Pada 10-13 September 2018, umat buku diundang datang ke Kampung Buku Jogja. Acara rutin pemuliaan buku, penulis, pembaca, pedagang, dan penerbit itu bernama “kampung” tapi bertempat di kampus terkenal: UGM. Di sanalah buku-buku bernostalgia. Buku-buku ditata ingin merangsang orang agar membeli dan membaca. Sekian penulis dihadirkan untuk mengesahkan buku-buku yang memiliki penulis—sekarang bukan buku berzaman anonim. Acara buku diharapkan bermutu setelah serius dipropagandakan seantero Indonesia melalui media sosial.
Acara itu mengingatkan pada masa lalu. Di majalah terbitan Jogjakarta, kita diantar ke pemuliaan buku. Artikel garapan Soendoro berjudul “Pekan Buku dan Perpustakaan” di majalah Minggu Pagi , 29 Juni 1952, menjadi kliping penting di abad XXI. Soendoro menulis: “Belum diketahui apa rentjana PBN (Pekan Buku Nasional) di Djakarta itu nanti. Tapi umumnja ialah mempertundjukkan buku-buku jang bernilai, dan bisa menggerakkan kepada umum untuk berusaha memperkaja dirinja dengan batjaan, sekalipun seseorang tak pernah mengindjak gedung sekolah tinggi.” Ia masih menebak acara bakal diadakan di Jakarta. Tanggal dan kehadiran para tokoh perbukuan belum sempat ada di catatan.
Pekan buku menjadi gosip atau perbincangan serius di Jakarta dan pelbagai kota. Acara mungkin teranggap megah. Indonesia sedang ingin memberi tahu dunia sebagai negara demokrasi, negara buku, dan negara maju. Buku dipilih selaku juru bicara. Revolusi tak cuma omongan dan keringat. Revolusi bergerak di kertas-kertas berhuruf. Keinginan Indonesia mulai dengan buku agak “diganggu” polemik bacaan “menghibur”. Bacaan cabul mungkin masuk daftar perdebatan meski tak tercantum di artikel.
Soendoro mewartakan: “Terutama usaha PBN itu sangat perlu berhubung dengan adanja batjaan jang didjual dibeberapa toko buku jang bisa mendirikan roman, kalau kita mendengar dari pendjual buku-buku itu, apa jang banjak laku dibeli oleh umum, antaranja oleh pemuda-pemudinja. Beberapa penjelidikan diantara toko-toko buku itu menundjukkan bahwa kini begitu banjak orang membeli buku-buku/ madjalah jang ‘menghibur’ jang bukan merupakan hiburan jang sehat, tapi jang malah membikin sakit.” Soendoro tiada mau memberi daftar judul buku atau majalah untuk kita berusaha mengenang industri buku masa 1950-an.
Artikel itu teringat mumpung ada acara Kampung Buku Jogja 2018. Artikel pernah ditulis dan mendapat pembaca, lalu terlupa lama di majalah tenar di masa lalu. Kita membaca lagi dengan mengumpulkan kliping-kliping dari pelbagai majalah agar ada kejelasan acara dinamai pekan buku di tahun menjelang Indonesia mau coblosan alias mengadakan hajatan demokrasi 1955. Pekan buku dan pemilu mungkin tak terlalu berkaitan meski Pekan Buku Jogja 2018 juga mendahului puncak lakon raihan kekuasaan bertahun 2019.
* * *
Kita membuka majalah Merdeka edisi 18 Desember 1954. Berita sehalaman berjudul “Pekan Buku Indonesia Pertama.” Penamaan resmi adalah Pekan Buku Indonesia, bukan Pekan Buku Nasional seperti pernah disebut Soendoro (1952). Barangkali ada acara berbeda dari Pekan Buku Indonesia mengacu ke pengamatan Soendoro di tahun-tahun sebelum 1954? “Tudjuan dari Pekan Buku Indonesia itu, terutama sekali adalah untuk memperkenalkan buku-buku dan pengarang-pengarang bangsa Indonesia jang dewasa ini pertumbuhannja sedikit sekali baru diketahui oleh masjarakat. Beribu-ribu pengundjung membanjiri ruangan pameran itu setiap harinja,” tulis di berita. Acara itu ramai, menggairahkan umat buku di masa orang-orang politik memilih cerewet dan bersengketa berdalih demokrasi.
Kemegahan acara terbukti pada jumlah pengunjung dan buku untuk dipamerkan dan diperdagangkan. Petikan dari berita: “Kurang lebih 10.000 buah buku-buku telah disumbangkan oleh penerbit-penerbit buku diseluruh Indonesia, ditambah dengan harian-harian, madjalah-madjalah, risalah-risalah dan lain sebagainja jang ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah jang dikeluarkan semendjak petjahnja revolusi baik didalam maupun diluar negeri.” Buku dipastikan ada di laju revolusi. Buku penentu nasib Indonesia. Penentuan itu sudah berlangsung sejak awal abad XX. Para penggerak politik dan kaum sarjana bumiputra telah keranjingan membaca dan mengoleksi buku. Mereka pun menulis buku diterbitkan Balai Poestaka dan penerbit-penerbit partikelir. Pada buku-buku, mereka menulis dan membaca Indonesia.
Pekan Buku Indonesia bukan acara dengan pementingan pameran atau perdagangan buku saja. Pada hari-hari berbuku, panitia mengadakan acara “tjeramah kesusasteraan dan kebudajaan.” Pemutaran film juga diadakan saban sore-malam. Acara berlangsung lancar, terkenang oleh ribuan orang. Para pejabat berdatangan sambil mesem dan berpidato. Para pujangga dan intelektual mengumbar ide dan imajinasi ke pengunjung. Sejarah acara buku sudah berlangsung dengan Jakarta sebagai titik mula. Sejarah masih mungkin diwariskan sebagai cerita dan berita ke umat buku di abad XXI.
Kenangan acara di Jakarta adalah buku. Di majalah Merdeka edisi 30 Oktober 1954, kita menemukan iklan buku mengenang Pekan Buku Indonesia, bermaksud bisa dipelajari selama puluhan tahun. Iklan diadakan NV Gunung Agung selaku pembuat acara revolusioner bernama Pekan Buku Indonesia. Penamaan dengan bahasa Indonesia, belum tergoda menggunakan bahasa Inggris atau ketularan pamer bahasa Belanda. “Buku Pekan Buku Indonesia ini dapat dipergunakan oleh sesuatu penerbit, toko buku, djawatan, perpustakaan, dll sebagai pedoman dan dokumentasi…,” keterangan di iklan. Buku itu digenapi suplemen. Bujukan pengiklan: “Kedua buku tsb jang berdjumlah lk 430 halaman berukuran 13,5 x 23,5 cm harganja hanja Rp 25,- sebuah.” Buku kenangan atau dokumentasi lekas dikerjakan dan terbit mengiringi pelaksanaan acara. Pada masa lalu, orang-orang buku tampak serius banget dalam pembuatan warisan pada kita. Mereka tak ingin terlupa.
Iklan buku itu juga dimuat di majalah Film Varia edisi Januari 1955. Iklan buku masih pamer kata, belum berani pamer gambar sampul buku. Para calon pembeli atau pembaca diminta berimajinasi mengenai penampilan dan isi buku. Perangsang memang dicantumkan di iklan. Buku berisi alamat penerbit, percetakan, dan toko buku. Isi penting pula adalah artikel, foto, biografi, dan suplemen. Iklan itu terhubung ke acara bersejarah 1954. Buku dijuduli Pekan Buku Indonesia ingin mengekalkan melintasi tahun-tahun perlahan agak bersendu pada buku-buku.
* * *
Kita mendingan lekas membuka halaman-halaman Pekan Buku Indonesia 1954 diselenggarakan oleh NV Gunung Agung, Jakarta. Sampul bergambar buku terbuka dan peta Indonesia. Buku wajib disimak oleh umat buku di Indonesia sepanjang masa. Pihak NV Gunung Agung di halaman awal perlu memberi “hasutan” paling mentereng mengenai buku: “Kami ingin membentuk djiwa, memupuk kegembiraan hidup serta mempertinggi kebudajaan kita”, “Kami ingin memberi didikan untuk perasaan dan pemikiran jang bebas dan merdeka”, “Kami ingin supaja ketjerdasan bangsa kita mentjapai tingkatan jang lajak bagi bangsa jang merdeka dan berkebudajaan.” Misi-misi suci di perbukuan. Misi itu agak terhubung dengan konstitusi dan impian kaum pergerakan sejak awal abad XX.
Pekan buku sudah terselenggara di Gedung Pertemuan Umum, Medan Merdeka Utara, Jakarta, 8-14 September 1954 “beralih” ke pendokumentasian berupa buku. Pelbagai pihak turut berperan dalam penjadian Pekan Buku Indonesia 1954. Pihak panitia sempat mengaku: “Semoga buku jang sederhana ini, tidak sadja dapat didjadikan pedoman dan dokumentasi penerbitan, akan tetapi kiranja tjukup pula merupakan bahan gambaran bagi umum dan chalajak ramai untuk memberi nilai dan bantuan sewadjarnja dalam satu segi perdjuangan nasional guna mengisi kemerdekaan dalam rangkaian usaha-usaha pembangunan masjarakat dan negara.” Pengakuan mengalami keresmian. Kalimat teruji oleh tahun-tahun terus berlalu.
* * *
Pada masa lalu, beriklan buku di koran, majalah, dan sampul buku ingin memberi tahu ke pembaca selaku pihak terhormat. Tataplah iklan, belilah buku! Iklan buku tak sederas iklan rokok, mentega, sabun mandi, dan obat. Penerbitan Pekan Buku Indonesia 1954 memungkinkan iklan-iklan buku dari pelbagai penerbit dalam halaman isi memiliki arti dokumentatif dan komersial. Ukuran iklan beragam bergantung kemampuan duit dari pihak penerbit atau toko buku.
Di halaman 167, iklan dari Jajasan Pembaruan, beralamat di Jalan Perunggu J 4, Galur, Jakarta. Buku-buku berselera kiri diajukan ke pembaca. Kita membaca ada buku garapan DN Aidit berjudul Djalan Demokrasi Rakjat bagi Indonesia dan buku garapan Njoto berjudul Perkenalan Pertama dengan Dunia Baru. Dua buku dari masa lalu mungkin tersisa puluhan. Kita menduga buku itu turut dihilangkan atau dibakar akibat malapetaka 1965-1966. Buku dituduh “berdosa” atau menodai lakon berdemokrasi di Indonesia. Tuduhan di tatapan mata rezim Orde Baru.
Iklan buku pun diadakan oleh penerbit Gapura (Jakarta). Dulu, Gapuran itu getol menerbitkan buku-buku seri “Roman Lajar Putih” dan pamer menu almanak. Iklan berukuran kecil tapi mengena bagi kaum lapar bacaan. Keterangan berlagak jujur dari penerbit: “Lima tahun berturut-turut keluar dengan selalu mendapat sambutan hangat. Satu bukti bahwa Almanak Nasional jang tebalnja 400 halaman itu, mempunjai isi dan tehnik jang memuaskan bagi pemiliknja. Tidak mengherankan bahwa Almanak Nasional telah dapat mempunjai pembatja-pembatja dan langganan tetap diseluruh Indonesia.” Keterangan mengesahkan orang-orang Indonesia ketagihan almanak, dari tahun ke tahun. Almanak itu lezat dan memanjakan pembaca. Pada almanak, para pembaca sinau segala hal agar terhindar dari kebodohan.
Kita akhiri kenangan dari buku lawas dan masa lalu dengan sejenak membaca pengumuman di halaman 328. Pengumuman mengingatkan geliat kesusastraan modern di Indonesia. Pengumuman buku-buku meraih hadiah dari Badan Musjawarat Kebudajaan Nasional: Djalan Tak Ada Udjung (Mochtar Lubis), Tjerita Dari Blora (Pramoedya Ananta Toer), Tandus (S Rukiah), Awal dan Akhir (Utuy T Sontani), Puisi Dunia I dan II (Taslim Ali). Buku-buku mencerahkan nasib sastra Indonesia meniti masa 1950-an. Pada suatu masa, buku gubahan Pram, S. Rukiah, dan Utuy berharga mahal gara-gara dimusuhi rezim Orde Baru dengan mendapat cap “terlarang.” Buku mendapat hadih belum tentu selamat dari kebengisan rezim sering menggebuk dan galak.
Peristiwa pada 1954 masuk di ingatan bersejarah, sebelum kita menambahi dengan Kampung Buku Jogja. Konon, acara di Jogja juga memiliki dokumentasi berupa buku. Dokumentasi ingin menjadi bacaan bagi anak-cucu. Acara buku menjadi buku. Para pengunjung mungkin berhak pula membuat buku mengenai tata cara membeli, pertemuan dengan penulis, dan kegirangan melihat buku pernah diimpikan selama puluhan tahun. Buku dokumentasi bagi pengunjung bisa diterbitkan dengan iuran atau menanti infak dari orang-orang berlimpahan duit. Pengunjung ingin bermartabat, tak mau cuma mengisi buku tamu atau berpotret di hitungan detik lekas berlalu. Begitu.
- Biang Keladi Novel Pop - 18 January 2023
- 100 Tahun Sitti Noerbaja; Langgeng dan Khatam - 30 November 2022
- Burung: Sejarah dan Bahasa - 2 November 2022