Berkunjunglah ke Blora Jika Hidup Mulai Terasa Tak Tentu Arah

Foto Soesilo Toer: kompas.com

Kisah ini adalah catatan perjalanan saya bersama Agus, teman seperjuangan saya di Yogyakarta, ketika berkunjung ke rumah Soesilo Toer, adik dari Pramoedya Ananta Toer, di Blora. Sejak awal berkenalan, kami telah bertekad untuk melakukan ekspedisi keliling Pulau Jawa. Tujuannya tidak spesifik dan tidak seserius ekspedisi lainnya. Kami hanya ingin menyisakan waktu dalam rentang usia yang tak pasti ini untuk berkunjung dan menempelkan tubuh kepada tiap orang yang patut dikunjungi dan pada tempat yang patut ditinggali. Kisah kami bertemu dengan Pak Soes, begitu sapaannya, berawal dari percakapan berikut.

“Permisi, Pak,” sapa saya kepada sesosok lelaki tua yang sedang asyik memilah-milah sampah di depan rumah bertuliskan Perpustakaan PATABA.

Lelaki tua itu menghentikan aktivitasnya dan menoleh ke arah kami. Ia menatap sejenak memastikan siapa yang berani mengganggu aktivitas paginya itu. Terlihat sorot matanya telah sayup dimakan usia. Kumis dan janggutnya dibiarkan tumbuh memanjang tak terarah. Mungkin karena tak dapat melihat kami dengan pasti, ia berjalan dan mendekat ke pagar. Saya amat gemetar dan gugup. Kondisi Agus tak dapat saya pastikan.

“Dari mana?” tanya lelaki tua itu yang sudah dapat saya pastikan ialah Pak Soes.

“Dari Jogja, Pak” jawab saya pelan.

“Oohhh mari, mari masuk” jawabnya sembari membuka pagar.

Saya dan Agus tiba-tiba saja telah berada di ruang tamu. Proses berjalan dari pagar, menuju halaman hingga masuk ke rumah tak dapat saya ingat. Awalnya saya tak tahu ingin mengawali percakapan dari mana. Saya memandang Agus, ia pun seperti menanyakan hal yang sama.

Kami lupa menyiapkan term of reference sebelum berangkat ke Blora. Karena memang awalnya kami ke sini hanya bermodalkan nekat dan kegilaan saja. Apa yang akan kami lakukan setelah bertemu sama sekali tak terpikirkan. Kami tidak hendak membuat sebuah liputan khusus apalagi menulis cerpen. Tetapi Pak Soes sepertinya tahu akan hal itu.

“Ini pisang dari mana?” tanya Pak Soes sembari menunjuk ke arah pisang susu yang baru saja diletakkan Agus di atas meja.

 “Oh itu pisang dari kebunnya Agus, Pak” jawab saya. Saya tak ingin mengatakan kalau pisang susu itu kami beli di jalanan. Khawatir membuat beliau sungkan.

“Kalian suka makan pisang susu juga? Saya suka pisang susu dari dulu,” jawabnya sambil tertawa. Alhamdulillah puji Tuhan, ucap saya dalam hati.

Pak Soes bercerita kalau pisang susu selalu bisa membuatnya teringat akan suasana ketika menjadi mahasiswa di Uni Soviet puluhan tahun yang lalu. Di sana, ia banyak mengenal wanita dari berbagai negara rupanya. Perpaduan antara Pisang dan Susu menurutnya adalah lambang kesejatian laki-laki. Butuh beberapa menit percakapan hingga saya dapat tertawa terbahak-bahak setelah menangkap maknanya. Agus sendiri sudah tertawa sejak tadi.

Setelah asyik tertawa, tiba-tiba suasana berubah ketika Pak Soes berkata, “Jangan pernah memperbudak, jangan mau diperbudak, makanlah dari hasil keringat dan kerja kerasmu”. Ia mengucapkan kalimat tersebut sambil menatap saya dengan tajam.

Seolah-olah ia baru saja menyampaikan kalimat itu kepada seseorang untuk pertama kalinya, padahal saya yakin betul bahwa bisa saja saya adalah orang kesekian ribu yang mendengar langsung kalimat itu darinya.

Saya hanya tunduk dan menatap setengah badannya. Bajunya lusuh, terdapat beberapa lubang. Celananya juga tak kalah, benang-benang obras bagian pinggir celananya telah terurai tak karuan. Kuku tangan dan kakinya belum sempat ia potong. Di ujung jempol kedua kakinya terdapat sebuah gumpalan hitam yang saya sendiri tak dapat memastikan itu benda apa. Mungkin saja sisa-sisa sampah organik yang menempel karena aktivitas hariannya bergumul dengan “residu peradaban” (saya menyebutnya seperti itu) atau kotoran kambing miliknya yang tak sengaja ia injak karena matanya tak lagi awas memperhatikan sekitar.

Tapi jangan salah. Di balik balutan pakaian serbasederhana itu, bernaung sebatang tubuh yang menyimpan kedalaman ilmu. Meski setiap hari harus bergumul dengan residu peradaban, kemuliaan Pak Soes tak berkurang sama sekali. Emas akan tetap menjadi emas meski ia berada di tumpukan batu atau kubangan lumpur.

Ia berkisah perihal permulaan dirinya terjun ke dalam dunia sastra dilakukan atas dasar desakan perut. Ketika ia memutuskan ikut bersama Pram ke Jakarta, tak ada pekerjaan yang dapat ia lakukan selain menulis. Cerpen pertama yang ditulisnya ternyata laku dan diterbitkan dalam sebuah majalah kota. Penghasilannya kala itu bahkan melebihi penghasilan Pram yang sudah lebih dulu menjadi wartawan.

Bakat itu ia teruskan hingga mampu menyelesaikan sekolah dan melanjutkan pendidikan tinggi ke Uni Soviet. Pak Soes menghasilkan begitu banyak karya sastra, meskipun dalam beberapa kesempatan ia tak ingin disebut sebagai sastrawan apalagi menyebut buku-bukunya ke dalam kategori-kategori tertentu, tetapi ada sebuah karya yang menurut saya menjadi anomali dari semua karyanya.

Ia menulis buku berjudul Republik Jalan Ketiga. Buku tersebut merupakan saduran disertasi yang ditulisnya ketika menempuh pendidikan doktoral di Universitas Plekhanov Moskow, Uni Soviet. Isinya kurang lebih menguraikan perihal distingsi antara komunisme dan kapitalisme. Menurutnya, dua paham tersebut sama-sama memiliki kekurangan dan tak pantas diterapkan di Indonesia.

Tesis yang ia ajukan bernama jalan ketiga itu bersandar pada argumen bahwa Indonesia memiliki kearifan lokal yang unik dibandingkan negara-negara lain. Indonesia bisa terus hidup dan berjaya jika memanfaatkan dengan optimal potensi kearifan lokal yang dimilikinya. Hebatnya, disertasi Pak Soes kala itu mendahului tesis Anthony Giddens yang kini dikenal dunia sebagai Bapak Jalan Ketiga.

Pak Soes adalah tipikal orang yang amat teliti dalam ingatan. Selama bercakap, nama-nama tokoh dalam setiap periode sejarah tertentu dapat ia sebutkan secara lengkap dan cermat. Siapa saja yang berkesempatan bercakap dengan beliau sebisa mungkin menyediakan alat tulis jika tak ingin ketinggalan data-data sejarah dari sumber langsungnya.

Saya paling suka ketika ia menyebutkan nama-nama kekasihnya di masa kuliah di Uni Soviet. Mulai dari gadis gipsi hingga Polandia pernah ia kencani. Ia sering membanggakan dirinya dibanding Pram yang hanya bisa mengencani sedikit perempuan selama hidupnya.

Bagi saya, Pak Soes adalah pawang bagi misteri-misteri sejarah negeri ini yang masih belum terungkap. Ia banyak mengomentari cerita sejarah versi arus utama. Mulai dari konflik Lekra vs Manikebu, hingga Gestok yang menurutnya banyak mengalami penyelewengan. Saya tak dapat menuliskannya di sini. Silakan berkunjung ke Blora untuk mendengar penuturan langsung dari saksi sejarah ini.

Meskipun jalan cerita yang ia bangun sejak awal bersifat acak, tetapi di akhir cerita selalu ia tutup dengan dawuh-dawuh kehidupan yang mampu menyiram rohani.

Ia tak pernah henti-hentinya berpesan bahwa hidup yang dijalani tanpa keberanian tidak akan pernah mencapai kebahagiaan. Salah satu wujud keberanian adalah mengungkap apa yang disembunyikan oleh negara dari sejarah. Saya bisa jamin bahwa siapa pun yang pernah bertemu dengan sosok ini pasti mendapatkan pesan yang sama.

Kehadiran sosok seperti Pak Soes amat kita butuhkan di dunia yang sudah amat gila ini. Ia hadir laksana sebuah oase di tengah-tengah gurun peradaban yang kering. Seluruh wujud idealisme terpatri di dalam tubuh, perbuatan, dan ucapannya.

Di saat orang-orang dengan gelar dan ilmu segudang mabuk akan jabatan dan kekuasaan, Pak Soes sibuk menikmati hidup dengan memulung dan beternak. Ia layak disebut sebagai mursyid bagi jiwa-jiwa yang tersesat dan lupa arah kehidupan. Berkunjunglah ke Blora jika hidup mulai terasa tak tentu arah.

Di akhir percakapan, saya meminta izin untuk masuk sebentar ke bilik perpustakaan miliknya. Di lantai dan di bawah lemari, banyak buku yang telah rusak dimakan rayap. Sisanya telah dibakar karena tak dapat diselamatkan. Saya mengeluh dan sedih ketika mengetahuinya. Apalagi buku-buku itu tergolong buku langka. Pak Soes hanya menjawab pelan, dengan suaranya yang lirih, “Mau bagaimana lagi, tidak ada yang bantu rawat di sini”.

Royan Juliazka Chandrajaya
Latest posts by Royan Juliazka Chandrajaya (see all)

Comments

  1. Abiyasa Iqbal Aula Reply

    Aku kok jadi pengen kesana.

  2. Ayu Puji Lesrtari Reply

    Saya orang Blora hadir kak. dulu pernah ke kediaman bapak Soesilo Toer beberapa kali dan orangnya sangat ramah. banyak cerita pengalaman yang saya dapat dari sana. bisa pinjam buku perpus atau beli buku karya beliau juga.

  3. kartika Reply

    buku-buku yang malang:)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!