Ribuan novel pop terbit di Indonesia. Ribuan pembaca khatam untuk ingat maupun lupa. Sekian banyak novel pop merekam zaman pernah terbaca, tapi lekas “diam” dalam lemari buku atau tergeletak di gudang.
Remy Sylado (1945–2022) mengingatkan lakon Indonesia masa lalu. Pengisahan para mahasiswa ketika sedang KKN: “Tapi mereka berbincang juga soal menggarap masalah gizi bangsa, terutama suku terasing Jawa Barat yang berada di Banten Selatan. Di situlah Madalena belajar sesuatu tentang sebuah masyarakat yang seakan dibiarkan hidup primitif, sementara Jakarta, kota yang terletak di utaranya, menjadi begitu asingnya. Seakan sebuah miniatur Amerika di Asia.” Remy Sylado mengumbar kritik atas kebijakan-kebijakan cap pembangunan nasional. Kritik melalui novel pop berjudul Kita Hidup Hanya Sekali (1977). Novel ini mungkin tak lagi terbaca orang-orang saat berdoa untuk kesembuhan dan kebaikan Remy Sylado.
Di kulit muka buku, dipasang kalimat tak mau terbantah: “Semua orang sangsi soal novel pop, tapi ini dia biang keladi novel pop.” Pada masa 1970-an, Remy Sylado masuk daftar pengarang paling rajin menggubah novel pop meski orang-orang melulu ingat Marga T, Mira W, Motinggo Busye, Ashadi Siregar, Maria A Sardjono, Ike Soepomo, atau La Rose.
Kita ingin mengingat babak kemonceran novel pop. Remy Sylado menjadi penggerak dengan keberanian menaruh kritik dan omelan tentang Indonesia.
Pada suatu hari, Remy Sylado pernah masuk angin setelah menempuh perjalanan ngebut: Jakarta-Bandung. Perjalanan tengah malam. Keesokan hari, ia sakit keras: kena flu berat. Ia dianjurkan masuk rumah sakit. Remy Sylado emoh: “Selama hidup, saya belum pernah, jangan, dan tidak mau masuk rumah sakit.” Pengakuannya dimuat di majalah Tempo, 1 Maret 1980. Dulu, Remy Sylado sibuk di sekian banyak bidang seni: teater, musik, dan sastra. Ia berusia 35 tahun. Keputusan-keputusan besar ingin ditunaikan.
Di Tempo, kita membaca: “Begitu sembuh, pimpinan grup Dapur Teater 23761 itu langsung ngebut lagi bikin novel. Untuk bayar utang pada penerbitnya.” Usia bertambah, ia ingin meninggalkan teater. Konon, keputusannya bermisi “konsentrasi pada novel”. Ia pun ingin berhenti dari musik berdalih estetika. Dulu, saat orang membaca berita itu mungkin mengandung kebenaran dan bualan. Pada masa berbeda, kita masih bisa membuktikan Remy Sylado ada dalam pengabdian pelbagai seni. Kalimat terakhir di Tempo agak mencengangkan: “Ia sudah menyelesaikan 30 novel pop, 20 rancangan panggung, dan 6 album musik.” Ia memang biang keladi novel pop!
Sekian novelnya masih bisa ditemukan di pasar buku bekas. Novel-novel itu tak jemu mengandung omelan-omelan Indonesia. Kita berhak membaca (ulang) untuk mencatat dan memikirkan omelan-omelannya yang mengiringi lakon Indonesia pada masa Orde Baru. Dulu, Remy Sylado galak, berani, kocak, dan filosofis dalam suguhan novel-novel pop karyanya.
Mari kita membuka novel Gali Lobang Gila Lobang (1977). Remy Sylado mengisahkan Djeki dan teman-temannya. Mereka kelasi kapal yang sedang berada di Filipina. Di pusat kota, mereka mencari hiburan, tapi kemudian menghadapi keributan. Remy Sylado menuliskan sindiran mengenai corak manusia Indonesia: “Maka terjadi perkelahian seru. Anak-anak Indonesia, khususnya para kelasi ini berkelahi semata bukan karena memang mesti berkelahi, tapi mereka berkelahi karena merasa bahwa mereka orang Indonesia. Ini kesadaran nasional yang paling nikmat jika seseorang berkelahi di luar negeri.”
Ejekan yang menimbulkan tawa bila kita terbiasa akan berita orang-orang yang “mengharumkan” nama Indonesia di dunia melalui tinju, bulu tangkis, musik, tari, atau ilmu. Berkelahi pun ditafsirkan berkaitan dengan “kesadaran nasional”. Remy Sylado memang kocak, tapi itu serta-merta menguak kesembronoan soal memuliakan Indonesia.
Berlatar masa Orde Baru, Gali Lobang Gila Lobang “ditumpangi” serangan Remy Sylado terhadap kaum tua yang mengaku membangun Indonesia. Soeharto berkuasa dengan meremehkan kaum muda. Remy Sylado memberi omelan melalui tokoh dalam novelnya: “Djeki kurang begitu suka kepada orang-orang tua siapa saja. Terutama orang-orang tua di Indonesia yang selalu mengira bahwa usia panjang identik dengan kepintaran. Banyak orang tua yang bodoh-bodoh, tapi mengira dirinya pintar sebab lebih banyak mengumpulkan tahun dalam usianya.” Kita ingat masa Orde Baru bermasalah dalam kepemimpinan, usia, dan keintelektualan. Usia jadi sasaran kritiknya!
Di mata penguasa dan pemuja moral, kaum muda Indonesia masa Orde Baru biasa dicap nakal, bodoh, durhaka, malas, dan lain-lain. Novel pop adalah serangan melalui omelan-omelan. Remy Sylado dalam Generasi Gegap Gempita (1978) mengisahkan sengketa kaum muda melawan kaum tua. Novel ini tetap menjadi rekaman zaman saat kaum muda Indonesia suka mengenakan celana lebar di bawah, berambut gondrong, menikmati bowat, dan ketagihan musik rock. Dunia yang dibentuk kaum muda sering dianggap buruk, biadab, tolol, sia-sia, dan sekarat.
Omelan itu disampaikan melalui mulut tokoh bernama John Wesley Thomas, seorang pemuda yang ketagihan bowat: “Memangnya apa salah bowat? Bowat tidak pernah salah. Seperti para koruptor, yaitu orang tua yang menipu, yang munafik, yang berapi-api mengatakan bahwa generasi muda sudah rusak, tapi di samping itu, mereka mencopet uang negara lalu dihamburkan bersama hostess-hostess nightclub dan steambath. Kami ini apa? Kami hanya satu generasi yang terbuang. Tapi kami perlu ada di dalam sebuah kota metropolitan. Tanpa kami, percayalah metropolitan tidak akan mencapai sasaran metropolitan yang religius.”
Tiga persembahan novel pop Remy Sylado terbukti ramai bercerita tentang Indonesia. Ketika kita membaca novel-novel itu, berarti membaca Indonesia. Kini, kita kepikiran mencari puluhan novel pop gubahan Remy Sylado untuk membaca (ulang) Indonesia. Sejak puluhan tahun lalu, ia memang biang keladi novel pop yang rajin memberi omelan-omelan kepada Indonesia. Begitu.
- Biang Keladi Novel Pop - 18 January 2023
- 100 Tahun Sitti Noerbaja; Langgeng dan Khatam - 30 November 2022
- Burung: Sejarah dan Bahasa - 2 November 2022