Judul : Semesta Maulana Rumi
Penulis : Abdul Hadi WM.
Penerbit : DIVA Press
Cetakan : Februari 2016
Tebal : 276 halaman
Peresensi : Ahmad Naufel
Balkh daerah pegunungan dan sebuah provinsi di utara Afganistan menjadi tanah kelahiran Maulana Jalaluddin Rumi, sufi agung Islam yang dikenal dengan ajaran cintanya. Memang agak kontradiktif, bahwa Afganistan dulu menjadi tempat sufi-sufi agung lahir, tetapi kini di tanah yang sama, amis darah akibat ekstrimisme yang menampik cinta dan kedamaian menyeruak. Cinta dinegasi dan tertelungkup di bawah nalar egoistik.
Bahkan, karena egoisme yang menggumpal pada diri bangsa Mongol, Rumi terusir dari udiknya, dia kehilangan kampung halaman atau lebih tepatnya kehilangan tempat nostalgia masa kecil. Dia mengembara. Di tengah pengembaraannya mencari tempat tinggal, Rumi kecil bertemu dengan seorang bajik sepuh bernama Fariduddin Attar. Attar mempunyai pandangan futuristik, dan memprediksi bahwa kelak Rumi akan menjadi suluh bagi penempuh jalan rohani.
Prediksi Attar sepenuhnya benar. Semenjak Rumi bersua Syamsi Tabrizi, jalan hidupnya berubah, dari seorang ahli hukum yang sibuk dengan urusan eksoteris menjadi seorang sufi yang tenggelam dalam esoterisme Islam. Sehingga, manuskrip ajaran cintanya terabadikan dalam Diwan Syamsi Tabrizi yang memuat lebih 40.000 puisi dan Matsnawi sekitar 25.000 puisi.
Cinta dalam diskursus sufisme menjadi langgam dari segala hal ihwal. Ia tak pernah sunyi dari perbincangan, meski terkadang cara mendapatkannya harus meringkuk dalam kesunyian. Itulah hakikat cinta, yang tak dapat diikat dalam definisi karena ia adalah sebuah proses. Sebagai sebuah proses, cinta membutuhkan pengalaman praksis untuk mencerap dan merasakan nikmatnya. Karena itu, bagi Rumi dalam “Yang Menerangkan Cinta Adalah Cinta Sendiri”: Pikiran akan gagal menerangkan cinta/Seperti keledai di lumpur; Cinta sendirilah pengurai cinta/ Tidakkah matahari yang menerangkan matahari?
Maulana Jalaluddin Rumi menjadi salah satu penggalak madzhab cinta dalam Islam. Hidupnya diabdikan semata untuk mereguk air kerinduan untuk memompa spirit cinta terhadap-Nya, agar terus mengalir tak lekang digerus waktu. Ia mengistilahkan cinta dengan ‘isyq. ‘Isyq adalah cinta dengan guratan kerinduan yang purba dan kadarnya lebih menggelora ketimbang hub.
Rumi membaginya jadi dua, yaitu ‘isyq haqiqi (cinta sejati) atau cinta terhadap Tuhan; dan ‘isyq majazi (cinta imitasi) atau cinta terhadap selain-Nya. Seorang salik yang menapaki jalan “cinta sejati” dirinya akan diantar pada gerbang esktase mistikal. Suatu keadaan di mana pada setiap segala sesuatu dipandang sebagai kehadiran-Nya. Dalam setiap getir, prahara, kebengisan maupun keriangan dicecap sebagai kenikmatan yang diberikan dari Sang Maha Cinta. Inilah cinta Ilahiah.
Mujadid mistik, Al-Hallaj, tak pernah gentar sedikitpun saat manatap tiang gantungan, ia malah menampakkan aura kegembiraan. Bahwa di tempat itu, cintanya akan tertambatkan dan termanifestasikan dengan sempurna, sebab perjumpaannya dengan Tuhan akan terpatri paripurna. Dengan demikian hidup seorang pecinta telah dilingkupi oleh “keamanan ontologis”. Sehingga dalam “Mati yang Mempesona” Rumi menjelaskan; Bagi musuh Tuhan mati adalah musuh/ bagi sahabat Tuhan mati adalah sahabat.
Rumi dilanda ekstase mistikal, hingga dalam tulisannya tersimpul metafor-metafor “kemabukan”, seperti anggur, kawan minum, arak, musik, kedai dan sebagainya. Karena bagi pencinta kemabukan turut serta melucuti eksistensi diri agar fana dalam Tuhan. Sementara ketenangan justru kian mengaktifkan kerja akal parsial manusia dan menghambat persenyawaan dengan Akal Universal (Tuhan).
Seperti Imam Al-Ghazali yang getol menyerang filsuf, Rumi pun demikian, filsuf menjadi sasaran kritiknya. Kritik itu tertuang dalam “Orang yang Ragu”: Mungkin ia mengaku beriman, namun perangainya/seperti filsuf kadang-kadang membuat wajahnya/ muram. Narasi akal parsial terpampang di jagat para filsuf. Di mana spektrumnya meluber sebagai serpihan-serpihan ajaran tak utuh. Karena upaya menggapai Akal Universal dengan olah otak hanyalah ilusi.
Akal parsial telah menjadi biang keladi tumbuhnya kebengisan, keangkuhan dan kerusakan karena kabut nafsu yang menyelimutinya. Syahdan, Tuhan disembah hanya untuk memenuhi formalitas ritualistik agama. Sementara, hakikat ajaran agama yang berpijak pada kedamaian tertanggalkan. Padahal, agama bak oase di tengah gurun pasir, yang dapat menghilangkan dahaga dan memberi ketudahan bagi para karavan. Ia akan memberi ketenangan jika diambil substansinya.
Dalam lingkaran madzhab cinta formalitas agama terlampaui dan sepenuh-penuhnya tenggelam dalam intisarinya. Sebab, bentuk luar agama hanyalah remahan partikularitas yang dapat menyorong umat manusia pada kawah sektarianisme. Maka Rumi mendedahkan “bagiku tempat ibadah adalah sama, masjid, gereja, atau tempat berhala-berhala”. Dia telah membangun hubungan damai lintas agama, dan membentengi keimanannya agar tak pernah goyah.
Gugus dogmatisme eksklusif dengan demikian sirna, lenyap dan lebur menjadi doktrin transformatif yang bernapaskan cinta. Pluralitas diafirmasi. Sedangan homogenitas tersisihkan. Konsepsi keimanan tidak lagi bersendikan subjek “aku”. Karena “aku” menyimpan hasrat (desire) dari keangkuhan nafsu. Keakuan semata-mata lenyap dan tertransendensikan menjadi Aku Universal. Karena dari situlah, keakuan kita, kedirian kita, eksistensi kita dan personalitas kita berasal. Maka yang berhak menyeru “aku” adalah Tuhan.
Rumi telah mengajarkan kita mengarifi semesta dengan dengan pandangan cinta. Buku Semesta Maulana Rumi ini merupakan puisi-puisi Rumi yang dipungut dari hasil terjemahan A. J. Arberry dan Reynold A. Nicholson. Sayangnya, buku ini hanya berupa untaian puisi tanpa interpretasi dan elaborasi lebih jauh. Sehingga bagi pembaca yang miskin cita rasa sastawi akan sulit memahami karena penuh dengan matafor-metafor ala kaum mistik.
- Nestapa Jalur Rempah - 8 December 2016
- Jalan Cinta Jalaluddin Rumi - 16 May 2016