Eksperimentasi Bentuk atau Isi?

dailymail.co.uk

Pada mulanya cerpen adalah bentuk, bukan isi. Ia menjadi cerpen sebab bukan novel, bukan puisi, bukan pula naskah drama. Dalam hal isi, ia bisa saja sama dengan ketiganya, tapi dalam bentuklah ia menjadi cerpen.

Tapi, apakah cerpen adalah sekadar bentuk? Apakah bentuk hanyalah sekadar? Tidak sesederhana itu. Bahkan, pembicaraan mengenai cerpen lebih didominasi mengenai bentuknya daripada isinya. Sebagai bentuk, ia telah banyak dirumuskan oleh para ahli sastra dan sastrawan. Pembicaraan masalah bentuk, yang hampir selalu dikembalikan pada definisi cerpen, ini kemudian menjadi pedoman penulisan dan diamini sebagai teori penulisan cerpen. Beberapa orang pun menulis cerpen berdasarkan panduan teori tersebut.

Mereka yang menulis cerpen dengan teori penulisan sejatinya tengah melakukan eksperimen pribadi bagi proses kreatifnya, sebuah percobaan untuk menguji apakah teori tersebut sahih atau tidak. Menariknya, cerpen-cerpen yang dianggap berhasil, yang beberapa di antaranya disebut eksperimental, justru yang sudah melampaui teori penulisan. Mengapa bisa seperti itu?

Analogi pada cara kerja ilmiah berikut ini mungkin terlalu dipaksakan, tapi dapat sedikit memberi jawaban. Pengujian sebuah teori dapat ditempuh melalui dua cara, yakni verifikasi dan falsifikasi. Secara sederhana verifikasi mengacu kepada usaha membuktikan kebenaran sebuah teori, sedangkan falsifikasi berlaku sebaliknya, berusaha menggugurkan sebuah teori. Mereka yang menulis cerpen dengan panduan teori penulisan secara tidak langsung sedang membuktikan kebenaran teori penulisan yang digunakannya, bahwa karya mereka disebut cerpen karena sesuai dengan apa yang dikatakan dalam teori. Sementara mereka yang menulis tanpa panduan tengah menyanggah teori penulisan yang ada, bahwa apa yang mereka tulis tetaplah cerpen meskipun tidak sesuai dengan ciri-ciri yang diuraikan dalam sebuah teori.

Keduanya sama-sama tengah melakukan eksperimen, tetapi yang pertama cenderung membuat sebuah teori stagnan yang akan menjalar pada hasil yang begitu-begitu saja, sedangkan yang kedua akan membuat teori berkembang yang akan menghasilkan karya-karya yang inovatif dan segar. Dengan demikian, meskipun sama-sama melakukan eksperimen, daya eksperimental yang kuat justru terletak pada cerpen-cerpen yang berusaha membuktikan kesalahan teori panduan penulisan. Bahwa ada kemungkinan bentuk cerpen yang lain dari bentuk yang telah jamak dan jumud dipraktikkan.

Apa yang perlu dicatat dan diingat adalah: baik mereka yang menulis untuk membenarkan maupun yang hendak menggugurkan, sama-sama telah mengerti teorinya. Keduanya telah khatam teori, hanya berbeda dalam cara memanfaatkannya, antara menyambut dengan melawan. Muskil kiranya mengharapkan seseorang menulis cerpen dengan daya eksperimental yang kuat apabila ia belum pernah mengerti teori penulisan cerpen, atau minimal teori menulis sastra secara umum. Bagaimana mungkin ia akan menyanggah bila tak tahu apa yang hendak disanggah?

Lalu di manakah sebaiknya sifat eksperimental pada sebuah cerpen diletakkan? Pada bentuknya atau pada isinya?

Selama ini, eksperimentasi pada bentuk cerpen yang paling kentara dapat dilihat pada cerpen koran. Semula ia terbentuk karena keterbatasan ruang atau kolom dalam surat kabar yang membatasi penggunaan jumlah kata dalam penulisan cerpen. Lama-kelamaan sejumlah orang memberikan definisi cerpen dengan mengacu pada banyaknya jumlah kata sesuai aturan pemuatan dalam koran. Majalah sastra, seperti Horison, yang sejatinya dapat memberikan ruang yang lebih luas, juga akhirnya turut menampung cerpen dalam batasan serupa itu.

Dengan ruang yang terbatas seperti itu, beberapa penulis menyiasati bentuk cerpen dengan mengambil jenis tulisan yang lain, seperti SMS, puzzle, diary, surat, soliloque, dan beberapa jenis tulisan lain yang dengan ukuran yang pendek. Artinya, mereka bereksperimen pada teknik dan gaya penceritaan karena tidak ada kemungkinan bentuk—dalam hal ini panjang cerpen—yang lebih luas. Dengan mengacu pada jenis tulisan yang lain, maka telah terjadi falsifikasi pada teori cerpen secara umum. Bila sebuah cerpen menggunakan jenis tulisan lain sebagai salah satu teknik bercerita, ia haruslah tetap sebagai cerpen, bukan sebagai bentuk tulisan yang sedang diacu tersebut. Kita bisa saja menulis cerpen dengan bentuk naskah stand-up comedy, tapi ia tidak memiliki nilai sastra bila ia lebih berhasil untuk dipanggungkan daripada untuk dibaca, sebab apa yang kita tulis, meskipun mengacu kepada jenis naskah lain, ia haruslah tetap cerpen, bukan naskah stand-up comedy.

Jadi kita boleh bereksperimen dalam hal bentuk? Boleh, dan bisa, tapi perlu diingat, seperti telah disiratkan dalam pertanyaan di paragraf kedua tulisan ini, bentuk cerpen tidaklah sekadar bentuk, ia memiliki makna sekaligus tuntutan bagi kepiawaian menulis. Seperti halnya banyak puisi gagal dan hanya berhasil dari segi bentuk, dalam arti tipografinya saja yang ditata sebagaimana umumnya puisi, cerpen pun demikian, ketika ia hanya “berbentuk” cerpen tapi tidak mengandung sesuatu yang bernilai. Isi sebuah cerpen, dengan demikian, haruslah bernilai, terutama dari segi estetika.

Bila dalam eksperimentasi bentuk ada verifikasi dan falsifikasi, eksperimentasi isi cerpen cenderung pada berlakunya falsifikasi: meruntuhkan apa yang selama ini dipegangteguhi sebagai teori. Secara garis besar, isi sebuah cerpen terdapat dalam tema, tetapi secara detail, ia menyangkut pula pada peristiwa, tokoh, sudut pandang, dan latar yang ada di dalamnya. Untuk tema, eksperimentasi isi amat ditentukan oleh ide utama apa yang hendak dituangkan oleh penulisnya. Daya eksperimentalnya terletak pada (1) cara pandang yang baru terhadap sebuah tema atau (2) mengangkat tema yang belum banyak dibicarakan dalam cerpen.

Untuk yang pertama misalnya tema religiositas dulu banyak mengangkat hubungan manusia dengan Tuhannya, kemudian berlanjut pada hubungan sosial penganutnya, dan masih dapat dikembangkan pada psikologi para penganutnya. Sementara untuk yang kedua, tema yang belum jamak dibicarakan, dapat diambil dari apa yang selama ini dilarang: mengandung unsur SARA dan pornografi. Yang terakhir ini masih banyak yang belum berani mencobanya karena adanya aturan sosial di luar karya sastra, sementara yang pertama telah banyak dilakukan dengan mengangkat tema-tema, seperti mengenai revolusi, lokalitas, kehidupan urban, menyoal tabu, dan lain sebagainya yang menyiratkan pembaharuan pada tema yang tengah tren di zamannya.

Bila eksperimen isi pada tema sulit dilakukan, penulis dapat melakukan eksperimen pada detail isi cerpen. Ia dapat membuat sebanyak mungkin peristiwa dalam sebuah cerpen yang saling berkaitan dengan alur yang terjaga suspense-nya demi menentang aturan umum bahwa cerpen hanya fokus pada satu peristiwa. Ia dapat mengembangkan watak seorang tokoh di dalam cerpennya, dari awal hingga akhir cerita, untuk menentang pendapat umum bahwa cerpen mustahil mengembangkan watak tokoh pengisinya. Dalam cerpennya ia juga dapat menyuguhkan beragam sudut pandang, dari manusia, makhluk lainnya, hingga benda-benda mati, guna melawan kebiasaan umum cerpen yang hanya menyuguhkan satu sudut pandang. Ketiganya hanya sekadar contoh, masih banyak detail isi yang lain yang dapat dijadikan bahan eksperimen. Syaratnya logika cerita harus tetap terjaga sehingga tidak menjadi cerita yang semena-mena, tidak menjadi cerita yang sekadar coba-coba, sebab eksperimen adalah percobaan yang sistematis dan sungguh-sungguh.

Pemisahan antara bentuk dan isi dalam uraian di atas hanyalah usaha untuk memerikan masalah. Sejatinya bentuk dan isi saling berpengaruh, dan sulit dipisahkan. Ketika sebuah bentuk dipilih terlebih dulu, maka isi yang akan dituangkan harus disesuaikan. Begitupun sebaliknya, ketika isi dipilih terlebih dulu, bentuk yang nanti digunakan harus menyesuaikan. Bila tidak ada kesesuaian, eksperimen akan menjadi mentah.

Bagaimana menanggapi lomba cerpen eksperimental yang diadakan basabasi.co? Saya menyarankan untuk bereksperimen dalam isi. Mengapa? Syarat perlombaan mengharuskan cerpen terdiri dari 20–30 halaman sementara eksperimentasi bentuk lebih banyak berhasil pada ruang yang terbatas daripada ruang yang luas seperti yang disediakan lomba tersebut. Untuk cerpen yang panjang, amat sulit memainkan bentuk. Apalagi jika hendak merujuk jenis tulisan lainnya dengan jumlah halaman yang sama, dengan pilihan terbatas dan formal, yakni makalah. Namun, bila Anda tertantang untuk membuktikan bahwa pendapat saya ini salah juga dipersilakan. Buatlah sebuah cerpen yang serupa makalah ilmiah, yang dimulai dari latar belakang dan diakhiri kesimpulan. Bila berhasil, karya Anda pasti akan menjadi eksperimen yang sungguh berharga.

Sementara bila Anda tidak tertantang dan ingin bereksperimen pada isi seperti yang saya sarankan, maka Anda haruslah mempelajari sebuah tema sedalam-dalamnya hingga ke detail-detailnya. Semakin Anda mendalami sebuah tema, semakin besar kemungkinan Anda menyuguhkan cara pandang yang baru terhadap tema tersebut. Semakin besar pula kesanggupan Anda menuangkannya dalam 20–30 halaman tanpa kehabisan ide. Sebab, jika Anda hanya mempelajari sebuah tema dari permukaannya, cerpen yang nanti disusun pasti akan terasa dipanjang-panjangkan, bukan cerpen yang memang harus panjang.

Terakhir, bila Anda sulit mengerti uraian di atas, saya menyarankan Anda membaca cerpen-cerpen panjang Pramoedya Ananta Toer dan Danarto. Anda akan mengerti bagaimana mereka menulis dengan amat lancar cerpen-cerpen yang panjang karena penguasaan mereka yang dalam akan teori penulisan dan tema yang sedang mereka tuliskan. Bila Anda tak jua mengerti atau malas membaca karya-karya keduanya, saya sarankan Anda mendengarkan dua saja lagu dangdut berikut: “Si Miskin Bercinta”-nya A. Rafiq dan “Kimcil Kepolen”-nya NDX AKA FAMILIA. Dangdut NDX sudah amat berbeda dengan A. Rafiq dari segi musik, sebab selain dangdut mereka mengerti hip-hop dan campursari. Dari segi tema, keduanya sama menyoal orang miskin yang terhina dalam cinta, tapi NDX mampu membuat lirik yang lebih panjang dan lebih dalam, bahkan detail sampai ke olok-olok pada gaya hidup materialistis, sebab mereka mendalami kemiskinan sampai ke urat nadinya.***

Asef Saeful Anwar
Latest posts by Asef Saeful Anwar (see all)

Comments

  1. Imelda Kinyope Reply

    Nice…

  2. Rolyta Nur Utami Reply

    Mantap Qolbu, mencerahkan!

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!