Bocah Itu dan Teman-teman Indianya

Tepat di akhir milenium lalu, bocah yang di masa kecilnya menggembala kambing, mengolah ladang bersama bapaknya, dan merambah hutan bersama teman-temannya, mulai menulis cerita. Saat itu usianya 19. Ia sedang belajar sastra di universitas terbaik di Indonesia, dan ia tinggal di Jogja, kota tempat lahirnya penulis-penulis hebat Indonesia. Ia pada awalnya ingin menjadi pelukis, tapi sepertinya menjadi penulis tidak terlalu buruk. Namun, hingga bertahun-tahun kemudian, ia merasa menulis mungkin memang pilihan yang buruk.

Sepanjang ‘90an sastra Indonesia didominasi oleh sastra yang terbit di koran. Sebagian besar dalam bentuk cerita pendek. Saat itu tidak ada nama yang lebih besar dibanding Seno Gumira Ajidarma, wartawan dan penulis cerita pendek produktif, tajam dan kritis, yang punya kredo “Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Bicara”. Seno Gumira bukan saja yang terhebat (ia mendapat penghargaan SEA Write Award dari Kerajaan Thailand pada usia 39 tahun ketika penulis-penulis lain biasa mendapatkannya di usia 60an), ia juga menjadi acuan bagaimana menggunakan sastra untuk melawan kekuasaan yang menindas. Semua orang ingin menulis seperti Seno, tak terkecuali bocah itu.

Bagaimana pun, Seno menulis cerita yang berbeda dengan cerita-cerita yang ingin ia tulis. Seno menulis tokoh-tokoh yang tidak ingin keluar kamar, yang menyukai musik jazz dan senja, dan kadang ingin pergi menuju ke sana dan tak kembali lagi. Dengan kalimat lebih singkat, Seno menulis manusia-manusia kota, yang individual dan surreal. Sementara, ia ingin menulis tokoh-tokoh yang ia kenal, atau yang orang-orang kenal, atau setidaknya merasa kenal. Ia ingin menulis cerita yang oleh para pembacanya dianggap sebagai nyata atau dekat dengan yang nyata. Tidak kurang pentingnya, ia ingin menulis tokoh yang menyukai musik yang ia sukai, semisal dangdut atau lagu India. Tapi ia ingin seperti Seno, maka ia memaksa diri menulis seperti Seno. Hasilnya, tak ada koran yang menyukai cerita pendeknya. Lebih buruk lagi, ia juga tak terlalu menyukai ceritanya sendiri. 

Pada saat yang sama, lanskap sastra Indonesia sedang berubah bersamaan dengan berubahnya politik Indonesia. Pada tahun 1998, tahun yang sama ketika Presiden Soeharto yang telah berkuasa 32 tahun dipaksa turun oleh gelombang demonstrasi mahasiswa (lazim disebut sebagai Reformasi ’98), novel Saman dari Ayu Utami memenangkan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), ajang yang dalam sejarahnya sering memunculkan karya-karya dan nama-nama yang sangat mewarnai kesusastraan Indonesia. Orang bisa berdebat soal mutu Saman, tapi semua orang akan sepakat bahwa ia mengubah sastra Indonesia untuk seterusnya. Ayu Utami menjadi semacam pemula bagi tren munculnya penulis perempuan pasca-Reformasi; tak ada masa dalam sastra Indonesia yang lebih subur melahirkan penulis perempuan melebihi masa ini. Karena Saman, menerbitkan novel juga terasa lebih keren dibanding menulis cerita pendek di koran. Yang lebih besar dampaknya, Saman membuka semacam tema yang lama terabaikan dalam kesusastraan Indonesia, khususnya berkait perempuan, seksualitas, dan kehidupan urban, dan itu berangkat dari perspektif perempuan.

Saman dan tren yang mengikutinya juga melahirkan tandingannya. Kalangan konservatif agama sepertinya resah dengan merebaknya karya sastra bertema seks. Mereka yang setelah jatuhnya Suharto mengalami kebangkitan politik, dengan mendirikan partai politik berbasis agama, juga ingin menunjukkan eksistensinya di dunia sastra. Tentu saja mereka ingin sastra yang sesuai dengan nilai-nilai mereka. Maka, tujuh tahun setelah Saman, terbitlah Ayat-ayat Cinta, ditulis oleh Habiburrahman El Shirazy, seorang laki-laki yang bercerita tentang laki-laki yang sangat sempurna fisik dan moralnya sehingga perempuan berebut menjadi istrinya. Sastra dengan corak keislaman selalu hadir dalam kesusastraan Indonesia, tapi tak pernah semenyolok ini. Ia juga tak malu-malu menunjukkan tujuannya, dengan mencantumkan “Sebuah Novel Pembangun Jiwa” sebagai anak judulnya.

Yang lebih menyolok, El Shirazy tak hanya berhasil melahirkan banyak epigon dan membuat dekade pertama 2000an dipenuhi oleh novel-novel dengan judul, sampul, dan kisah-kisah yang mirip satu sama lain dengan Ayat-ayat Cinta. Ia juga menciptakan gelombang baru pembaca novel dan—ketika telah difilmkan—penonton film. Pada tahun ‘50an, sastra Indonesia bercorak Islam pernah memiliki Hamka, seorang ulama yang menulis novel, yang karya-karyanya masih dibaca hingga sekarang. Namun El Shirazy tampaknya menciptakan gelombang yang jauh lebih besar.

Bocah itu, yang telah merasa gagal meniru Seno, tak mungkin mengikuti Ayu Utami. Ia laki-laki, dengan kehidupan desa, ladang, dan hutan mengisi penuh memorinya, dan itulah yang ia ingin tulis. Ia tentu saja memikirkan seks, karena ia berada di usia awal ‘20an, tapi tampaknya ia lebih sibuk memikirkan apakah ijazah Sastranya nanti bisa membuatnya dapat pekerjaan atau tidak. Pada saat yang sama, meskipun ia dibesarkan di desa muslim yang sangat konservatif di Jawa, ia tak mempercayai cerita semacam Ayat-ayat Cinta, ketika agama diasosiasikan dengan hidup yang sepenuhnya sempurna. Ia percayai Tuhan dan ia juga percaya agama membuat orang menjadi lebih baik, tapi agama juga yang membuat desanya memiliki dua masjid, yang biasanya akan saling bersaing setiap datang Ramadhan, dan mulai bertengkar ketika tiba saatnya Pemilihan Umum. Agama juga tak memberi penjelasan mengapa desanya miskin, sementara di Jakarta Presiden Suharto sedang merayakan keberhasilan Indonesia melakukan Swasembada Pangan. Dalam kehidupannya, menjadi muslim tak pernah sesederhana dengan beristri dua, seperti Fahri dalam Ayat-ayat Cinta. Menjadi muslim sama rumitnya dengan menjadi Jawa dan menjadi Indonesia, dan menjadi lebih rumit lagi jika kesemuanya berkumpul menjadi satu seperti yang terjadi padanya.

Lalu seorang bocah lain datang kepadanya pada saat yang tidak mungkin bisa lebih tepat lagi. Bocah itu, seperti dirinya, sama-sama dari desa, sama-sama miskin, sama-sama memiliki ayah cerdas namun tak selalu membawa pulang uang, sama-sama memiliki ibu yang penyayang namun sering uring-uringan karena uang belanjanya selalu kurang. Tapi yang paling serupa, dua bocah itu sama-sama menyukai hutan.

Bocah lain itu, Apurbo Roy namanya, atau biasa disebut Apu, ia temukan dalam Pather Phancali, cerita yang ditulis oleh seorang Bengali bernama Bhibhutibhusan Banerji—atau dalam sebutan lain Bandopadhyay. Dengan ejaan mana pun, nama pengarang itu terdengar sangat asing dan jauh, dan bocah kita, bocah Jawa yang hanya tahu bahasa Indonesia untuk membaca, selalu kesulitan untuk mengejanya. Tapi itu tak menjadi soal. Bengal dan Jawa hampir pasti pernah terhubung di masa lalu, dan kini terhubung kembali lewat perjumpaan dua bocah itu. Keduanya dengan segera menjadi teman karena begitu banyak hal yang sama yang bisa mereka bagi bersama.   

Singkat cerita, bocah itu telah menemukan prosa yang mengubah hidupnya. Pada Pather Panchali, bocah itu telah menemukan ceritanya sendiri. Pada kalimat-kalimat Banerji, bocah itu menemukan—memakai kalimat Banerji sendiri—bara api yang panas untuk menyalakan obornya sendiri. Pather Panchali telah membangunkan seorang novelis yang yakin dan keras kepala dalam dirinya: tentang apa yang ingin ia tulis; tentang bagaimana ia menulis. Dan sepuluh tahun sejak perjumpaannya dengan Apu, bocah itu menulis Ulid.

Ulid (2009), kata seorang kritikus sastra di Indonesia, adalah apa pun yang memunggungi sastra Indonesia setelah ‘98. Ia berbentuk bildungsroman, berkarakter utama seorang bocah laki-laki yang tumbuh dari kecil hingga besar, bercerita tentang desa dan masyarakat desa yang sedang berubah, dan menjadikan agama sebagai latar alih-alih tujuan. Ia juga tidak meromantisasi desa dan kemiskinan seperti novel-novel Indonesia tahun ’80an. Tapi karena tidak menyerupai novel mana pun yang sedang banyak dibaca dan dibicarakan di Indonesia, Ulid benar-benar tidak dibaca dan tidak dibicarakan.

Bocah itu terpukul dan sedih. Tapi ia tak bisa mundur lagi. Kopi sudah diseduh, dan ia harus meminumnya meskipun pahit. Ia sudah keluar dari pekerjaan kantorannya untuk sepenuhnya menjadi seorang novelis.  Dan ia memutuskan untuk menulis novel berikutnya.

Ia berpikir, novel keduanya harus laris, atau setidaknya harus menarik orang-orang untuk membicarakannya. Tak perlu bicara seks, cukup dengan kisah cinta. Mungkin perlu bercorak Islam, meskipun tidak harus bicara tentang agama. Dan pada saat yang sama, ia masih bisa menulis tentang desa, para peladang dan gembala seperti novel sebelumnya. Cerita semacam itu rupanya lumayan berhasil. Ia menang DKJ, sehingga namanya setidaknya akan disebut beriringan dengan Ayu Utami. Ia tidak bicara poligami, tapi adanya masjid, orang-orang yang salat dan puasa dalam cerita itu, membuat penggemar El Shirazy mau membacanya. Novel itu, tentu saja, tak membuatnya menjadi sangat terkenal, tapi sastra Indonesia kini mencatat namanya. Dan ia kini menjadi lebih santai untuk menulis cerita berikutnya.

Orang-orang menyebut, novel pertamanya terlalu bersih, sementara, novel keduanya terlalu manis. “Tak ada seks atau alkohol, hanya rokok saja,” kata seseorang kepadanya. Tentu saja, karena mereka belum tahu apa yang sedang ditulisnya di novel ketiga, yaitu kisah cinta seorang laki-laki pembunuh dengan perempuan murahan. Di situ mereka akan temukan seks, orang-orang teler, mulut-mulut kotor, asap rokok yang pekat, aroma kopi yang menyengat, juga musik dangdut dan musik India, dan orang-orang mati. Itulah cerita Dawuk dan Inayatun, sebuah Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu.

Bocah itu telah keluar dari jiwa kanak-kanaknya, dan sepenuhnya menjadi laki-laki dewasa pada umumnya, demikian orang-orang kemudian mengatakan. Tidak, ia masih di situ, masih dengan topi gembalanya, dengan cangkul peladangnya, dan dengan parang kecilnya untuk memotong ranting di hutan. Ia hanya mengeluarkan sisi lain dirinya, yang dibesarkan di pinggir hutan, menyaksikan bagaimana bapaknya dan paman-pamannya dibawa polisi hutan untuk dirampas kampaknya, karena “mencuri” satu-dua batang kayu.

Di novel berikutnya, lewat karakter bernama Warto, seorang pria putus asa yang menyaksikan begitu banyak kesakitan dan kekerasan di sekitarnya, ia menyibak sedikit lebih lebar sisi utara pulau Jawa, tempat Daendels membangun jalan di sepanjang pantainya untuk menopang tegaknya kekuasaan politik dan modal, dari sejak masa awal kolonial hingga hari ini; tempat yang juga memunculkan para bandit dan pendekar, dari sejak masa Majapahit sampai era Presiden Jokowi; tempat yang jadi saksi orang-orang kiri dibantai pada Tragedi ’65, dan para preman bertato ditembaki di luar hukum di jaman Suharto. Juga tempat bocah itu melihat dari dekat bagaimana orang bermigrasi ke negeri yang jauh, akibat tetesan ekonomi yang diatur negara tak sampai kepada mereka.

Lalu sisi lembut bocah itu tersentuh lagi ketika bocah India lain datang menjumpainya. Bocah itu bernama Swami, berasal dari Malgudi, konon dekat Mysore–atau Mysore itu sendiri. Tak seperti Apu yang anak desa, Swami adalah anak kota. Tapi, lagi-lagi, itu bukan masalah. Anak kota dan anak desa juga bisa berteman, sebagaimana bocah Jawa tentu bisa berteman dengan bocah Tamil. Toh mereka punya kesenangan dan masalah yang kurang lebih sama: terlalu serius dengan hal yang main-main, dan terlalu bermain-main dengan hal serius. Ketika menemukan Swami dan kawan-kawannya membentuk tim kriketnya, bocah itu dengan bersemangat menulis Isnan yang membangun tim sepak bolanya bersama teman-temannya dalam sebuah novel berjudul Bek.

Dua puluh lima tahun sejak ia mulai menulis ceritanya, dua dekade lewat sejak ia berjumpa dengan Apu, bocah itu kini berkesempatan datang ke India–negeri yang tidak hanya memberinya Amitabh Bachchan dan Lata Mangeshkar, tetapi juga Banerji dan Narayan. Tentu saja tidak ada Apu dan Swami di sana. Tak juga ada Banerji dan Narayan, karena mereka memang datang dari masa lalu. Tapi, sekali lagi, itu bukan masalah. Toh, ia berjumpa dengan kawan-kawan baru, kawan-kawan lainnya dari India.

Bocah itu kini bicara di depan Anda.

*Ditulis untuk Kalinga Literary Festival (KLF) ke-11, Mayfair Lagoon, Bhubaneswar, 21-23 Maret 2025.

Mahfud Ikhwan

Comments

  1. Ermansyah R. Hindi Reply

    Kerreen banget mas MI

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!