100 Tahun Sitti Noerbaja; Langgeng dan Khatam

Pada 2013, novel berjudul Sitti Nurbaya cetak ulang ke-50. Novel ini masih penting untuk dibaca atau dipelajari di Indonesia. Balai Pustaka masih berharap buku yang berada di pangkuan pembaca ini mengesahkan peran Marah Rusli dan melestarikan capaian sastra masa 1920-an.

Di halaman kata pengantar, Maman S Mahayana menjelaskan: “… seri sastra adiluhung ini dapat menjadi saksi bicara tentang masa lalu sejarah bangsa Indonesia untuk menatap masa depan yang lebih cemerlang.” Pendapat berlebihan bila kita mau sejenak memikirkan posisi novel dalam babak-babak sejarah. Maman terlalu cepat mengecap “sastra adiluhung” dengan berpatokan pada kelawasan atau anggapan novel gubahan Marah Rusli yang diterbitkan oleh Balai Pustaka: penerbit di bawah naungan pemerintah kolonial. Kita agak mengerti sanjungan tersebut dicantumkan agar novel ini tetap langgeng dalam pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Selalu dimunculkan dalam soal-soal ujian, memastikan teringat meski samar.

Penampilan kulit muka berubah, bermaksud mengikuti selera zaman, tapi tampak norak. Balai Pustaka sebagai penerbit milik pemerintah belum peka dengan kesadaran rupa zaman. Di sampul depan dan belakang novel, mencantumkan kutipan pendapat dari Jamal D Rahman, Joni Ariadinata, dan Maman S Mahayana. Kita masih disuguhi tafsiran-tafsiran klise mengenai novel yang terbit seratus tahun lalu ini, pada 1922.

Kita membuka Sitti Noerbaja edisi 1922. Permulaan cerita: “Pada soeatoe hari …” Pembaca terduga lekas menganggap novel ini mengikut dongeng atau selaras dengan sastra cap lama. Di novel cetak ulang ke-50, pembaca tak menemukan lagi awalan cerita tersebut. Editor menghilangkannya tanpa rasa bersalah.

Perubahan juga terjadi saat mengenalkan si tokoh. Kita mengutip dari terbitan 1922: “Teman anak moeda itoe, ialah seorang anak perempoean jang ‘oemoernja kira-kira 15 tahoen. Pakaian gadis itoepoen sebagai pakaian anak Belanda djoega, karena ramboetnja jang hitam dan tebal itoe didjalinnja dengan benang soetera serta diberinja poela berpita merah diatasnja.”

Kalimat berubah dan ingatan warna diganti. Kita mengutip terbitan 2013: “… dan diberinya pula berpita hitam di ujungnya.” Novel ini ingin langgeng dengan sekian perubahan, termasuk masalah warna. Murid-murid di Indonesia abad XXI mungkin tak sadar telah terjadi perubahan warna-warna dalam novel Sitti Noerbaja. Mereka bakal menjadi pihak “bersalah” bila mengikuti terbitan edisi “baru” untuk menjawab soal-soal ujian. Kita mengandaikan ada soal mengenai warna pita, gaun, dan sepatu.

Di terbitan baru telah mengalami pengeditan atau perubahan, kita membaca: “Gaunnya (baju nona-nona) terbuat dari kain batis, yang berkembang merah jambu. Sepatu dan kausnya cokelat warnanya.” Para pembaca yang tak pernah berjumpa cetakan pertama mungkin tak perlu memasalahkan warna. Kita bandingkan dengan warna pada cetakan seratus tahun lalu: “Gaoennja (badjoe nona-nona) terboeat dari pada kain batis, jang berkembang merah djamboe. Sepatoe dan kaoesnja koening warnanja.” Kita membuktikan warna sepatu dan kaus berubah: dari cokelat menjadi kuning.

Pada suatu hari, kita berharap ada orang mengerjakan disertasi mengenai busana dalam Sitti Noerbaja. Ia bakal kecewa jika menggunakan cetakan pertama dan perubahan-perubahan setelah pengeditan oleh Balai Pustaka dalam cetakan-cetakan baru. Novel Sitti Noerbaja bisa menjadi sumber memikat bagi kita berimajinasi selera busana dan dampak-dampak ketegangan cita rasa: tradisional dan modern. Warna tentu turut menentukan selera zaman.

Perkara busana dan warna itu tak dibahas Faruk dalam buku berjudul Hilangnya Pesona Dunia (1999). Buku berasal dari tesis di UGM, 1989. Novel ini dibahas dengan tinjauan semiotik dan struktural-genetik. Faruk menggunakan Sitti Nurbaya terbitan 1951 dan 1965. Perubahan paling tampak dalam penggunaan ejaan. Novel yang pernah dianggap menentukan kemunculan sastra “modern” di Indonesia tersebut mendapat tanggapan Faruk: “Selain terlihat pada pola kalimatnya, aktualisasi konvensi sastra tradisional Minangkabau pada Sitti Nurbaya juga tampak pada tingginya frekuensi kemunculan perumpamaan, pantun, pepatah, dalam penceritaan maupun dalam dialog tokoh-tokohnya.”

Pada abad XXI, para pembaca mungkin agak kesusahan memahami Sitti Nurbaya. Pembaca diharuskan membuka kembali khazanah sastra lama meski sempat mendapat penjelasan bahwa Sitti Nurbaya termasuk sastra “modern”. Konon, masa 1920-an dianggap masa bergelagat modern oleh para pengamat dan kritikus sastra. Sitti Nurbaya teranggap penting sebagai pembuktian ingin meninggalkan ikatan-ikatan sastra lama.

Di buku berjudul Sedjarah Sastera Indonesia Modern (1964) susunan Bakri Siregar, kita membaca penilaian: “Roman-roman dan novel Balai Pustaka dan di luar Balai Pustaka sesudah 1920 adalah hasil kalangan menengah bordjuasi-Indonesia jang dalam batas-batas tertentu mempunjai segi positip dalam menentang tradisi dan eksploitasi feodalisme.” Bakri Siregar turut membahas sikap kepengarangan Marah Rusli dan kelemahan-kelemahan Sitti Nurbaya.

Di Indonesia, novel Sitti Nurbaya telanjur “diagungkan” dan “salah tafsir” dalam pengajaran sastra di sekolah. Kita menduga perkara-perkara itu dipengaruhi oleh perhatian para pengamat sastra dalam menentukan corak “modern” dalam sastra Indonesia. Buku-buku pengajaran sastra dan kritik sastra terbit masa 1950-an menentukan pelanggengan Sitti Nurbaya dalam bab sejarah kesusastraan di Indonesia. Kita mengingat nama-nama yang berperan dalam peninggian derajat novel gubahan Marah Rusli: A Teeuw, HB Jassin, Zuber Usman, Amal Hamzah, Usman Effendi, Slametmuljana, dan lain-lain.

Pada 2022, kita memperingati 100 tahun penerbitan Sitti Nurbaya. Kita berpikiran lagi bagaimana sastra masa 1920-an memberi pengaruh atas situasi sastra masa sekarang. Pengaruh makin menipis, tapi masa lalu para pengarang bercap Balai Pustaka tercatat di lembaran sejarah. Sapardi Djoko Damono (1979) menerangkan: “Sejak awal perkembangannya, sastra modern kita memang sudah harus menghadapi masalah yang sungguh-sungguh, keinginan yang sangat kuat untuk menyerap berbagai arus perkembangan sastra asing.”

Keinginan tak terpenuhi. Novel-novel terbitan Balai Pustaka masa 1920-an tetap kental dengan sastra cap “lama” atau “tradisional”. Anggapan kita agak diredam oleh pendapat Sapardi Djoko Damono (1977) dengan pengakuan: “Novel-novel pertama terbitan Balai Pustaka kebanyakan sekaligus merupakan propaganda dan protes sosial.” Novel Sitti Nurbaya tentu dianggap berpengaruh meski terbit setelah Azab dan Sengsara (1920) gubahan Merari Siregar.  

Kini, kita meragu mau khatam lagi menikmati Sitti Nurbaya. Sastra di Indonesia makin meriah dengan penerbitan novel-novel penting dan berjarak jauh dari selera masa 1920-an. Kita berpikiran telah terjadi “hilangnya pesona novel-novel Balai Pustaka” atau “hilangnya pesona Sitti Nurbaya” saat selera bacaan berubah dan penggunaan bahasa Indonesia seperti “bermasalah” bila dihubungkan dengan kebijakan-kebijakan Balai Pustaka awal abad XX.

Novel persembahan Marah Rusli berusia seabad bila mengacu tahun terbitnya, 1922. Kita mengira cetakan pertamanya masih tersimpan di Perpustakaan Nasional atau perpustakaan-perpustakaan di Eropa dan Amerika Serikat. Penulis mengaku beruntung bisa memiliki cetakan pertama meski harus mengeluarkan duit ratusan ribu rupiah. Novel ini bukan melulu lawas dan harga. Kita masih mungkin memberi penghormatan atas peran Balai Pustaka dan gairah bersastra yang dibuktikan oleh Marah Rusli.

Pada 2022, Sitti Nurbaya terduga masih tersimpan di rak-rak ribuan perpustakaan di seantero Indonesia. Ditata rapi tanpa sentuhan dan tatapan pembaca. Novel itu diam atau berdebu. Novel Sitti Nurbaya masih dipentingkan dalam pengajaran sastra di sekolah dan perguruan tinggi tanpa janji dikhatamkan demi “memelihara” atau menguak sejarah. Kita tetap bersama Sitti Nurbaya, tapi perlahan kehilangan pikat. Begitu.  

Bandung Mawardi
Latest posts by Bandung Mawardi (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!