Judul Buku : Taoisme
Penerjemah : Musa Khazim & Afif Molyadi
Penulis : Toshihiko Izutsu
Penerbit : Mizan
Cetakan : 1, November 2015
ISBN : 978-979-433-914-5
Tebal : xiii + 297 halaman
Taoisme adalah sebuah pemikiran, ajaran dan paham sebagai filsafat Tiongkok yang jika dianalisis mirip dengan corak “Kesatuan Eksistensi” (wahdat al-wujud) yang dikembangkan Ibn Arabi dalam Islam. Lao-tzu dan Chuang-tzu, tokoh legandaris taoisme. Masih diperdebatkan kemungkinan-kemungkinan siapa yang pertama dan siapa pemikir utama. Dan bahkan, munculnya Tao pun masih belum final.
Tao setidak-tidaknya bisa dilacak pada perkembangan paham Konfusian (551-479 SM). Secara filologis Sokichi Tsuda mengemukakan dengan cermat bahwa beberapa kata kunci dalam Konfusian seperti jen-i (perikemanusiaan-kesalehan) yang digunakan Mencius (372-289) ketika mengkritik etika Konfusius, juga digunakan oleh Lao-tzu dalam Tao Te Ching, akan tetapi Mencius tidak pernah sekalipun menunjukkan upaya sadar untuk mengkritik Lao-Tzu atau Tao Te Ching, walau faktanya secara diametris berlawanan dengan Mencius (halaman, 5-6).
Tao dan Sebuah Wujud
Yang lebih penting dari perdebatan itu—bahkan misal keduanya tidak benar-benar “ada” dan kapan munculnya tidak jadi masalah—adalah bahwa pemikiran itu (Tao) benar adanya sebagai sistem filosofis orang-orang Tiongkok yang (sekali lagi) menurut Toshihiko Izutsu mirip dengan kesatuan wujud Ibn Arabi. Pada buku pertama, Sufisme dan Taoisme, sufisme Ibn Arabi yang didasarkan atas analisis kitab Fushush al-Hikam karya Ibn Arabi telah secara panjang lebar dijabarkan oleh Izutsu.
Baik buku pertama, atau buku kedua (buku ini) ditulis Izutsu sebagai proyek besar yang dikerjakan dengan penuh kehati-hatian dan keberanian. Penggarapan buku yang membandingkan taoisme dengan sufisme bukan kerjaan yang mudah, apalagi tokoh sufi yang diambil adalah Ibn Arabi yang terkenal dengan bahasa-bahasa paradoksnya dan kontroversial.
Tao adalah sebuah istilah untuk menamakan sesuatu yang tidak bernama, sebuah wilayah yang mengadakan sesuatu yang tidak ada. Tao (Jalan) adalah Sang Mutlak yang dalam kemutlakannya, menolak segala verbalisasi dan penalaran. Dalam keyakinan Lao-tsu, Sang Mutlak tidak dapat dijabarkan dan diperikan.
Dalam pemaknaan Lao-tsu, Sang Mutlak (Tao) tidak memiliki nama, tidak berbentuk, tidak tercitrakan, tidak terlihat, tidak terdengar, dan sebagainya. Jalan (Tao) adalah wujud yang tidak—berujud, ada yang tidak—ada. Dan bagi Chuang-tzu, ia (Tao) adalah “satu” sebagai sebuah coincidentia oppositorum. Jalan atau Sang Mutlak merupakan keadaan metafisik Penyetaraan Langit/Surgawi (Heavenly Equalizaation) dan Bumi. Pada tahap ini (Jalan) secara mutlak adalah “satu”, dan dalam kondisi kesatuan ini tidak ada yang bisa dikatakan, tidak ada yang bisa dinamai. Ia tidak lagi terdeskripsikan. Keadaan itu terangkum pada kalimat pembuka dalam Tao Te Ching, yaitu: Jalan yang dapat ditandai dengan kata “jalan” bukanlah Jalan sesungguhnya, Nama yang dapat ditandai dengan kata “Nama” bukanlah Nama sesungguhnya. (halaman, 115, 120, 122, 142).
Satu-satunya “Nama sejati” yang bersifat mutlak yaitu Nama yang disandang Sang Mutlak (Tao). Namun, Nama mutlak itu, secara paradoksal adalah “Tanpa Nama”. Jalan itu bukanlah jalan dengan sebuah predikat yang verbal. Dalam taois, “Tanpa Nama” merupakan awal “Langit” dan “Bumi”. Yang Dinamai (the Named) merupakan Ibu (Induk) sepuluh ribu hal (ciptaan) (halaman, 128). Sepuluh ribu hal adalah bilangan yang terbatas di luar sebuah Jalan, sepuluh ribu hal adalah nama-nama yang memancar dari yang tak ternamai dalam coincidentio oppositorum (nama/jalan).
Benarlah tesis awal Izutsu menyandingkan “Taoisme” dengan “Sufisme” dalam satu prinsip “coincidentia”. Izutsu meyakinkan saya bahwa konsep Tao yang di“tokohi” oleh Lao-tzu dan Chuang-tzu benar-benar memiliki corak filosofis yang sama dengan sufisme Ibn Arabi yang merajai paham wahdat al-wujud.
Satu
Analisis Izutsu menarik tentang “satu” dalam Tao dan ahadiyyah juga wahidiyyah dalam sufisme Ibn Arabi. Menurut Izutsu, “satu” dan ahadiyyah/wahidiyyah sama-sama kunci memainkan peran menentukan tajalliyat (manifestasi-diri) (halaman, 143). Perlu diingat bahwa “Tanpa Nama” sebelumnya disebut sebagai awal “Langit” dan “Bumi”, bukan sebagai Langit dan Bumi. Melainkan “Tanpa Nama” adalah potensialitas yang memanifestasikan diri dalam nama-nama (Wujud). Maka, “Tanpa Nama” adalah “Satu/Esa/Tunggal”, namun juga bukan “Satu” itu sendiri, ia hanya wilayah di mana yang Non-Wujud mewujud.
Tak begitu jelas perbedaan antara wahdat al-wujud dengan Tao dalam memandang wujud, kecuali bahwa dalam Tao masih memercayai bahwa wujud ini adalah wujud, walau wujudnya adalah dari Non-Wujud. Sementara Ibn Arabi lebih esktrim memandang tidak ada yang wujud kecuali wujud Non-Wujud, semua ini adalah wujud-Nya. Distingsi itu tidak hanya sebatas pemilihan diksi semata, karena, baik dalam Tao atau sufisme (Ibn Arabi) menjadi konsep dasar pemikiran keduanya.
Tentunya, ada banyak pemikiran tentang “Wujud” baik secara kosmologis atau ontologis dari tokoh-tokoh sufi ataupun filsuf yang menyerupai pemikiran tersebut. Aristoteles dengan Penggerak Pertama-nya misalnya, Hegel pun memandang segala “wujud” bertumpu pada satu wujud. Immanuel Kant, dengan konteks yang berbeda, memandang wujud bersumbu dari kebaikan (etika) dan seterusnya. Artinya, setelah kita mencermati pemikiran Taoisme dan Sufisme (Ibn Arabi), tidak ada salahnya kalau mencari pemikiran yang memiliki corak yang sama dengan pemikiran Tao ataupun wahdat al-wujud dalam pemikiran filsafat di abad modern.
- JALAN YANG TAK TERNAMAI - 18 April 2016