Kedatangan M Aan Mansyur bukan hanya untuk menjadi salah satu pembicara utama acara ulang tahun ke-3 #KampusFiksiEmas. Tapi dia pun turut menjadi salah satu orang penting yang hadir dalam premiere film “Ada Apa Dengan Cinta 2” (AADC 2) tanggal 23 April kelak.
Akui sajalah bahwa “AADC” salah satu film remaja yang mampu mengikat begitu kesetiaan banyak penggemar. Itu semenjak seri perdananya rilis di masa saya lewat sweet seventeen sampai terhitung belasan tahun berselang saya sudah jadi orang kantoran lima hari kerja. Film ini booming di saat perfilman Indonesia disebut berada di taraf kelesuan yang mengkhawatirkan. Orang-orang beralih mencintai film-film impor dengan kemegahan efek digital ketimbang produk lokal berkualitas festival tanpa kalah bagus teknik sinematografisnya. Apa yang disuguhkan para sineas lokal konon tak mampu membuat jatuh cinta audiensi.
Saya masih ingat betul ketika ingin menonton “AADC”. Tempat pemutarannya adalah gedung bioskop satu-satunya di Jogja. Saya janjian dengan seorang teman sepulang sekolah. Gerilya tikus dan gerak-gerik gelisah kecoak di bawah deretan kursi tua yang keras sudah tak saya pedulikan. Pandangan saya tertuju pada layar raksasa di depan sana. Teman saya katanya sudah ketiga kalinya menonton filmnya. Hingga dia dengan mudah mengulang beberapa artikulasi tokoh-tokohnya yang diucapkan kurang begitu jelas, termasuk, “Tadi Rangga dipanggil apa sama bapaknya?” dan teman saya menjawab, “Heh monyet.”
Kini, gedung tua itu sudah bergabung dengan sejarah kota Jogja. Bioskop-bioskop megah tumbuh sebagai napas baru wadah bagi sinema-sinema terbaru pilihan. Sejumlah pengusaha bioskop percaya bahwa masyarakat Jogja sangat banyak yang mencintai film komersial. Harga tiket dan fasilitasnya bersaing ketat. Kursi eksklusif hingga yang bisa sampai berbaring sepenuhnya.
Aroma niatan pembuatan sekuel “AADC” sudah tercium sejak lama. Semakin kuat saja begitu dibuat film pendek yang disponsori sebuah aplikasi chatting. Lalu benar-benar diwujudkan dan ditayangkan tahun 2016. Promonya gencar, tapi sepertinya lupa memasukkannya ke dalam IMDB.com, kiblat referensi film kebanyakan orang, meski tidak pernah sepenuhnya percaya dengan penilaian para penggunanya, seperti halnya saya tidak mengamini sejumlah ulasan dalam Goodreads. Di IMDB, foto Dian Sastro dibiarkan kosong. Hanya ada foto Nicholas Saputra.
Trailer “AADC 2” masih harus memasukkan adegan terakhir perpisahan Rangga dan Cinta di Bandara Soetta. Mungkin dengan begitu orang-orang diminta secara tersirat untuk lebih dulu menonton seri perdananya buatan tahun 2002. Padahal coba dihitung sudah berapa kali diputar ulang di televisi. Di trailer “AADC 2” pula, menampilkan adegan Cinta yang hangout bersama teman-teman lamanya, menggalau karena Rangga kembali menghubungi Cinta, Rangga dan kehidupannya di New York, lalu Rangga bertemu Cinta lalu tinggal menunggu ending-nya di dalam film. Dari percakapan keduanya, Cinta menyalahkan sikap Rangga yang telah meninggalkannya tanpa kabar selama bertahun-tahun. Lalu sama seperti masih SMA, Rangga hanya pelit berkata dan lebih suka menunduk ketimbang memandang sepasang mata indah Cinta. Kisah cinta semasa SMA yang tidak tergerus oleh perjalanan waktu.
Kegalauan adalah sebuah kondisi psikologis yang bisa diumbar di masa kini. Orang-orang yang terkena gangguan kegalauan konon akan sangat mudah tersentuh hanya oleh satu baris kata-kata sedih dalam lagu. Seakan si pencipta lagu tersebut bisa membaca isi hati si penggalau hingga makin berlarut-larutlah mendung dalam hati. Muncullah status-status galau dalam facebook atau twitter, begitu entah sampai kapan. Lalu jempol dan love pun bermunculan. Boleh jadi salah satunya karena tidak sengaja kepencet saat akan menyekrol di layar HP.
“AADC” sebenarnya hanya sebuah film remaja biasa yang mewakili kehidupan siswa ibu kota. Tapi boleh diakui, sikap tegas Cinta membuat film ini berbeda. Di pihak lain, ada peran maskulin-dingin-romantis dari Rangga. Dihangatkan dengan kehadiran si tomboi Karmen, si korban broken home Alya, si seksi Maura, dan si lemot Milly. Ada pula tokoh-tokoh dengan peran kecil-kecil lainnya. Intinya tetap berpusat pada cinta sepasang anak muda beda kelas sosial. Selipan tentang latar belakang Rangga yang memiliki ayah berprinsip “kiri” itu pun tidak menjadi sesuatu yang kemudian menjadi bagian yang terus disorot. Rangga dan Cinta sama-sama lurus dan baik. Sama-sama manis. Sama-sama lurus.
“AADC” dibuat agar bisa menjangkau kalangan anak muda. Bukan sebagai obsesi besar untuk mendokumentasikan sebuah realitas kehidupan sebagai bentuk kritik sosial, kemudian dibawa masuk ke dalam festival-festival film internasional bergengsi, macam “3 Doa 3 Cinta” yang juga Dian dan Nico ditunjuk sebagai bintang utama. Bukan pula termasuk film-film serius garapan Mira Lesmana dan Riri Riza yang mengharuskan semua kru film masuk jauh ke dalam hutan belantara seperti “Sokola Rimba”.
M Aan Mansyur memasukkan sejumlah puisinya ke dalam AADC 2 dan direspons baik oleh para netizen yang kesengsem berat dengan karisma pujangga satu ini. Dia punya perspektif yang sedikit banyak berbeda dari Rako Prijanto yang menyumbang tiga puisi pada seri pertama AADC, termasuk “Kulari ke hutan kemudian menyanyiku” yang sering dengan sesuka hati diubah kata-katanya oleh si pengucap.
Kekuatan Aan Mansyur bukan hanya merangkai diksi menjadi pisau tajam yang mampu menusuk-nusuk hati yang galau akibat cinta yang belum bersambut, memanggil arwah-arwah kenangan dengan kecepatan melebihi kereta cepat yang membelah negara Jepang dalam kejapan mata. Kekuatan M Aan Mansyur terbangun perlahan melalui karya demi karya yang dihasilkannya selama ini, dibuktikannya salah satunya lewat Melihat Api Bekerja.
Akui saja bahwa para penyair selalu mendapatkan tempat istimewa, lepas dari bagaimana kehidupan pribadi mereka di luar sana. Kata-kata yang dibangun seakan punya kekuatan sihir kuat dan mengandung ribuan kode untuk dipecahkan oleh para pakar kode bahasa. Satu kata bisa diurai menjadi makna jamak. Di balik sayap seekor burung pun bisa dijadikan tempat seorang penyair menyembunyikan perasaan terdalam. Atau meminjam suara desisan ular berbisa yang membuat bulu kuduk merinding seketika. Kesedihan tak selalu dikatakan lewat langit mendung atau warna hitam.
Penyair yang kekinian pun akan lebih mudah mengumpulkan penggemar ketimbang mereka yang menganggap bahwa jejaring sosial adalah dunia yang sangat kejam. Dalam satu puisi dalam “AADC 2” diposting oleh si selebriti #pertemanansehat Dian Sastro lalu menjadi viral sekaligus trik promosi film yang jitu.
Lihat
tanda tanya itu,
jurang
antara
kebodohan
dan keinginanku
memilikimu sekali lagi
Sekarang, tinggal menunggu hasil dari semua kerja keras itu. Apakah AADC akan mampu mengalahkan rekor jumlah penonton film-film ngehits sebelumnya yang diputar menjelang akhir bulan April besok? Hanya Tuhan yang sudah tahu jawabannya.
Jogja, 15 April 2016
- Cerita Ringan Seorang Pekerja Kantoran yang Biasa-Biasa Saja - 21 September 2016
- Arogansi adalah Racun yang Mematikan - 22 May 2016
- AADC 2; Lanjutan Keresahan Hati Rangga dan Cinta - 17 April 2016