
Saya bukan penggemar Gola Gong. Dan sepertinya akan sulit menjadi penggemarnya. Dan setelah sedikit berusaha, sepertinya saya tetap tidak akan menggemarinya. Saya dan karya-karya Gola Gong sepertinya nongkrong di tempat berbeda.
Tapi, ini tentu bukan hal istimewa. Tak perlu dibesar-besarkan. Untuk nama sebesar Gola Gong, tidak digemari oleh pembaca acak macam saya pasti tidak berdampak apa-apa. (Pilar beton tak akan lapuk oleh setetes air, tak akan hangus oleh sepercik api, bukan?) Saya percaya, ketenarannya tidak terkurangi, dan nama harumnya tidak akan tercemari. Bayangkan sebuah waralaba makanan cepat saji internasional di pinggir jalan besar di sebuah kota: jika satu orang yang lewat di jalan itu tak pernah makan di sana dan tak tertarik makan di sana, itu tak serta-merta membuat orang-orang tidak akan makan di sana. Nama kondangnya, juga perasaan keren yang ditimbulkan jika makan di sana, akan tetap membuat parkirannya berjubel, dan drive-true-nya tetap antre.
Ya, karena ini berkait bacaan, bukan makanan, beberapa persoalan literer mungkin berpengaruh. Tapi ia tampaknya hanya faktor kecil saja—semacam pelengkap sarat sahnya selera. Yang lebih menentukan sepertinya adalah waktu perjumpaan: bahwa saya melewati masa remaja tanpa tersentuh majalah Hai dan seri Balada Si Roy. Tepat di situlah masalahnya.
Distribusi pengetahuan dan persebaran bacaan telah “memilih” bahwa yang sampai ke tangan saya adalah novel lucah Freddy S. di satu sisi dan komik Siksa Neraka di sisi yang lain, dua jenis bacaan yang secara nilai bertolak belakang namun secara tipikal paling mungkin masuk ke wilayah-wilayah dengan kebiasaan membaca paling rendah. Sementara, bacaan yang lebih moderat dan lebih berkelas seperti majalah Bobo, Hai, Aneka Yess!, novel Lupus atau seri Balada Si Roy hanya mentok sampai di kota-kota kecil yang dekat dengan kota besar. Dan itu artinya tak sampai ke saya.
Bagaimana pun, saya tahu kebesaran Gola Gong. Saya pernah baca bahwa seri Balada Si Roy menginspirasi beberapa penulis Indonesia yang kemudian menjadi penting di masa kini. Dan bahwa nama Gola Gong masih sering muncul dalam obrolan kita tentang sastra, atau lebih spesifik lagi tentang bacaan populer yang menandai satu masa tertentu, saya pikir ia mungkin memang lebih penting dari apa yang selama ini kita pikirkan. Dalam kepala saya, saya rasa, Gola Gong dan karya-karyanya akan menjadi teks penting ketika kita ingin melihat Orde Baru secara lebih utuh. (Ya, jika Daniel Dakhidae bisa melihat betapa pentingnya LP3ES sebagai lembaga pengetahuan dan jurnal Prisma sebagai produk teks bagi tegaknya Orde Baru, saya selalu ingin membuktikan bahwa Gramedia dan produk-produk bacaan popnya, dari mulai Karmila [1971] hingga Balada Si Roy [1989], juga punya peran yang tak kalah pentingnya untuk rejim yang sama.)
Karena itu, saya selalu mencadangkan semacam janji kepada diri sendiri: saya mesti membaca Gola Gong kapan-kapan. Ya, waralaba tenar itu perlu sesekali dimasuki, meski saya tak berselera. (Toh, meskipun kami tak setongkrongan, dalam sebuah acara satu lembaga pemerintah bertahun-tahun lalu, saya pernah sederetan kursi dengannya, dan ia dengan murah hati ngobrol panjang dengan saya.) Dan karena akan butuh waktu untuk melacak, mengumpulkan, dan membacai seri Balada Si Roy yang entah berapa banyak itu, saya coba menemui Gola Gong lewat Kutunggu di Jogja (1993) yang terlihat ramping dan enak dipegang, dan kebetulan saya punya.
***
Kutunggu di Yogya saya dapat ketika saya sedang banyak mengumpulkan bacaan-bacaan pop dalam waktu lima tahun terakhir. Saya lupa menandai kapan buku itu saya dapatkan (dan ini sedikit saya sesali), tapi saya pikir saya menemukannya setelah menyelesaikan menulis Anwar Tohari (terbit 2022), yang masa pengerjaannya memang mendorong saya untuk banyak membaca karya pop. Lucunya, sejak awal, hal paling pop yang segera terlihat dari Kutunggu di Yogya sebenarnya adalah nama Gola Gong sendiri.
Bersampul perempuan Jawa lama dalam baju lurik, salah satu foto paling terkenal dan banyak sekali dipakai untuk merepresentasikan Jawa masa kolonial, Kutunggu di Yogya terlihat tak kalah serius dengan Pengakuan Pariyem-nya Linus Suryadi AG (yang pada edisi Pustaka Pelajar juga memakai foto yang sama untuk gambar sampulnya). Dalam sekali lirik, ia jelas terlihat jauh lebih serius dibanding cerita-cerita stensilan Motingo Busye terbitan Gultom Agency atau novel-novel Ashadi Siregar edisi Cypress.
Buku ini terbitan Puspa Swara, penerbit yang di era ‘80-‘90an punya reputasi menerbitkan buku-buku sastra. Dalam ukuran 10×18 yang cekli dan khas, saya mengingat buku-buku semacam Sastra Indonesia dan Perjuangan Bangsa dan Koran dan Sastra Indonesia, keduanya dari Jassin, kumpulan cerpen Sarinah Kembang Cikembang dari Satyagraha Hoerip, hingga karya-karya F. Rahardi seperti Kentrung Itelile dan Migrasi Para Kampret. Dan jika Anda membaca halaman kolofonnya, Anda akan temukan nama Eka Budianta, nama besar lain di sastra Indonesia, sebagai salah satu editornya. Dan patut diduga atas campur tangan Eka Budianta, dalam Pengantar Penerbit, terdapat klaim: “Kutunggu di Yogya dapat juga dikatakan sebagai karya sastra”.
Namun, pemeo “jangan menilai buku dari sampulnya” cocok untuk dikenakan buku ini. Gambar sampul memang terlihat serius, tapi saya kira tidak dalam cara Pengakuan Pariyem atau Gadis Pantai, misalnya. Soal Puspa Swara yang identik dengan sastra, saya rasa ingatan saya sudah selektif sejak awal: saya hanya akrab dengan terbitan-terbitan sastra Puspa Swara, tapi mengabaikan terbitan buku-buku kuliah, buku-buku manajemen, hingga bermacam petunjuk praktis kecakapan hidup dari penerbit yang sama; bahwa benar penerbit ini menerbitkan karya-karya sastra penting F. Rahardi, tapi Puspa Swara juga menerbitkan Membuat Kebun Tanaman Obat dari penulis yang sama.
Sikap yang sama juga mesti ditujukan pada klaim “sastra” yang saya kutip di atas. Saya kira kita tidak perlu menganggapnya terlalu serius. Karena, tampaknya klaim ini memang tak bertujuan serius.
Bagaimanapun, frasa “dapat juga” pada klaim di atas bukan hanya terasa sedikit mengganjal, tapi juga terdengar tidak yakin. Dan kita bisa segera menemukan penjelasannya mengingat ia memang hanya klaim pelengkap. Klaim utama dari buku ini adalah “buku panduan wisata” dalam bentuk novel, dengan tujuan agar “pesona Yogya mendapatkan makna yang dalam”.
Lagipula, klaim “sastra” itu dilakukan dengan sambil lalu dan tidak dijelaskan lebih jauh. Barangkali karena memang bukan tempatnya sebuah pengantar penerbit mengambil porsi yang terlalu banyak, apalagi untuk buku kecil seratusan halaman. Tapi itu bisa jadi juga mengindikasikan bahwa klaim itu memang tak perlu diributkan, karena, ya, memang tak penting-penting amat.
Tapi gong dari tidak pentingnya klaim di atas saya rasa ada pada nama Gola Gong. Tak ada penjelasan mengapa Gola Gong menulis novel yang berisi panduan wisata Yogya. Maka, satu-satunya hal yang bisa saya pikirkan adalah alasan kemasyhuran: bahwa, di awal 90an, Gola Gong adalah penulis terkenal, kalau bukannya sangat terkenal, yang naik daun bersama Balada Si Roy, yang identik dengan kisah-kisah petualangan dan pembaca muda urban.
Tanpa bermaksud merendahkan Gola Gong, jika saya editor buku ini, dan berpikir tentang novel yang bercerita tentang Yogya (apa pun tujuan novel itu), maka ada puluhan nama lain yang lebih mudah dibayangkan identik dengan Yogya, dan Gola Gong tidak termasuk salah satunya. Apalagi kalau saya berpikir sedikit serius tentang “sastra”, nama Gola Gong jelas tak akan kepikiran. Mungkin Anda tak akan menerbitkan novel berisi panduan wisata tentang Jogja bersama Umar Kayam atau Kuntowijoyo atau YB Mangunwijaya, tapi pada awal ‘90an saya rasa Anda bisa memilih salah satu di antara Achmad Munif, Agnes Yani Sarjono, Indra Tranggono, atau Iman Budhi Santoso. Atau, jika menganggap orang-orang itu sudah terlalu senior dan karena itu tak cukup menarik untuk pembaca muda, Anda bisa menjajaki nama-nama yang sepantaran Gola Gong, seperti Agus Noor, Omi Intan Naomi, Abidah El Khalieqy, Ngarto Februana, atau nama yang satu-dua tahun kemudian menjadi bintang di kesusastraan Indonesia, Joni Ariadinata.
Tapi, ya, ini memang bukan tentang sastra, bahkan bukan juga tentang novel; ini adalah buku panduan wisata berbentuk novel yang, siapa tahu, “dapat juga dikatakan karya sastra”. Ini adalah buku brosur pelesiran dalam versi yang dikembangkan. Tak mengherankan, ia butuh bintang iklan untuk menarik perhatian—brand ambassador dalam bahasa sekarang. Dan itulah mengapa nama Gola Gong menjadi masuk akal.
Terutama, untuk “mengajak semua manusia Indonesia untuk menjadi turis di negeri sendiri,” seperti yang ditulis di pembuka dan pengujung Pengantar Penerbit.
****
Kutunggu di Yogya memang buku panduan wisata berbentuk novel. Dan itu membuatnya terlihat tidak seperti novel pada umumnya. Pada daftar isi, ada subbab-subbab semacam “Pesona Malioboro”, “Paket Wisata”, hingga “Lembaga Pemerintah Pengelola Pariwisata di Daerah Istimewa Yogyakarta”. Di dalam novel, subbab-subbab tadi rupanya adalah kotak-kotak informasi yang terpisah dari cerita.
Ada pula lembar Lampiran. Tak tanggung-tanggung, ia mengambil porsi seperempat isi buku. Bukan berisi istilah-istilah lokal yang perlu dijelaskan khas novel-novel bernuansa kedaerahan, atau catatan kaki genit-genitan ala para peniru Seno, melainkan daftar armada taksi dan kisaran tarifnya, berbagai jenis bus lokal beserta trayek dan ongkosnya, hingga jadwal penerbangan dari dan menuju ke Yogya. Tak ketinggalan: sebuah peta Yogyakarta yang dilipat rapi sebesar lima kali ukuran buku.
Tapi, bagaimana pun, ini adalah sebuah novel, dan ia memenuhi syarat disebut novel. Itulah yang paling menarik perhatian saya. Dan karena itulah buku ini dibicarakan di sini.
Cerita Kutunggu di Yogya dapat diringkas dalam satu kalimat yang tidak terlalu panjang: “Seorang wartawan kembali ke Yogya untuk menemui mantan kekasih yang hendak menikah dengan orang lain.” Dan ringkasan ini bahkan tidak menyembunyikan terlalu banyak hal. Tidak ada drama yang berlebihan, tak juga ada karakter yang terlalu mendalam, dengan alur yang terlalu sederhana dan cerita yang datar jika tidak boleh disebut dangkal. Untuk novel pop ‘90an, tak juga ada hot-hotnya. Hanya sapu tangan yang diremas, bukan yang lain.
Cerita berpusat pada Hendra, tokoh utama sekaligus si Aku narator novel ini. Selain latar belakang keluarga Hendra, bahwa ia anak kedua dari lima bersaudara dari sepasang orangtua guru, tidak terlalu jelas dari mana Hendra berasal. Yang bisa dipastikan Hendra adalah mahasiswa dari luar daerah, bukan dari Cangkringan atau Tepus atau Bangunjiwo atau Sentolo, misalnya. Ia kuliah di “Publisistik Universitas Gajah (sic.) Mada”, meskipun di bagian lain Hendra mengaku kuliah Sastra di perguruan tinggi negeri di Yogya—saya tak tahu mana yang lebih benar. Telah aktif menjadi pengelola majalah dinding dan jadi koresponden majalah remaja ibukota sejak SMA, ketika kuliah Hendra bekerja sebagai penulis lepas dan wartawan untuk media lokal dan ibukota. Di sebuah pelatihan jurnalistik di salah satu SMA di Yogya, ia bertemu dengan Sari, yang kemudian menjadi pacarnya. Ketika Hendra lulus kuliah, ia dengan segera diterima sebagai wartawan sebuah koran ibukota, dan ditempatkan sebagai kontributor daerah di Kalimantan dan Irian (kini Papua). Setelah setahun bertugas di luar Jawa, Hendra kembali ke Yogya begitu menerima kiriman telegram dari Sari yang berbunyi “Kutunggu di Yogya”.
Berbeda dengan Hendra, Sari adalah anak asli Yogya. Tak diceritakan apa kerja bapaknya, tapi hidupnya mencerminkan ia berasal dari kelas menengah-atas: rumahnya mewah dan bercahaya, dengan mobil di garasi. Dan rumah itu ada di sekitar Bulaksumur. Tak mengherankan, ada semacam perbedaan kelas antara Hendra dengan Sari. Ketika Sari hendak dijodohkan oleh orangtuanya dengan Widodo, Sari dan Hendra sepakat untuk mengakhiri hubungan.
Tapi perbedaan kelas itu tak menimbulkan gejolak berarti, jangan dikata revolusi. Tak juga ada dunia batin yang terguncang. Jika wartawan lain di cerita Putu Wijaya begitu gawat menghadapi telegram, di cerita ini wartawan Hendra menyikapinya dengan mengajak mantan pacar plesiran ke Borobudur, Kaliurang, dan Parangtritis sebelum menyuruhnya menikah dengan lelaki pilihan orangtuanya.
Dan sudah, begitulah. Tak ada kisah cinta yang dramatis berseting Yogya di sini. Tak juga mencoba menggambarkan geliat mahasiswa Yogya yang tengah menyiapkan pembangkangan kepada rejim di awal ‘90an, misalnya. Dan, menurut saya, di luar Taman Sari, Malioboro, Borobudur, Parangtritis, dan objek-objek wisata lain yang disebut dengan acak dan acuh tak acuh, bahkan tak ada Yogya dalam cerita ini.
Jadi, apakah lewat novel ini Gola Gong “menggugah kesadaran batin kita untuk mencintai Yogya”, seperti yang diklaim penerbit? Untuk saya sih sulit. Tapi entah untuk Memparpostel Joop Ave.
***
Lepas apakah ia bisa disebut karya sastra atau tidak, problem terbesar novel ini memang berkait Yogya. Potret warna sepia perempuan Jawa dari masa kolonial yang ada di sampulnya jelas tidak menggambarkan Sari, karakter utama perempuannya, melainkan Yogya. Ia eksotik, lawas, tak ke mana-mana, dan dari dulu tetap begitu. Dan siapa yang melihat Yogya seperti itu? Tentu saja orang (baca: penulis dan penerbit) Jakarta.
Sebagai orang yang tinggal (hampir 30 tahun) di Yogya dan kuliah di Gadjah Mada, saya segera tahu bahwa Hendra sepertinya tak terlalu mengenal lingkungan kampus-kampus negeri Yogya, khususnya UGM. Meskipun ia mengatakan bahwa ia dan Sari sering menyusuri jalan-jalan di kompleks kampus UGM, dan menyebut hal itu menjadi kenangan yang begitu menggila di benaknya, saya rasa ia tak memberi gambaran melebihi orang yang pernah sekadar lewat saja. Ini berbeda dengan, misalnya, bagaimana tokoh-tokoh di novel Ashadi menggambarkan hiruk-pikuk Bonbin Sastra, atau menceritakan suara kesiur daun cemara di Boulevard UGM, atau sejuknya lingkungan di sekitar gereja Kotabaru, atau sesak dan pengapnya kamar-kamar kos di Purwodiningratan. Dibanding karakter wartawan di novel berseting Yogya yang lain, semisal Budiman Simarito dalam Jentera Lepas (Ashadi Siregar, 1979) atau Samhudi di Dua Langit (Agnes Yani Sardjono, 1985), Hendra tampak tak terlalu banyak tahu kota tempatnya pernah kuliah dan bekerja. Alih-alih diceritakan oleh seorang wartawan yang pernah kuliah di UGM, novel ini seperti dituturkan dari mata seorang turis lokal yang pernah berkunjung ke Yogya.
Dengan sedikit mencocokkan beberapa ciri, saya menduga Hendra dalam Kutunggu di Yogya cukup dekat dengan Heri Hendrayana Harris, penulis kelahiran Purwakarta, pernah bekerja sebagai wartawan tabloid Warta Pramuka, tabloid Karina dan beberapa media massa lainnya, penulis skenario di beberapa stasiun TV, dan—seperti yang pernah ditulis Kompas.com—“mengguncang dunia kepenulisan Indonesia dengan novel Balada Si Roy yang ditulisnya”. Penulis itu beken dengan nama pena Gola Gong atau Gol A Gong.
Gola Gong pernah mengunjungi 20 negara di dunia, demikian yang bisa saya temukan di internet. Jadi, sulit membayangkan ia tak pernah mengunjungi Yogya. Bahkan, mengingat ketenaran dan kesibukannya, bisa saja ia ke Yogya sebulan sekali, atau bisa lebih kerap lagi. Tapi, sepertinya, ia tak pernah tinggal dalam waktu yang cukup lama.
- Gola Gong Pernah Mampir ke Jogja, Tapi Tidak Lama - 5 May 2025
- Sidney Sheldon Ternyata Laki-laki - 28 April 2025
- Bocah Itu dan Teman-teman Indianya - 21 April 2025