Sepenggal narasi kolonialisme tercipta dari sini, dari pencarian akan “aroma surgawi” rempah. Rempah menjadi magnet yang mengundang bangsa Eropa berarak datang ke negeri Timur Jauh (Maluku), yang diyakini sebagai tempat pala (myristica fragrans) dan cengkih (syzygium aromaticum) berasal. Mereka rela melawan keganasan badai dan amukan gelombang samudra, hanya demi rempah. Komoditas ini begitu agung dan mulia. Sehingga, pelayaran memburu rempah adalah bentuk manifestasi hasrat yang tak tertangguhkan.
Jalur Rempah terbentuk, menandingi kemasyhuran Jalur Sutera. Menghasilkan goresan penundukan dan gebyar kegemilangan. Meninggalkan narasi historis tentang kolonialisme, sekaligus membangkitkan gelora nasionalisme. Setidaknya, dari sinilah embrio nasionalisme terbentuk. Melahirkan imajinasi persatuan, sebagai bentuk manifestasi perlawanan terhadap politik pecah-belah (devide et impera) Belanda, yang ingin mengeruk kekayaan bumi nusantara.
Di dalam sebuah sajaknya “Jembatan Rempah-Rempah”, Afrizal Malna menarasikan: Bawang putih. Cabe. Cengkih. Cendana/ Damar. Temu tis. Vanila. Wijen. Jembatan Diogo Lopes/ de Mesquita ke darah Ternate. Gaharu. Gambir/ Kesumba. Ketumbar. Kunyit. Lada/ Jembatan api/ yang terus mengirim kapal ke arsip-arsipmu. Dalam arsip sejarah Indonesia, komoditas rempah menempati posisi vital dalam menentukan arah imperialisme bangsa-bangsa Eropa.
Tetapi, jauh sebelum bangsa-bangsa Eropa beradu kuasa di kepulauan rempah, para pedagang pribumi telah membangun afiliasi dagang jarak jauh dengan Tiongkok, Bizantium, dan Gujarat. Karena pada zaman Dinasti Han di Tiongkok (206 SM-220 M) telah terdapat cengkih yang digunakan untuk menyegarkan napas orang-orang istana. Sementara pada tahun 565 M, di Bizantium pembaluran Kaisar Justinian menggunakan balsam dan ratusan rempah-rempah.
Jalur Rempah (Spice Road) adalah istilah yang tercipta karena komoditas utama yang diperdagangkan adalah rempah-rempah. Jalur Rempah tak hanya sekadar bermakna afiliasi dagang, namun juga menyimpan nilai historis yang berkelindan dengan budaya, agama, dan politik.
Di sejumlah wilayah, rempah diasosiasikan dengan erotisme dan kemegahan. Bahkan, rempah mengandung korelasi magis dan sakralitas. Bagi bangsa Eropa di abad pertengahan, pala dan cengkih dijadikan bahan aromatik untuk menangkal wabah pes, yang dikenal dengan Black Death, yang secara drastis sempat menurunkan jumlah populasi penduduk Eropa kala itu.
Gambaran imajiner surga juga tidak lepas dari kehangatan dan wangi rempah. Wanginya yang semerbak, dan rasanya yang menggugah selera membikin rempah sebagai komoditas yang mulia. Maka dalam konteks sosio-kultural, rempah menunjukkan identitas, derajat, dan status seseorang. Sehingga, hanya kalangan bangsawan dan saudagar kaya yang bisa menikmatinya.
Inilah yang membikin Portugis, Belanda, Inggris, Prancis, dan Spanyol bergerak melempar sauh, melarungkan kapal-kapal hebat, dan mengorbankan pelaut-pelaut ulung mereka hanya untuk menemukan kepulauan rempah. Pulau Banda, Ai, Tidore, Ternate, Jailolo, dan Run adalah “sepotong surga” yang mereka cari. Gugusan pulau yang tidak eksotis dengan tebing-tebing pantai berbatu, seolah tidak memungkinkan bahtera berlabuh di sana, tetapi di tempat itulah kehangatan rempah terdapat.
Adalah Afonso de Albuquerque, yang memancang rute untuk menemukan pulau rempah. Setelah menaklukkan Kerajaan Malaka, mereka berlayar ke timur jauh hingga berlabuh di Kepulauan Maluku, tempat cengkih dan pala berasal. Inilah awal kolonialisme yang menaburkan kesengsaraan dan penderitaan bagi masyarakat pribumi.
Jack Turner (2011) dalam Sejarah Rempah: Dari Erotisme Hingga Kolonialisme menyitir bahwa hanya demi rempah, kas Kerajaan Spanyol terkuras dan mengalir ke luar, memenuhi pundi-pundi Kerajaan Portugal. Hingga penyokong dana utama ekspedisi Cristopher Colombus, Raja Ferdinand, mengeluh agak nyinyir “Mari kita akhiri semua itu, bawang putih sudah cukup untuk kita”. Bukan hanya dana yang digelontorkan, tetapi sumber daya manusia juga turut dikorbankan.
Kisah penjelajahan di jalur rempah penuh dengan elegi. Betapa tidak, Pulau Run sebagai penghasil pala diperebutkan oleh berbagai kerajaan Eropa. Kongsi dagang Inggris The East India Company (1599) berebut keuntungan ekonomi dengan rivalnya kongsi dagang Belanda Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Genderang perang ditabuh hanya karena eksotisme rempah. Inggris, Belanda, dan penduduk asli Banda adalah pihak yang terlibat dalam kekejaman, intrik, dan kelicikan.
Belanda membakar pohon-pohon pala di Pulau Run. Hingga Inggris menuntut ganti rugi, dan Belanda memilih Manhattan (New York) untuk ditukar dengan Run. Inilah narasi kelam yang tergurat dalam sejarah rempah.
Masa keemasan jalur rempah seolah telah layu dan lapuk. Lempeng-lempeng sejarah jalur rempah hanya berupa artefak nostalgia yang dikenang sebagai petaka imprealisme. Impresi tentang kejayaan terlupakan dan hanya menjadi puing-puing sejarah yang berserakan. Padahal, justru dengan mengembalikan jalur rempah pada lorong keemasannya, niscaya kita akan menyongsong zaman keemasan bangsa ini.
Seperti Tiongkok yang sedari awal menyadari bahwa Jalur Sutra merupakan kekuatan yang menopang kegemilangan dan kemajuan negara tersebut. Tiongkok begitu gencar membangkitkan kembali khitah Jalur Sutera. Diplomasi budaya digalakkan, perdagangan lintas negara gencar digelorakan hingga negosiasi politik kembali ditempatkan pada ihwal yang utama.
Derasnya arus modernisasi tidak membikin Jalur Sutra ditinggalkan dalam kepurbaannya. Tiongkok malah merevitalisasi spirit yang terpendam di dalamnya. Sehingga, sudah saatnya jalur rempah dihidupkan kembali dengan mengenalkan identitas peradaban nusantara bagi dunia internasional. Visi pelayaran maritim yang mengikuti rute Jalur Rempah harus dihidupkan, agar peradaban bahari kita mengekal dan spiritnya bisa didaur ulang oleh para generasi-generasi berikutnya.
Di samping itu, setidaknya kesadaran kita bisa tergugah bahwa segala yang instan dan cepat sebagai produk modernitas harus sesekali “diperlambat” dengan menawarkan cita rasa rempah dalam kuliner. Karena apa pun bentuknya, makanan cepat saji (fast food) adalah bentuk penjajahan yang dapat meruntuhkan kuliner pribumi yang memiliki cita rasa rempah nan kuat.
Memang, kita musti masygul dan meratapi sejarah dengan pandangan yang visioner. Bukti historis kejayaan kemaharajaan maritim Sriwijaya merupakan dasar autentik tentang kuatnya Jalur Rempah dalam membentuk konektivitas perdagangan dan budaya antarperadaban di dunia. Secara implisit, berkat kekuatan rempah bangsa Eropa dan Asia dirajut dalam satu hasrat yang sama. Melahirkan kosmopolitanisme peradaban dan meninggalkan hibridasi kebudayaan.
Hanya saja, kini, Indonesia bukan lagi surga rempah yang memikat berbagai bangsa untuk datang mencarinya. Produksi komoditas ini, sudah mengalami penurunan secara drastis. Inilah bentuk kegagalan merawat jejak penting dalam sejarah bangsa ini. Minimnya produksi rempah akan berdampak pada keroposnya substansi spirit yang terkandung di dalamnya. Padahal, sejarah panjang kolonialisme dan mekarnya rasa nasionalisme lahir dari pedasnya rasa rempah-rempah.***
- Nestapa Jalur Rempah - 8 December 2016
- Jalan Cinta Jalaluddin Rumi - 16 May 2016