Sedari kecil, buku dan musik merupakan hal yang teramat erat melekat dengan diri saya. Meskipun sebenarnya, keduanya tak begitu erat, sih. Hanya saja keduanya kerap tidak bisa dilepaskan dalam pendidikan yang saya peroleh dari kedua orang tua. Kalau tak salah ingat, dahulu ketika masih di taman kanak-kanak, saya sempat menemukan “harta karun” di lemari Bapak: buku-buku tua koleksi Bapak—yang sayangnya ketika saya duduk di bangku sekolah dasar, “harta karun” itu pun lenyap entah ke mana: mungkin dijual.
Bapak saya rajin membaca, apalagi buku khotbah Jumat: koleksinya ada begitu banyak. Namun, di luar dari banyaknya buku khotbah yang Bapak punyai itu, saya jadi mengerti satu hal bahwa sikap tenang, yang itu berarti pula bersedia untuk mengosongkan diri guna memenuhinya dengan hal-hal baru, mutlak diperlukan dalam rangka meningkatkan kualitas diri. Bapak tidak pernah mengatakan hal itu, memang, tetapi saya yang menyimpulkannya. Bukankah itu pun pendidikan dari Bapak, sekalipun ia tak mengatakannya?
Kemudian, perkenalan saya dengan pelbagai musik pun dimulai pada masa kecil yang sama itu, yaitu ketika masih taman kanak-kanak. Pada masa itu, saya memang kerap diajari bernyanyi dan memainkan drum (yang berkelompok, drum band). Ibu saya yang aktif bermuslimat dan ber-PKK pun, secara langsung maupun tidak, telah mengajarkan bahwa musik tak jauh beda dengan buku: keduanya memuat suatu kebaikan, sedangkan yang membedakan cumalah media penyampainya.
Nasyida Ria dan Bimbo menemani saya di masa-masa itu. Ibu pun, tak pelak, aktif pula mendendangkan lagu-lagu mereka bersama kelompok muslimat dan PKK-nya, yang tentu dengan instrumen yang sangat islami: rebana. Hingga, suatu ketika saya pun menemukan suatu fakta baru bahwa nilai-nilai yang positif ternyata tak cuma dimiliki oleh musik religius seperti itu. Musik rock seperti punya Guns N’ Roses dan Scorpions pun, misalnya, memuat nilai-nilai positif pula. Lagu “Send Me an Angel” adalah salah satu contohnya, selain juga ada lagu lain yang tak kalah positif seperti “Nobody’s Fool” punya Cinderella atau “We are the Champions” punya Queen.
Akan tetapi, apakah keduanya, yaitu buku dan musik, jika disejajarkan memang sebanding—maksudnya, tidak adakah satu yang lebih unggul daripada yang lainnya? Sependek yang saya alami sedari kecil hingga sekarang, posisi buku setingkat berada di atas musik dalam hal pendidikan. Mungkin memang sudah dari sononya bahwa buku punya sifat pengajaran dan musik cumalah sebagai hiburan. Dan, jelas, jawaban tersebut tak selamanya akan relevan, karena kebudayaan itu senantiasa bergerak. Bukankah selalu saja ada buku yang menghibur, dan juga musik yang mendidik? Bukankah buku yang menghibur teramat banyak seperti sebut saja punya Tere Liye, Pidi Baiq, dan Boy Chandra? Dan, bukankah pula musik bikinan Papa T. Bob dan Ibu Kak Sur pada zaman dulu, atau musik bikinan Adrian Yunan dan Efek Rumah Kaca serta Sujiwo Tejo di beberapa album belakangan, begitu mendidik jika kita dengarkan?
Kini marilah kita merespons sejenak pada tren musik, terutama pada musik-musik lokal masa kini yang seperti mengabaikan nilai-nilai positif itu—meskipun hanya beberapa. Sebagai anak yang pernah merasakan masa yang ketika itu musik dibuat dengan begitu arif dan bijaksana, terutama dalam syairnya, saya merasa musik (baca: lagu-lagu) kini itu, terkesan asal jadi dan asal bisa dijual. Lebih parahnya, ternyata pun selain syairnya tak lagi arif dan bijaksana, yang dijual pun bukan lagi musik itu sendiri, tapi alunan cengkok, ukuran payudara juga bokong dari penyanyinya—di sini saya sebenarnya khawatir akan terlalu subjektif, karena memang saya lebih suka musik rock daripada dangdut. Melihat pergeseran yang teramat jauh itu, saya jadi membenarkan diri bahwa jika diranking lagi antara buku dan musik, manakah yang unggul, jelas buku semakin jauh mengungguli musik.
Apakah itu benar? Ternyata tidak juga. Kemudian, sekalipun itu belum tentu benar, apakah itu menjadi suatu masalah? Buat diri saya jelas iya—entah buat yang lainnya. Hanya saja, saya kerap membayangkan bahwa jika anak-anak kini pun terlihat semakin fasih menyanyikan lagu-lagu orang dewasa, lengkap dengan syair cinta-cintaan yang syur beserta goyangan penyanyinya itu, bukankah itu dimungkinkan bahwa musik pun punya andil terhadap merosotnya kecerdasan kolektif kita? Tidak adakah cara, minimal buat diri kita sendiri, untuk menangkal merosotnya kecerdasan itu, karena memang pengaruh musik, meski rankingnya jauh di bahwa buku, ternyata punya daya ledak luar biasa besar dibanding buku yang tak mempan disulut sama sekali?
Cover
Akan tetapi, membaca buku jelas tidak bisa dibandingkan dengan mendengarkan musik. Sekalipun keduanya bisa saja dikaji dengan satu atau beberapa variabel yang serupa, tetap saja buku adalah buku dan musik adalah musik yang punya karakteristiknya masing-masing. Itu artinya, jika saya mau fair melihat keduanya, pembedahan buku dan musik mutlak diperlukan dalam rangka menemukan kesejatiannya, yang ujungnya akan berakhir pada jawaban tentang merosotnya kecerdasan yang berkaitan dengan buku dan musik itu.
Buat saya zaman kini terasa lain dengan zaman dulu: membaca geliat musik di zaman kini terasa sangat menarik. Sebab, ada satu hal yang musik bisa lakukan sedangkan buku tak mampu untuk melakukannya: ia adalah cover, alias memainkan ulang musik orang lain menjadi versi yang berbeda. Saya sudah membayangkan, sekalipun susah, bagaimana jadinya jika buku pun di-cover oleh penulis lain. Dan, bayangan saya hanya mentok berhenti pada pembacaan puisi, yang boleh jadi seseorang akan membacakan puisi karya orang lain di panggung, yang akhirnya itu dinamakan cover dari bacaan penulis aslinya. Namun, di sini pun saya jadi bertanya ulang: puisi itu sebenarnya adalah teks tulisan, ataukah sebenarnya puisi adalah pembacaannya? Mungkinkah orang akan berpuisi tanpa ada teks, yaitu langsung dari hati dan pikirannya? Sebab, jika puisi adalah teks, maka jelas pembacaan ulang itu bukanlah suatu cover. Atau, jika benar puisi bukanlah teks, betapa banyak puisi yang lahir tanpa ditahui siapakah penulisnya—maka jika demikian, bagaimana caranya kita tahu puisi ini karya anu dan puisi itu karya anu, karena teramat banyak puisi yang tak tercatat menjadi teks? Dan, siapa tahu pula, yang seorang penulis cetuskan dan menjadi puisi, kemudian menjadi teks, jauh pada zaman dahulu telah ada yang mencetuskannya dan menjadikannya puisi tetapi tak ia catatkan menjadi teks?
Sekalipun keduanya bersumber dari satu hal yang sama, yaitu ide, ternyata penulisan buku dan musik memerlukan kerangka yang berbeda. Pada penulisan buku, ide itu ditumpahkan dalam bentuk huruf dan simbol yang membentuk kalimat—dan mungkin juga gambar—tanpa suara, yang dari situ ide akan langsung masuk ke kepala dan dada pembacanya. Hal itu berbeda dengan penulisan musik, yang setidaknya dari ide yang sama dengan buku itu, akan ditumpahkan ke dalam beberapa bentuk, yaitu syair, melodi, dan aransemen. Maka, ketika mendengarkan musik, ada hal-hal luar biasa yang kita rasakan, yaitu suasana magis yang masuk ke dalam dada pendengarnya akibat paduan dari syair, melodi, dan aransemen tersebut. Ini jelas lain ketika kita membaca buku, yang sunyi, sehingga daya magis itu hanya bisa muncul jika kita memang membentuknya sendiri dalam alam khayal kita—dan, pencapaian pembentukan daya magis dalam alam khayal itu, ternyata bukanlah suatu hal yang mudah sepertinya.
Lalu, apa pentingnya cover sebenarnya? Terlebih jika dihubungkan lagi dengan kecerdasan kolektif kita di zaman kini?
Sekalipun buku tak mampu di-cover sebagaimana musik, buku punya keunggulan luar biasa perihal kejujurannya menuliskan sumber yang menjadi rujukan penulisannya jika dibandingkan dengan musik yang (mungkin, sama sekali) tak melakukan itu. Tentu, itu bukan berarti saya mengabaikan bahwa untuk beberapa buku pun, tetap saja ada yang tidak mencantumkan sumber rujukannya. Namun, poin yang hendak saya sampaikan sebenarnya bukan itu, melainkan dari situ, kita jadi melihat bahwa tingkat keseriusan penulisan buku ternyata melampaui penulisan musik—utamanya musik zaman kini yang kerap terdengar serupa dengan musik yang sudah lampau, namun tak menyebutkan sumber rujukannya tersebut.
Menjaga kecerdasan kolektif kita agar tak semakin merosot jelas tidak bisa diselesaikan hanya dengan meng-cover buku ataupun musik. Hanya saja, dengan melihat karakteristik musik yang sangat bisa untuk di-cover sedemikian luar biasanya (yaitu dari syair yang sama kemudian diubah dengan melodi dan aransemen yang berbeda, atau dari melodi yang sama kemudian diubah dengan syair dan aransemen yang berbeda lagi, atau pula dari syair dan melodi yang sama kemudian diubah aransemennya menjadi kian menarik), akan menjadikan pendengar kian terpancing dan tertumbuhkan untuk menggunakan daya khayal dan imajinasinya. Dan, sayangnya, cover yang luar biasa mungkin untuk dilakukan itu, ternyata tak dioptimalkan oleh pelaku industri musik kita, karena sepertinya memang musik yang demikian tak laku jika dijual—kalah telak dengan yang gitu-gitu saja, syur dan ajep-ajep.
Kemudian, sepertinya akan sangat menarik jika setiap kali saya membeli album musik, pada lembaran teks lirik lagunya, selain di sana ada gambar sampul, foto-foto personel band atau juga penyanyinya, selain juga ada bagian thanks to, pada bagian bawah masing-masing lagu dituliskan pula referensi dari penggarapan lagu tersebut. Ini menjadi penting sebab musik tersebut tak hanya akan menghibur ketika didengarkan, tetapi juga mencerdaskan: pendengar tak hanya menjadi objek yang berhenti di musik yang didengarkan itu, tetapi terus bergerak menemukan musik-musik yang berkualitas, sebagaimana pembaca yang baik pun akan terus menemukan buku-buku yang berkualitas dengan menelusuri buku utama yang menjadi rujukan dari bacaannya.
Terakhir, sebagai pembaca dan pendengar yang tak punya kuasa untuk melakukan yang sedemikian itu, hal apa lagi yang bisa kita lakukan? Selain berharap bahwa di masa-masa mendatang akan semakin banyak musik yang diproduksi dengan luar biasa cerdas sebagaimana buku pun demikian, sepertinya penting pula untuk kita belajar bermain musik. Tentu maksud saya bukan agar kita menjadi pemusik terkenal. Kata ibu saya, bernyanyi dan bermain musik sendirian, dengan syair bikinan sendiri, sekalipun melodinya punya orang lain, yang itu dilakukan di kamar dalam keadaan sendiri, setidaknya akan meningkatkan ketenangan. Kemudian, dari ketenangan itu, akan menjadikan kita semakin cerdas dan imajinatif—seandainya bahan bacaan dan dengaran selalu meningkat kualitasnya. Dan, seandainya setiap diri demikian, kecerdasan kolektif kita mungkin akan tetap terjaga baik. Semoga.
- Buku, Musik, dan Kecerdasan Kita - 10 September 2018
- Sains, Problem Mengada, dan Hal Terdalam Lainnya - 19 August 2017
- Mematematikakan Realitas Waktu - 6 October 2016