1 Cerita 4 Lagu Nelangsa

1 Cerita 4 Lagu Nelangsa - Cerpen Terbaik BASABASI.CO
pinimg.com

Undangan Palsu

Barangkali inilah peristiwa yang hanya terjadi satu kali dalam rentang waktu seratus tahun: karena sebuah undangan palsu, seseorang datang ke sebuah pernikahan dan menemukan kekasihnya duduk sebagai mempelai.

Itulah yang dialami oleh Bang Caca. Ada dua kemungkinan mengapa Bang Caca bisa datang di acara pernikahan kekasihnya, sekali lagi; kekasih, bukan mantan, apalagi selingkuhan.

Kemungkinan pertama, Bang Caca adalah lelaki baik, lelaki baik-baik. Ketika menerima undangan pernikahan dari seorang perempuan bernama Salamah, nama yang tidak dikenalnya, sama seperti nama mempelai pria yang juga tidak dikenalnya, ia langsung memikirkan hadiah apa yang pantas untuk diberikan. Ia tak bertanya kepada pengantar undangan tentang siapa yang menikah. Ia juga tak bertanya dulu kepada teman-temannya atau tetangganya siapa mempelai yang tertera di undangan itu. Padahal, bagi sebagian orang mungkin akan bertanya siapa yang mengundang; apakah pernikahannya layak didatangi atau tidak. Diukur sedekat apa pertemanannya, dan bahkan kemungkinan, bagi mereka yang belum menikah dan mulai suka itung-itungan, akan dipertimbangkan: apakah kelak si pengundang ini akan datang atau tidak ketika kelak mereka menikah? Bukankah kondangan dalam pernikahan telah lama menjadi perihal utang-piutang?

Tapi, semua itu tak menjadi pertimbangan bagi Bang Caca. Begitu mendapatkan undangan, ia langsung mencari hadiah apa yang tepat. Ia kemas baik-baik hadiah itu dalam sebuah kado yang dibuat serapi dan seindah mungkin hingga seolah-olah bungkusnya terlalu sayang untuk dikoyak hanya untuk mengambil isinya.

Namun, sebelum bungkus kado itu koyak, dada Bang Caca terkoyak terlebih dulu ketika melihat mempelai perempuan yang duduk di pelaminan. Apa pasal? Salamah, nama mempelai perempuan yang tertera di undangan, ternyata adalah kekasihnya. Lha kok bisa? Sebelum saya ceritakan mengapa hal ini bisa terjadi, saya uraikan dulu kemungkinan kedua, yang mengarah kepada akhir cerita yang sama juga.

Kemungkinan kedua, Bang Caca adalah seorang kawan yang baik, seorang yang baik pada seluruh kawannya. Ia mungkin menerima undangan dari salah seorang temannya yang akan menikah dengan seorang perempuan bernama Salamah. Seorang teman yang tidak tahu bahwa Salamah adalah kekasih Bang Caca. Tentu, sebagai teman yang baik, ia langsung memikirkan hadiah apa yang mampu mengungkapkan perasaannya yang turut berbahagia mendapat kabar pernikahan itu. Setelah mendapatkan barang yang tepat ia menuliskan sesuatu: “Bila kalian sedang bertengkar, tolong pukul saja hadiahku ini. Jangan yang lain. Dan jangan berebutan untuk memukulnya, gantian saja, kapan dan di mana pun boleh dipukul.” Tidak, dia tidak menghadiahkan bantal atau sesuatu yang empuk lainnya. Ia memberi hadiah satu paket piring dan gelas kaca. Barang-barang yang pasti tidak akan dipukul oleh kedua mempelai kecuali mereka menginginkan tangannya berdarah.

Sebelum piring dan gelas itu dipecahkan entah dalam pertengkaran rumah tangga yang keberapa, isi dada Bang Caca telah pecah lebih dulu. Pada hari pernikahan itu, Bang Caca baru sadar kalau tengah dibohongi kekasihnya; Salamah-yang-bukan-Salamah. Kekasihnya—yang sampai lagu berakhir tidak disebutkan namanya—menerakan nama palsu di undangan pernikahannya. Tentu, ini sedikit janggal, tetapi karena ini lagu dangdut, boleh lah, sebab sesedih apa pun liriknya kita masih dibolehkan bergoyang sepanjang nyawa tak melayang. Dan sebuah lirik lagu dangdut memang sering kali menyilakan kita untuk merenung setelah lelah bergoyang tentang peristiwa apa yang sebenarnya telah dinyanyikan?

Meskipun janggal, peristiwa ini menarik untuk ditelisik sebab Salamah-yang-bukan-Salamah ternyata masih memikirkan Bang Caca dan mengharapkan kehadiran pria berkumis itu di hari pernikahannya. Begitu besar hasrat sang mempelai perempuan agar kekasihnya itu datang ke resepsi pernikahannya sehingga Salamah-yang-bukan-Salamah merencanakan sesuatu yang mungkin tak berani dilakukan oleh mempelai perempuan mana pun yang masih mencintai kekasihnya sementara ia akan menikah dengan lelaki lain. Ya, Salamah-yang-bukan-Salamah khusus menyediakan satu undangan dengan nama palsu yang hanya dikirimkan kepada Bang Caca, kekasihnya yang belum mampu diputuskannya hingga ia menikah.

Bayangkan kamu menjadi Salamah-yang-bukan-Salamah—untuk yang lelaki boleh membayangkan dalam posisinya saja, tak perlu membayangkan sampai menjadi mempelai perempuan segala—apakah di antara banyak dan ribetnya urusan pra-nikah kamu sempat memikirkan ide membuat undangan palsu untuk sang kekasih? Itu baru tahap memikirkan, bayangkan kamu harus pula ke percetakan undangan, memesan desain dengan memalsukan namamu yang otomatis membuatmu memikirkan beberapa nama untuk dipilih, dan harus menanggung biaya yang besar karena tidak boleh mencetak satu undangan. Ke mana pula sisa undangan palsu yang tak dikirimkan?

Mungkin saja kamu pintar CorelDraw dan bisa mendesain sendiri undangan palsu itu, apakah kamu sanggup membuatnya tanpa perasaan sakit dan sedih yang dalam? Selain itu, apakah kamu juga yakin kekasihmu itu akan datang bila mendapatkan sebuah undangan yang nama mempelainya tak ia kenal?

Maka, sekali lagi, kedatangan Bang Caca di hari pernikahan kekasihnya karena sebuah undangan palsu barangkali termasuk salah satu peristiwa ajaib di dunia yang hanya terjadi sekali dalam rentang waktu satu abad.

Dan cerita belum berakhir sampai di situ sebab dalam lagu yang lain kisah berlanjut.

 

Mandi Kembang

Kalau saja aku tahu Salamah itu namamu…. Bang Caca mengeluh, namun di antara keluhan itu ia merenung: betapa di atas pelaminan kekasihnya itu masih menatapnya lekat seperti tak ingin dilepaskan dari pandangannya. Tatapannya seolah uluran tangan yang memelas, memohon dibawa lari. Ia mulai membayangkan kemungkinan adanya cinta sepihak dan perjodohan dalam tangan orang tua. Bukankah itu jamak terjadi dalam lagu cinta?

Apakah pernikahan itu memang diinginkan kekasihnya? Adakah benar Salamah-yang-bukan-Salamah mengundang kehadirannya sekadar untuk menyakiti hatinya? Rasanya tidak, sepanjang perjalanan cinta mereka, ia tak pernah membuat perempuan itu cemburu apalagi sampai terluka. Tak mungkin seseorang membuat orang lain terluka kecuali orang itu sedang iseng atau orang yang jahat. Ia haqqul yaqin Salamah-yang-bukan-Salamah bukanlah perempuan yang suka iseng apalagi jahat.

Maka, dengan keberanian yang tercermin dari kumisnya—seperti bentuk kumis yang dimiliki beberapa polisi di negeri ini—ia berencana menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi pada pernikahan kekasihnya. Mula-mula ia bertanya ke sejumlah temannya, tapi melihat gelagat yang mencurigakan darinya yang hendak mengganggu kehidupan rumah tangga seseorang, semua kawannya memilih diam dan menghindar.

Bang Caca tak kurang akal. Ia mendatangi sejumlah tempat yang dulu biasa mereka kunjungi untuk berpacaran. Siapa tahu bila Salamah-yang-bukan-Salamah masih mencintainya pasti akan berkunjung ke salah satu tempat ini: warung bakso terminal angkot, bantaran rel kereta sebelah stasiun, waduk buatan bekas penampungan sampah, dan tanggul tepi sungai. Namun, di semua tempat itu ia tak menemuinya.

Sampai keajaiban datang melalui sebuah pesan pendek dalam secarik kertas yang dititipkan kekasihnya kepada orang yang baru disadari Bang Caca sebagai pengantar undangan palsu yang dulu. Sayangnya orang itu telah pergi jauh ketika ia hendak bertanya lebih jauh.

“Demi maafmu, tiap tengah malam aku mandi kembang, Bang,” demikian bunyi pesan pendek itu.

Sebab pesan pendek itu lalu terjadi lagi keanehan dalam lagu yang dinyanyikan Bang Caca berikutnya: mandi kembang tengah malam jangan kau lakukan kalau hanya mengharap maaf dariku. Apa hubungannya mandi kembang tengah malam dengan permintaan maaf? Bukankah itu justru membahagiakan pasangan hidup yang mungkin akan terbangun oleh wangi kembang sehabis mandi?

Tapi demikianlah yang terjadi hingga Bang Caca rela menghabiskan tengah malamnya selama hampir satu tahun hanya dengan duduk di tepi selokan, yang dialiri saluran pembuangan air dari rumah tangga Salamah-yang-bukan-Salamah dengan suaminya, sambil menyinarinya dengan senter yang dibawanya. Dan benar, tiap tengah malam, antara pukul 00.18–00.45 ia selalu melihat kembang tujuh rupa mengalir di selokan yang ditungguinya.

Setiap kali melihat kembang-kembang yang disinari senternya itu mengalir, dada Bang Caca berdesir. Perasaannya teraduk antara bahagia dan sedih. Bahagia karena tahu Salamah-yang-bukan-Salamah masih mencintainya, dan sedih karena ternyata ia tak bahagia dengan suaminya.

Ia remas kembang-kembang di selokan itu, seolah-olah tangan kekasihnya, dan berkata: walau dirimu dan cintamu kini sisa orang, namun kedua tanganku rela menerima. Ia mengusap kembang-kembang itu ke wajahnya dan mengharap: kembalilah, kembalilah andai kau tak bahagia, diri ini pun tak rela membiarkanmu tersiksa! Ia berharap angin tengah malam menyampaikan harapannya sebab ia tahu Salamah-yang-bukan-Salamah masih terjaga, mungkin sedang mengeringkan rambutnya sebelum rebah.

Gantungan Baju

Sebenarnya Salamah-yang-bukan-Salamah tidak mendengar harapan Bang Caca, tapi ia mampu merasakannya. Maka, ia mengajukan gugatan cerai kepada suaminya. Dan tak berapa lama setelah resmi bercerai, ia berani menemui Bang Caca untuk meminta maaf.

Sebab telah lama rindu ditimbun, sebab telah lama perasaan dipendam, mereka tak banyak berkata-kata ketika bertemu. Tatapan mereka telah banyak bercakap, genggaman tangan mereka telah banyak mengungkapkan perasaan.

Maka, dengan tangan masih terus bergenggaman, mereka mendatangi percetakan undangan tempat dulu Salamah-yang-bukan-Salamah membuat undangan palsunya. Kini, nama aslinya diterakan dalam undangan pernikahannya bersama Bang Caca.

Sebagaimana umumnya pernikahan, maka tak perlu saya jelaskan betapa bahagianya mereka. Sebagaimana umumnya masa awal pernikahan, maka saya pun tak perlu menjelaskan dengan berlebihan bagaimana kemesraan mereka.

Apa yang perlu diungkapkan—agar kita semakin mengerti dan turut berempati pada nasib Bang Caca dalam soal cinta—adalah belum genap satu tahun menikah Salamah-yang-bukan-Salamah sering pergi dari rumah kontrakan mereka. Ia sering pergi tanpa pamit. Tak meninggalkan pesan apa pun. Ini membuat Bang Caca jengkel karena harus bertanya kepada para tetangga ke mana arah pergi istrinya. Alih-alih mendapati rasa simpati dari tetangga, seringnya ia malah dianggap sebagai suami yang kurang bertanggung jawab hingga istrinya sering ngeloyor tanpa permisi.

Ketika ditanya mengapa sering pergi, istrinya menjawab: “Di rumah panas, Bang.” Kenapa pergi tanpa pamit, istrinya menjawab dengan pertanyaan: “Apa kalau pamit diizinkan?” Bang Caca kesal, tapi ia hanya bisa memukul tembok yang membuatnya kesakitan. “Apa salahku?” tanya Bang Caca, istrinya menjawab: “Sudah tahu tembok dipukul.”

Beberapa kali istrinya pergi ke rumah teman sekolahnya yang masih lajang. Namun, seringnya istrinya pulang ke rumah orang tuanya dan ia harus menjemputnya. Setiap kali menjemput ia selalu dimarahi mertuanya, dan dikatakan kalau anaknya tak betah tinggal di rumah kontrakan, dan ia disalahkan juga karena istrinya bertambah kurus.

Tiap kali istrinya pulang ke kontrakan, Bang Caca sering kali mendengar perkataan-perkataan yang dulu tak pernah dibayangkannya akan keluar dari mulut kekasihnya itu, seperti: “Setelah menikah, aku baru tahu kalau Abang itu pantasnya cuma jadi pacar saja, bukan suami, bahkan bedak pun aku harus beli sendiri.” Bang Caca adalah orang yang malas berkata-kata, selain karena kumisnya terlalu berat untuk diangkat saat akan berkata, ia juga lebih ingin menjawab setiap perkataan orang-orang dengan tindakannya daripada ucapannya. Maka, ia bersungguh-sungguh berusaha dalam setiap tindakannya untuk menjadi suami yang baik lagi bertanggung jawab.

Namun, usahanya tak kunjung berbuah hingga pada suatu hari ketika ia pulang ke rumah kontrakannya, ia tak menemukan bedak istrinya di atas meja rias. Dan ketika ia buka lemari, yang tersisa hanya gantungan baju istrinya.   

 Angka Satu

Pada akhirnya Bang Caca kembali hidup sendiri, serba sendiri dalam melakukan apa pun dari memasak, makan, cuci baju, hingga tidur. Ia hidup bagai angka satu, dan hanya mampu bernyanyi sekaligus bertanya kepada bintang-bintang di langit: ke mana harus ke mana, diriku membuang sepi yang selalu menyiksa diri?

Dalam setiap puncak kesendiriannya Bang Caca ingin membuang sepi, tapi ia trauma pada cinta. Meskipun sangat ingin bercinta lagi seperti dulu, seperti sebelum menikah, tapi ia takut gagal lagi seperti pernikahannya. Salamah-yang-bukan-Salamah yang amat dikasihinya justru menjadi perempuan yang membuatnya takut jatuh cinta lagi.

*Cerita di atas disusun berdasarkan 4 lagu Caca Handika yang judulnya masing-masing dijadikan sub-judul. Adapun kalimat-kalimat yang dimiringkan dikutip dari lirik keempat lagu terkait.

Asef Saeful Anwar
Latest posts by Asef Saeful Anwar (see all)

Comments

  1. Prawiro Supardi Reply

    Ceritanya mengalir dan bagus banget.
    Menghibur. Keliaran imaginasi penulis saya kasih semua jempol yang melekat di sini dan di sini.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!