Judul Buku : Tempat Terbaik di Dunia: Pengalaman Seorang Antropolog Tinggal di Kawasan Kumuh Jakarta
Penulis : Roanne van Voorst
Penerbit : Marjin Kiri
Cetakan : Pertama, Juli 2018
Tebal : vi + 192 halaman
ISBN : 978-979-1260-79-4
Kota metropolitan Jakarta mengalami ledakan populasi karena menjadi magnet urbanisasi. Namun pemerintah belum mampu menyediakan tempat layak huni yang sanggup diakses oleh seluruh kaum urban dengan kondisi sosial ekonomi heterogen.
Permukiman kumuh pun muncul sebagai salah satu alternatif yang mudah, murah, meski ilegal. Bantaran sungai, pinggir rel kereta api, atau kolong jembatan layang menjadi sasarannya. Lingkungan padat penduduk yang minim fasilitas dasar dan umum ini mayoritas warganya adalah pekerja di sektor informal dengan tingkat pendidikan dan penghasilan rendah. Menjadikan kantong kemiskinan ini tak hanya rawan terjangkit penyakit sosial, tapi juga rawan bencana seperti banjir, kebakaran, dan penyakit.
Buku yang terbit pertama kali di Belanda (2016) dengan judul De Beste Plek ter Wereld. Leven in de Sloppen van Jakarta ini merupakan suka duka Roanne van Voorst, antropolog Belanda yang melakukan participant observation dalam kajian disertasi doktoralnya pada Universitas Amsterdam, Belanda, terhadap kehidupan sehari-hari kaum urban di pemukiman kumuh bantaran sungai di Jakarta, utamanya dalam menghadapi banjir.
Ia menyamarkan identitas narasumber penelitiannya sebagai bentuk respek, proteksi, dan etika penelitian terhadap privasi mereka. Nama kampung ia sebut sebagai Bantaran Kali. Lalu ada tetangga-tetangganya: Tikus—pengamen yang membawanya pertama kali ke Bantaran Kali dan menyebutnya sebagai tempat terbaik di mana kita bisa menemukan apa saja melakukan apa saja, Neneng—seorang pekerja seks komersial, Pinter—seorang bankir keliling, atau Enin—janda, pemilik kontrakan yang ia tempati, dan masih banyak lainnya. Meski dengan nama samaran, kisah ini adalah gambaran nyata kehidupan mereka sehari-hari.
Gaya bercerita Roanne yang cair menempatkan dirinya, warga Bantaran Kali, serta pembaca pada posisi yang sejajar. Sebagai manusia yang roda kehidupannya dapat berputar setiap saat. Hidup makmur atau miskin bergantung pada kesempatan yang dimiliki atau bisa jadi pada akhirnya hanya masalah nasib.
Metode penelitian Roanne dalam kurun waktu antara tahun 2010 hingga 2011 adalah dengan masuk dalam kehidupan warga Bantaran Kali, ini mengharuskannya menjadi sahabat, bagian dari mereka dalam keseharian. Untuk itu ia terlihat telah cukup membekali dirinya dengan mental, kemampuan komunikasi, serta adaptasi yang memadai dalam menghadapi keunikan budaya mereka.
Bagi perempuan yang berasal dari negara berbudaya individualistik, nyatanya masalah menjalin keakraban dengan siapa pun, kapan pun, dan di mana pun menjadi hal yang membutuhkan adaptasi lebih daripada kecoa-kecoa yang sering menghampirinya ketika tidur.
Pada kajiannya di Bantaran Kali, Roanne tidak menemukan hal-hal seperti yang ia sebut sebagai praduga negatif pejabat pemerintah bahwa miskin identik dengan perilaku buruk. Atau gagasan terlalu romantik yang disuarakan aktivis sosial bahwa miskin membuat mereka menjadi lebih rajin, berbakat jadi pengusaha, serta memiliki jiwa sosial yang lebih tinggi daripada golongan masyarakat lain.
Yang ada hanya kumpulan orang-orang biasa dengan kesulitan hidup luar biasa dan mereka tidak dapat bergantung pada pemerintah dalam menghadapinya. Namun dari itu mereka menjadi pragmatis dan menemukan berbagai cara kreatif untuk menghadapi masalah dengan keterbatasan. Misalnya mengorbankan kebutuhan lain demi membeli walkie talkie untuk dapat berkomunikasi dengan penjaga pintu air. Atau ide unik Tikus membuat pusat kebugaran, fitnes, dan spa terbuka di pinggir kali dengan fasilitas jacuzzi dari bak mandi bekas, untuk mereka yang ingin sehat dan tampil menarik tapi berkantong cekak.
Buku ini menjadi intim dan jenaka karena Roanne adalah seorang pencerita yang baik. Latar belakangnya yang juga penulis fiksi mampu membuat kisah terasa begitu hidup dan dekat hingga pembaca tersentuh dengan kehidupan para tokoh.
Senyum getir terjadi kala Roanne sakit. Akibat sering ditolak dan mendapat perlakuan diskriminatif karena dianggap tak mampu membayar, semua tetangganya berkomentar sama, “O, bahaya itu!” saat ia menyebut akan berobat ke rumah sakit. Selama ini warga kampung memang lebih mengandalkan pengobatan alternatif ketika sakit.
Akhirnya muncul kesepakatan, Roanne akan berangkat ke rumah sakit dengan menghafal sebuah alamat palsu di daerah elite Menteng. Serta pergi dengan mengenakan baju termewah yang biasanya hanya ia gunakan ke pesta kawinan dan bersepatu tumit tinggi. Hal yang cocok dengan status bule-nya. Para tetangga rupanya tak ingin Roanne mendapat pengalaman buruk seperti mereka jika ia jujur menyebutkan tinggal di Bantaran Kali. Beruntung semua berjalan lancar. Komentar warga, “Tadi pagi dia masih sakit parah, tapi coba lihat sekarang, sudah sehat kembali. Dan itu terjadi walaupun dia sudah ke rumah sakit” (hlm 115).
Roanne tampaknya juga tak ingin buku ini sekadar menjadi bacaan ringan yang menghibur semata, maka ia menyelipkan beragam informasi di sela kisahnya dengan cara yang tidak membosankan, misalnya mengenai sejarah banjir menggenangi ibu kota atau kehidupan sosial masyarakat di negeri asalnya.
Melarutkan diri dengan para tetangganya dalam menghadapi pergumulan hidup, Roanne tentu lebih tahu untuk membebaskan dirinya dari ikatan batin dengan mereka alias tidak baper hingga penelitiannya dapat berjalan objektif.
Namun terlihat cukup manusiawi jika kemudian setelah begitu banyak hal ia lalui bersama mereka, Roanne cukup emosional ketika penelitian usai dan Tikus mengiriminya foto-foto buldoser menghancurkan perkampungan tersebut pada tahun 2015 dengan melibatkan banyak kekerasan.
Buku ini bukan hanya mengenai refleksi atau jalan pertanggungjawaban Roanne atas proses penelitian yang ia lakukan. Namun juga mengenai sebuah pesan yang dititipkan kepadanya dari segelintir warga negara yang kampungnya telah rata dengan tanah, mengenai mereka yang diabaikan dan tak pernah didengar suaranya.
Dan menjadi orang Indonesia, kita sebaiknya berterima kasih pada Roanne karena sebagai peneliti asing ia mau bersuara atas realitas yang terjadi atau merasa malu karena untuk itu berarti ia memperlihatkan wajah kumuh (dalam bentuk fisik) sebuah kawasan di ibu kota negara yang bahkan pejabat kita sendiri malu untuk membukanya? Atau kumuh (dalam bentuk perilaku) karena ia membongkar birokrasi yang (masih) amburadul dan budaya korup yang bahkan telah menjalar dalam kehidupan sosial masyarakat terbawah, yang diantaranya menjelma dalam bentuk uang keamanan, uang kebersihan, atau uang rokok?*
- Catatan dari Pelosok Negeri - 19 October 2019
- Bersama Tikus di Tempat Terbaik - 20 October 2018