Di Mana Kepala JP Coen?

William Van Coen terbang dari Hoorn menuju Amsterdam dan mendarat di Soekarno-Hatta enam belas jam kemudian. Selain berwisata, ia juga ingin menyusuri  jejak kematian kakek moyangnya yang pernah menjabat sebagai Gubernur Jenderal Batavia. Tanpa istirahat, William naik taksi gelap dan mengarah ke Museum Sejarah Jakarta yang dulu bernama Stadhuis, lalu mengunjungi Museum Wayang, De Oude Hollandsche Kerk,  dua bangunan yang konon pernah menjadi tempat bersemayamnya jasad JP Coen. Namun, William tak menemukan informasi apa pun, alih-alih keberadaan tulang tengkorak moyangnya.  

Sebulan lalu,  usai bekenalan di Facebook  selama seminggu,  William bertengkar hebat lewat messenger dengan seorang perempuan. Sepertinya mahasiswi. Bahasa Inggrisnya jago.

“Dasar gundik!” maki William dalam bahasa Belanda.

“Londo bangsat!” balas si perempuan dalam bahasa Inggris.

Pangkal persoalan antara William dan si perempuan yang di foto profilnya terlihat sangat cantik itu tak lain dan tak bukan tentang penjelajahan samudra yang lalu berakhir dengan penjajahan. William ngotot,  orang-orang Hindia akan tetap kafir dan menyembah batu jika tidak karena kedatangan bangsa Eropa. Si perempuan tak kalah gertak. Waktu bangsa Eropa masih menutupi  kelaminnya pakai daun, bangsa-bangsa Hindia sudah punya peradaban tinggi, tulisnya. Entah siapa yang memulai, perdebatan itu lalu berbelok ke isu feminisme, dan si perempuan serta-merta menyebut-nyebut Jan Pieterszoon Coen.

Kowe ngerti bagaimana kami memperlakukan Gubernur Jenderal Batavia moyangmu itu?” tulis si perempuan, “kami penggal kepalanya,” imbuhnya, dan mengakhirinya dengan emoticon menyeringai.

“Itu hanya dongeng! Beliau meninggal karena kolera!”  balas William, sengit. “Inlander tetaplah inlander! Kamu tahu mengapa negaramu tidak maju-maju? Orang-orangnya tenggelam dalam dongeng.”

Si perempuan tak membalas ungkapan kemarahan yang barangkali sudah sampai di ubun-ubun itu. Ia hanya mengirimkan gift. Gambarnya jari tengah mengacung.

William  memang pantas untuk marah sebab tak bisa membantah. Buku-buku tentang VOC yang dibacanya hanya memberikan secuil informasi tentang proses meninggalnya JP Coen. Yang ia temukan justru artikel-artikel yang bertebaran di media online Indonesia yang justru mendukung pernyataan si perempuan, yang menurut William lebih mendekati fitnah yang keji dan munkar daripada fakta yang sebenarnya.

William  batal mengunjungi Lapangan Banteng.  Patung JP Coen dari tembaga yang pernah berdiri angkuh sambil menunjuk itu sudah tidak ada; dihancurkan pada masa pendudukan Jepang. Bisa jadi telah diubah menjadi perkakas perang. Atau dijelmakan menjadi pipa saluran air untuk melancarkan jalannya tinja dari septic tank warga Jakarta.  William pernah sangat bangga berfoto di depan patung serupa yang dibangun di Horn. Ada tulisan Dispereert Niet!” di bagian bawah.Di kota kelahirannya, JP Coen  memang dikenang sebagai pahlawan yang pantang menyerah. Namun, slogan hanyalah slogan.  Sejarah mencatat,  Jepang cuma butuh waktu kurang dari tiga bulan untuk membuat pasukan Belanda menyerah; lari terbirit-birit meninggalkan Indonesia.

William menuju Tapos, Depok, Jawa Barat. Perempuan yang disebut-sebut sebagai pembunuh JP Coen itu dimakamkan di sana, di dekat Sungai Sunter. Menjelang senja, William tiba di kompleks pemakaman yang dikelilingi tembok setinggi 1 meter, berukuran 4 x 4 meter. Catnya putih, lantainya berkeramik dan juga putih. Di pagar tembok bagian dalam terpasang poster “Gugur Bunga” karya Ismail Marzuki.  Keramik makam berwarna merah jambu. Di nisan batu granit hitam, dalam tinta kuning keemasan, tertulis ‘Nyimas Utari Sandi Jaya Ningsih’.  Tak jauh dari makam Nyimas Utari yang sepertinya baru saja direnovasi itu terdapat makam Syekh Auliamudin, alias Wong Agung Aceh, suami Nyimas Utari. Makam itu berada dalam cungkup berpintu dan berjendela  terali besi bercat kuning keemasan. 

Di emper cungkup, atas permintaan William, sang juru kunci lalu menceritakan sepak terjang suami-istri tersebut selama Perang Batavia II. William tak hendak menyela. Didengarnya kisah heroik bin gegap gempita itu dengan telinga terbuka. Meskipun si penerjemah kurang fasih berbahasa Inggris, William masih bisa memahami maksudnya.

Wong Agung Aceh dan Nyimas Utari adalah kepercayaan Sultan Agung yang diselundupkan melalui kapal dagang Aceh yang disewa VOC untuk mengangkut meriam dari Madagaskar. Lewat penyamaran yang luar biasa rapi, suami-istri itu  berhasil menjadi penghuni Kastil Batavia. Singkat cerita, Utari berhasil meracuni sang istri Gubernur Batavia dan anaknya dengan racun arsenik. Setelah itu, Utari ganti meracuni JP Coen, membuat sang Gubernur Jenderal Batavia mengejat-ngejat dan mati.

“Wong Agung Aceh lalu memenggal kepalanya,”  kisah si juru kunci, “lantas membungkusnya dengan taplak meja!”

Kepala JP Coen kemudian dibawa secara estafet dari Batavia. Diserahkan kepada Raden Bagus Wonoboyo, selanjutnya dioperkan kepada Tumenggung Surotani yang lalu membawanya ke Mataram lewat jalur Pantai Utara. 

Setengah jam kemudian William meninggalkan Tapos.  Ia menginap  semalam di Jakarta, dan dipilihnya hotel di sekitar Kota Tua, dan betapa miripnya bentuk bangunan-bangunan itu dengan yang ada di kotanya. Menjelang tidur, William merenung-renung. Wajah perempuan itu terbayang-bayang. Begitu juga tulisan-tulisannya. Semakin banyak membaca buku-buku tentang VOC, William makin memahami alasan perempuan itu sangat membenci moyangnya. William tersenyum kecut, teringat bagaimana perempuan di Facebook itu menyumpahi JP Coen beserta keturunannya. Bisa jadi moyangnya memang pantas disumpahi.  

Pada 22 Desember 1607, JP Coen berangkat ke Hindia Timur bersama  armada pimpinan Pieter Willemszoon Verhoeff. Dua tahun kemudian rombongan itu tiba di Banda. Akibat berselisih dengan pengusaha lokal yang menolak diakali, Verhoeff terbunuh. Sang juru tulis, JP Coen, berhasil melarikan diri dan kembali ke Belanda.

Pada tahun 1621,  setelah diangkat menjadi Gubernur Jendral Batavia,  Coen kembali ke Banda. Bukan untuk membeli pala, tapi demi membalaskan dendamnya. Coen membawa 1.600 tentara, 300 narapidana bersuku Jawa, 100 orang ronin,  285 budak belian dari Afrika, dan 40 awak kapal. Mereka diangkut dengan 13 kapal.  Penduduk Kepulauan Banda lalu dibantai habis-habisan sampai hampir habis: tua, muda, besar, kecil, laki, perempuan. Dari sekitar 15 ribu jiwa, hanya tersisa kurang dari 1.000 saja.

William banyak mengenal perempuan cantik. Namun, perempuan cantik, pintar, dan galak jarang ditemuinya.  Kombinasi yang sempurna. Membuat penasaran. Apalagi, jika sedang tidak marah, sepertinya si perempuan yang suka berwisata itu cukup ramah.

“Mengapa bangsamu betah menjajah Indonesia?”  tulis si perempuan tiga hari lalu. “Sebab negeri kami memang sangat indah.”

William menganggap tulisan tersebut sebagai undangan untuk mengunjungi Indonesia, negeri yang selama ini hanya ia kenal namanya. Sekaligus, ia ingin menemui perempuan yang profilnya sangat menarik ini: Leo, penggemar traveling, 25 tahun, lajang, mendambakan laki-laki matang.

Esoknya, William melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta, naik pesawat paling pagi. Kemarin ia sudah mengabarkan kedatangannya dan si perempuan yang dari foto-fotonya terlihat sangat seksi dan berwajah eksotis itu membalas William dengan ucapan selamat datang.  Bahkan, si perempuan berhasil memancing rasa penasaran William.

“Aku tahu keberadaan batok kepala JP Coen!” tulisnya.

“Di mana?” desak William, lewat tulisan.

“Kasih tahu nggak, ya?” balas si perempuan.

Dari Bandara Adi Sucipto,  William naik ojek, mengarah ke Bantul. Setengah jam kemudian ia tiba di Imogiri, di kompleks pemakaman raja-raja Jawa.  Sesuai aturan,  para pengunjung yang hendak mengunjungi makam yang terletak di atas bukit itu harus mengenakan pakaian adat Jawa; baju pranakan. William didandani oleh seorang petugas yang sangat terlatih: laki-laki gemuk dan pendek. 

Selesai berdandan, William menaiki anak tangga yang sangat curam, hampir empat puluh lima derajat. Jumlah anak tangganya banyak sekali; ratusan.  William terengah-engah. Setelah memastikan hitungannya tepat,  William berhenti,  mengambil napas, dan berdiri termangu-mangu.  Kemarin lusa, si perempuan menghubunginya.

“Tunggu aku di anak tangga ke …!” tulis si perempuan dan entah apa maksudnya.

 William menengok jam tangan. Masih sepuluh menit. Waktu yang cukup lama untuk sebuah penantian. William duduk di anak tangga sesuai ketentuan si perempuan. Matahari di atas kepalanya sedang terik-teriknya. Disekanya dahi dan lehernya yang basah oleh  keringat.  Kulitnya memerah. Tenggorokannya kering.

Sementara itu, lalu lalang orang-orang tak juga terhenti. Turis lokal maupun mancanegara. William terus toleh-toleh. Mencari-cari sosok perempuan yang beberapa hari belakangan ini menghiasi lamunannya. Pada akhirnya, perempuan hitam manis itu mau memberikan nomor Wa-nya meskipun  menolak melakukan video call, dan William tak mau memaksa. Selanjutnya, mereka saling menanyakan hal-hal yang bersifat lebih pribadi.

William menoleh ke belakang, dan mendapati beberapa pelajar sedang digiring gurunya menuruni tangga. Juga sepasang remaja yang tampaknya sedang pacaran. William kembali menghadapkan wajah ke depan, dan serta-merta terhenyak. Di dua anak tangga di bawahnya, seorang perempuan sedang menatapnya tajam-tajam. Gemuk sekali.

“Welcome to Indonesia, Menir!” sapa si perempuan.

***

Selama di pesawat yang sedang membawanya kembali ke Belanda, William terus menyumpah-nyumpah. Tiga jam ia menunggu dan si perempuan pujaan hati itu tak juga menemui. Dihubungi lewat hape tidak bisa. Dan makian William bertambah deras saat tiba di Bandara Amsterdam. Perempuan sialan itu tiba-tiba menghubunginya. Tulis si perempuan, batok kepala moyangmu kami kubur seperti bangkai anjing di bawah anak tangga yang tadi kowe duduki.

“Dan kowe telah memantatinya!”

Kajen,  15 Februari 2024

Dewanto Amin Sadono
Latest posts by Dewanto Amin Sadono (see all)

Comments

  1. Anton Tasrif Reply

    Honornya diam-diam berkurang ya, @basabasi? Dulu 300 ribu. Padahal apa-apa sekarang makin mahal dan inflasi melaju terus. Kerja-kerja kepenulisan makin murah harganya. Hikzz

  2. Agus Sumiyarso Reply

    Karya – karya yang layak jadi acuan penulis, selamat…, tinggal penyebaran dan menasionalkannya…

  3. Syassabilaaa Reply

    Plot twist nya komedi banget

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!