minimal 100 kilometer) dalam waktu tertentu. Indonesia sudah punya lisensi resminya untuk mengadakan event serupa. Audax sama sekali bukan ajang balap sepeda seperti Tour de France yang juga telah diadaptasi ke Indonesia, salah satunya Tour de Pangandaran.
Begitu start, setiap orang punya banyak pilihan. Ingin berada di depan menempel dengan road captain si penunjuk arah. Ada yang menjaga ritme dengan kelompoknya sendiri. Atau yang kelas santai, paling belakang karena ingin menikmati pemandangan sepanjang perjalanan.
Setiap orang punya jam terbangnya masing-masing. Semakin banyak kilometer yang dicapainya, tentu membuat kemampuan manajemen diri semakin baik. Itu sudah pasti. Pengalaman akan membuat seseorang jauh dari rasa panik, menipiskan keinginan memaksa diri di luar kemampuan, termasuk mengontrol emosi yang terdorong bersamaan naiknya adrenalin hingga berakibat kacaunya detak jantung. Gagal mengendalikan itu semua bisa berujung pada serangan jantung. Bukan mitos belaka jika olahraga bisa menjadi senjata mematikan bagi manusia.
Sebuah turnamen balap, kata para pakar bersepeda, bukan asal cepat-cepatan mengayuh tanpa perhitungan aerodinamik dan penyesuaian berat tubuh. Angin adalah lawan berat dan bisa membuat sepeda ringan oleh ke sana-kemari. Tubuh yang terlalu berat pun membuka peluang pesepeda lain dengan mudah menyalip di trek menanjak. Selalu gunakan strategi cerdas.
Kembali ke bersepeda yang memang tujuannya rekreasi murah dan sehat. Berada di depan boleh jadi karena dia menyukai speed tinggi dan sepedanya memang setelan untuk kecepatan tinggi. Yang mau tetap dengan kelompoknya, juga tidak salah. Sebab bertemu dengan orang-orang baru boleh jadi bingung harus berbasa-basi bagaimana. Lebih baik begitu ketimbang menanyakan sesuatu yang justru terkesan konyol.
Yang di belakang, kumpulan tipe pencinta artistik alam yang tidak bisa diganggu gugat. Mereka suka dengan hijaunya sawah, para petani yang mengusir burung-burung pengganggu, layang-layang yang tampak kecil di langit sana, bapak-bapak yang memanggul ranting-ranting kering di pundak, ular sawah yang merayap lambat menyeberangi jalan raya.
Pada akhirnya, grouping yang terjadi selama di perjalanan, akan lebur kembali di tempat tujuan. Selalu begitu. Ketika badan sudah lelah, duduk pun mana suka. Saatnya untuk mengisi tenaga. Jalan pulang barangkali lebih menguras tenaga.
Sepeda saya berjejer dengan Polygon Xtrada yang harganya dua kali lipat. Atau sepeda rakitan dengan bodi sangat ringan yang jauh lebih menguntungkan penggunanya meski tak ada pengaman rem. Tapi saya tidak menemukan orang-orang yang membangga-banggakan sepedanya berlebihan. Mereka makannya pun nasi, atau soto, atau gorengan. Minumnya es teh atau es jeruk. Di saat-saat gathering pesepeda, memungkinkan saya bertemu dengan pemilik-pemilik perusahaan swasta mapan di Jogja. Mereka demikian bersahabat dan tidak enggan menjawab jika ada yang bertanya tentang usaha mereka.
Kita memang tidak bisa mengharap semua orang akan down to earth dan menghormati orang lain sepantasnya. Di tempat saya bekerja, sebuah kantor penerbitan, saya harus berhadapan dengan begitu banyak penulis. Yang baru mulai menulis sampai yang sudah mendapat predikat “senior”. Saya kurang begitu paham, apakah di luar sana ada semacam doktrinisasi yang mengatakan bahwa penulis adalah sebuah profesi yang begitu tinggi derajatnya. Sehingga, saya tidak hanya sekali mendapati penulis arogansinya tinggi kepada penerbit. Tidak semua penulis bersikap begitu.
Ada sebuah pepatah, gara-gara nila setitik, rusak susu sebelanga. Oknum penulis arogan itulah ibarat nila setitik. Boleh jadi, arogansi yang bersangkutan bawaan sejak lahir dan dibiarkan oleh lingkungan. Kemungkinan lain, arogansi itu tumbuh belakangan karena menganggap karyanya adalah sebuah produk yang teramat mempengaruhi dunia.
Arogansi adalah racun yang mematikan. Mematikan diri sendiri juga mematikan respek orang lain. Arogansi sangat mudah ditunjukkan lewat kata-kata atau gesture tubuh. Pada dasarnya penulis adalah orang yang bergantung pada penerbit atau media. Sejak dulu seperti itu. Beberapa cerpen Hamsad Rangkuti mengisahkan tentang penulis-penulis yang dikecewakan penerbit. Sebab idealisme, lah. Sebab kurang mengikuti perkembangan zaman, lah. Mereka hanya bisa sebatas memaki-maki redaksi jika karya mereka ditolak, atau honor tidak dicairkan. Mereka tak mau ambil pusing ingin tahu jika dunia penerbitan itu penuh dengan jaringan kerja yang rumit.
Pada cerpen “Penyair Bahman” dalam kumcer Wanita Muda di Sebuah Hotel Mewah diceritakan betapa kesalnya Bahman pada redaktur (koran) yang tidak juga memuat-muat puisinya.
“Pukimak itu redaksi,” kata Bahman.
“Mengapa?” kataku.
“Tidak juga dia muat-muat puisiku. Artikel-artikelku. Tadi kutelepon mereka bilang minta foto peristiwa pembunuhan malam Jum’at kemarin.” (hlm. 115)
Bahman seorang penyair yang mulai turun pamornya. Ia digambarkan mencari jalan pintas untuk menghidupi dirinya sebagai seorang pengamen yang mengumpulkan recehan dari satu warung makan ke warung makan lainnya. Perilakunya sudah seperti orang gila, pura-pura berbicara di telepon seolah sedang bernego dengan seorang redaktur.
Lain lagi dengan muntahan kekesalan lain seorang penulis kepada sebuah redaksi dalam cerpen “Sebuah Sajak” yang termuat dalam antologi Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku Dengan Bibirmu. Penyebabnya adalah sajak telah dibuatnya dengan susah payah ditolak mentah-mentah.
“Anjing! Redaksi Anjing!” teriak Hermes mengagetkan aku. “Sudah kutunggu pejuang itu pulang dari Tanah Suci untuk mendapatkan bahan yang otentik. Tapi sia-sia saja. Mereka mengembalikannya. Redaksi anjing!” (hlm. 181).
Penulis-penulis pada kenyataannya begitu menggantungkan hidup dari honor-honor menulis di koran. Menjadikan menulis sebagai profesi utama. Dan tidak mungkin kan seorang penulis mengirimkan naskahnya ke perusahaan properti?
Ketika sebuah penerbit sudah membatasi diri berhubungan dengan seorang penulis arogan yang ulahnya yang menjadi-jadi, si penulis akan kelabakan. Penyesalan selalu datang belakangan. Track record jelek seorang penulis akan secara alamiah menjadi warning bagi pihak lain, termasuk penerbit lain di luar sana. Buat apa direpotkan oleh tingkah seorang penulis yang di data marketing saja penjualan bukunya berada di ranking keseribu sekian. Sama sekali tidak menyumbang omzet, tapi tingkahnya begitu meresahkan.
Bagi saya, beda halnya jika dia itu adalah seorang penulis senior yang banyak permintaan. Nama sudah berkelas, wajarlah jika permintaannya banyak. Dan wajarlah jika terus dipepet sama penerbit-penerbit lain. Pertemuan saya dengan penulis sekelas Seno Gumira Ajidarma membuat saya mendapat kesan bahwa senioritas adalah sebuah anugerah Tuhan. Tidak perlu digadang-gadang pun orang sudah tahu, jam terbangnya di atas rata-rata.
Pembawaan Seno sangat santai dan berwibawa. Dia menatap satu per satu mata orang yang duduk di sekelilingnya seperti jarum detik yang bergerak statis. Dia tertawa secukupnya. Dia tidak banyak membual. Dia itu Seno. Siapa orang-orang dunia sastra yang tidak kenal dia?
Saya sih sama dengan para redaktur lainnya. Hanya bisa berharap para penulis selalu bisa menempatkan dirinya dengan tepat. Kita partner yang seharusnya saling menguatkan. Anda punya produk, penerbit yang menjualkannya. Sekian persen dari keuntungan penjualan, masuk ke kantong penulis, sisanya untuk menutup biaya produksi dan operasional.
Hubungan antara penulis dengan penerbit, tidaklah sama antara rakyat dengan penguasa. Tidak perlu juga seorang penulis bermanis-manis menunduk-nunduk agar tidak kena depak dari jagat literasi. Penerbit pada umumnya isinya orang-orang yang berpikir ke depan dan menjaga diri dari tindakan-tindakan ceroboh yang merugikan urusan korporasi, kecuali memang sedang khilaf.
Ah sepandai-pandainya manusia, pasti pernah khilaf juga.
Jogja, 17 Mei 2016
- Cerita Ringan Seorang Pekerja Kantoran yang Biasa-Biasa Saja - 21 September 2016
- Arogansi adalah Racun yang Mematikan - 22 May 2016
- AADC 2; Lanjutan Keresahan Hati Rangga dan Cinta - 17 April 2016