Elang dan Putri Duyung

pinterest.com

Putri duyung itu tinggal di dasar lautan. Tidak seperti putri duyung lainnya, ia adalah putri duyung yang penyendiri. Ia selalu tampak sedih dan merasa bahwa lautan bukanlah tempat tinggal untuknya. 

Ia hanya bahagia ketika siang hari, saat duduk di pinggir bebatuan besar yang menopang sebuah mercusuar. Dari tempat itu, ia bisa melihat kawanan burung yang terbang di udara. 

Saat aku masih kecil dan tinggal bersama Nenek, ia sering menceritakan cerita ini. Dahulu, kami tinggal di sebuah kota kecil yang menghadap sebuah pantai tak bernama. Tidak ada yang ingin memberi nama pada pantai indah tersebut. Nenek berkata bahwa memberi nama pada pantai itu sama saja dengan membocorkan rahasia terbaik kota ini.

Pantai Tanpa Nama—itulah sebutan rahasia Nenek dan aku bagi pantai itu. Nenek bercerita bahwa pantai ini sangat sempit pada awalnya, sebelum legenda tentang elang dan putri duyung muncul.

Nenek adalah pembohong. Ketika aku bertumbuh dewasa, aku menyadari bahwa walau Nenek adalah wanita berambut putih yang cantik dan ramah, ia bukan wanita tua yang ingin kau ajak bersahabat. Karena kau tidak tahu kapan ia berkata jujur padamu.

Tetapi, kau tidak mungkin bisa membencinya.

Legenda tentang elang dan putri duyung yang menjadi asal muasal Pantai Tanpa Nama itu, adalah cerita bohong Nenek yang paling ingin kupercaya. Cerita bohong terindah yang pernah aku dengar.

Saat aku masih kecil, aku tahu aku dibohongi oleh Nenek dalam banyak hal. Tetapi aku senang mendengar cerita-cerita bohong Nenek. Semua orang selalu berkata jujur, dan kejujuran tidak selalu menyenangkan. Sedikit kebohongan Nenek hanyalah kunci bagi diriku untuk merasa bahagia.

Sesungguhnya, aku berharap bahwa surat pendek yang kuterima kemarin sore adalah kebohongan dari Nenek. Sungguh, aku tertawa saat membaca surat pendek itu. Namun, isinya terlalu berlebihan untuk dianggap cerita bohong.  Setiap siang, putri duyung itu selalu mendongak ke atas, melihat burung-burung terbang dengan bebasnya. 

Putri duyung itu diajarkan ayah dan ibunya, bahwa tidak ada tempat lain yang lebih baik selain di bawah laut. Ayah dan ibunya selalu berkata bahwa daratan adalah tempat yang kejam. Tetapi, putri duyung itu tidak tertarik untuk tinggal di darat. Ia hanya ingin merasakan rasanya punya sayap, bukannya sirip. Ia ingin terbang membubung. Bebas.  

Surat itu membuatku membeli tiket kereta api paling akhir kemarin malam, agar bisa sampai hari ini. Tubuhku terasa limbung saat sampai. Tengkukku menegang. Akhirnya, aku kembali ke kota ini.

Aku bergegas keluar dari stasiun, dengan langkah terburu-buru. Jika aku melambatkan langkah, aku akan kembali lagi melihat bayangan diriku yang berusia enam tahun. Melolong pilu, memohon agar Ibu kembali.

Semua masih terasa jelas. Stasiun yang lengang. Wangi wewangian Ibu yang perlahan memudar. Mungkin seperti itulah kesan yang ingin Ibu sampaikan. Bahwa Ibu hanya seperti wangi yang begitu nyata untuk sementara, namun menghilang begitu cepat.

Aku akan kembali melihat diriku tergugu, berharap Ibu berbalik, memberikan kecupan sampai jumpa. Namun, ia tidak pernah menoleh ke belakang.

Sembilan belas tahun telah berlalu sejak saat itu, dan aku selalu membayangkan apa yang terjadi jika Ibu menoleh ke belakang. Mungkinkah Ibu kembali berjalan ke arahku, menyentuh pipiku sebagai jaminan bahwa ia hanya pergi sebentar? Apakah ia akan memberikan sepucuk surat untuk kubaca saat aku sudah dewasa?

Saat itu, Nenek berkata bahwa Ibu hanya pergi untuk sementara. Itu adalah kebohongan Nenek yang pertama.

Pada suatu hari, seekor elang melintasi lautan dengan kedua sayap terbentang. Putri duyung itu terkejut. Ia memunculkan wajahnya di permukaan laut, ingin melihat elang itu dari dekat.

Elang itu menyadari bahwa putri duyung itu melihatnya. Ia menyapa putri duyung itu dan bertanya.  

“Apa kamu mau menemaniku terbang?”

Beberapa orang bersila di depan rumah Nenek. Beberapa bapak-bapak merokok di pelataran rumah dan menikmati kue lumpur yang disajikan di atas piring sederhana. Beberapa ibu-ibu teman Nenek sibuk mengipasi diri mereka dengan kipas batik aneka warna.

Tiga tahun lalu, aku berkata bahwa aku pasti akan kembali ke kampung halaman sekali-sekali. Aku berkata bahwa suatu hari nanti aku akan membawa uang puluhan juta rupiah kembali ke rumah.

Entah siapa yang lebih jahat. Ibuku, karena tidak pernah berjanji untuk kembali, atau aku, yang berjanji untuk kembali namun aku tidak pernah melakukannya.

Aku mengingat kembali sengatan hebat yang kurasakan ketika aku membaca surat pendek dari Nenek. Telingaku berdengung dan dadaku sesak, seperti sesosok putri duyung yang lupa caranya berenang dalam air dan merasa aneh ketika berada di dalamnya.

Aku selalu menganggap putri duyung dalam cerita Nenek itu adalah diriku. Sama seperti putri duyung itu, aku selalu merasa asing dengan kota ini. Aku selalu percaya bahwa seharusnya aku tinggal di atas langit. Membentangkan sayap di udara, terbang tanpa borgol.

Persis seperti putri duyung dalam cerita itu, aku selalu berharap bisa menjadi seperti burung elang. Aku bertanya pada Nenek mengenai hal ini, dan ia percaya padaku, bahwa suatu hari nanti, aku akan bebas.

Elang menatap putri duyung dengan sorot matanya yang tajam, membuat putri duyung terjebak perasaannya sendiri. Ia selalu merindukan langit. Tapi apakah ini waktu yang tepat untuk terbang? Bisakah ia terbang? 

“Apa yang kau tunggu?” tanya elang dengan suara yang keras. Putri duyung tetap terdiam. Ia melihat ke bawah laut dari permukaan. Ia kembali memikirkan kehidupannya di bawah laut, kedua orang tuanya, serta rasa air laut yang pahit di mulutnya. Ia selalu mengecap perasaan dikekang, bukan perasaan bebas. 

Putri duyung mendongak ke atas, mendapati bahwa burung elang tersebut sudah menghilang dari sudut matanya. Ia sudah terbang begitu jauh, tidak menoleh ke belakang. Putri duyung berteriak, tapi mulutnya tidak mengeluarkan suara.

Semua tamu berusaha melihat ke arah ruang tengah. Terdapat sebuah kursi panjang untuk dua orang dan karangan bunga di banyak tempat. Nenek duduk di kursi itu, bersama dengan calon suami barunya.

Apa yang Nenek pikirkan? Nenek bisa ikut senam atau kelas merajut. Tapi dari antara sekian banyak pilihan, Nenek memilih menikah lagi.

Nenek adalah pembohong yang menyayangi cucunya, tapi ia bukan tipe wanita tua yang mampu menikah berkali-kali. Aku percaya dengan sungguh-sungguh, bahwa hanya ada Kakek di hati Nenek.

 Kakek dan Nenek memiliki banyak cita-cita. Memilih tinggal di kota kecil ini juga adalah salah satu cita-cita mereka. Rumah ini, ibu dan aku adalah bagian dari cita-cita paling akhir yang mereka capai.

Aku selalu berpikir bahwa Nenek adalah elang dalam legenda itu. Bebas menggapai cita-citanya. Berbeda denganku yang hidup hanya agar Ibu tidak naik pitam dan pergi meninggalkanku. Walau pada akhirnya, ia pergi dan tak kembali. Seperti seorang putri duyung yang tidak mengenali cara berenang, atau hidup dan bernapas dalam air, aku tidak tahu untuk apa hidup jika bukan untuk Ibu. Ketika Ibu pergi, maka aku hidup untuk Nenek.

Aku melakukan semua permintaan Nenek. Rajin belajar di sekolah, selalu mengerjakan pekerjaan rumah, hingga bekerja di ibu kota. Nenek juga memintaku berteman dengan anak-anak yang tinggal dekat rumah. Salah satu hal yang gagal kulakukan untuk Nenek.

Ia bercanda bahwa aku bisa membawakannya uang puluhan juta rupiah karena bekerja di ibu kota. Maka aku memegang janji itu.

Nenek melihatku datang. Wajahnya yang semakin tua dilapisi dengan riasan bedak dan pewarna bibir berwarna merah tua. Tubuhnya yang gemuk dilapisi dengan kebaya berenda putih. Ia langsung bergegas berdiri, meninggalkan laki-laki berusia dua puluh tahun lebih muda darinya itu, yang adalah anak tetangga kami.

Beberapa pasang mata melihat kepada kami yang bergegas masuk ke dalam kamar tidurku yang dahulu. Mereka menerka-nerka apa yang ingin kami bicarakan dalam kamar.

“Kaget?” tanya Nenek padaku sambil duduk di kursi meja riasku. Aku duduk di pinggir tempat tidur, menoleh ke arah Nenek dengan penuh tanya.

Putri duyung itu begitu sedih dan terluka. Setiap hari ia meraung dalam air tanpa ada yang mengerti lolongannya. Ia menjadi gila. Lautan semakin melebar dipenuhi air matanya. Tidak ada yang berani berkunjung ke dalam lautan itu, atau hanya sekadar duduk di pantainya. Semua orang di darat terlalu takut disapu lautan yang melebar tersebut. Belum sempat pantai itu diberi nama, pantai itu dijauhi banyak orang. Itulah asal muasal Pantai Tanpa Nama.

“Nenek ingat, Nenek pernah bilang kamu untuk jadi kaya. Mulai hari ini, kamu bisa berhenti melakukan hal itu.”

Nenek berkata dengan tenangnya bahwa pria di ruang tengah itu sanggup memenuhi semua kebutuhan hidup Nenek. Bahkan siap untuk membiayai diriku juga.

“Nenek sudah berhenti jadi elang. Sudah waktunya mendarat. Karena elang pun tidak punya tenaga yang cukup untuk selamanya terbang. Giliran kamu, karena kamu tidak mau jadi putri duyung.”

Nenek tahu sekali betapa inginnya aku menjadi elang. Tidak dihantui masa lalu akan Ibu dan hidup bagi diri sendiri. Tetapi aku tidak ingin bertukar peran dengan Nenek.

Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Tahun-tahun berlalu. Bahkan, hingga aku berdiri di dekat pusaranya, aku masih begitu ingat semua perkataan Nenek hari itu. Seolah mengikutiku ketika aku berada di udara, melanglang buana menuju berbagai tempat, menjadi elang seperti yang Nenek minta.

Tapi aku tidak bisa melupakan Nenek, surat pendeknya, dan senyum di hari pernikahan keduanya. Senyum yang mengharapkan agar aku tidak menghabiskan masa mudaku dengan menjadi putri duyung yang tak kenal apa rasa air laut. Nenek memintaku menjadi elang dalam legenda itu, seperti yang aku impikan selama ini.

Aku melihat senyum itu ketika aku melepaskan sepatuku, berenang menuju lautan bebas. Tidak ada yang mengekang. Semua pilihan sekarang terbuka. Namun, aku tidak tahu harus bagaimana.

Seekor elang terbang di atas udara.  Perlahan, aku mendengar suara dari elang itu.

“Apa kamu mau menemaniku terbang?”

Aku tak tahu harus menjawab apa.

***

Sheva
Latest posts by Sheva (see all)

Comments

  1. Dinda Permata Reply

    Nice story

  2. Gandhes Gendhuk Reply

    Temanya keren, tiap alenia mengandung makna, tiap susunan kalimatnya begitu kuat pesan.
    Sampai di penghujung ending twist nya terasa banget.
    Aku recommend untuk tulisan ini.

  3. Joseph Christoffel Reply

    Dan sekarang aku juga merasa menjadi putri duyung yang tidak suka rasa air laut.

  4. Bunga Rizki Ananda Reply

    Keren nih ceritanya

  5. Allissia Ang Reply

    That exactly same with me

Leave a Reply to Gandhes Gendhuk Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!