Ketika Kisah Wayang Ditulis Ulang

Ketika Kisah Wayang Ditulis Ulang - Rehal BASABASI.CO
Dok. Pribadi

Judul               : Wisanggeni, Sang Buronan

Pengarang       : Seno Gumira Ajidarma

Ilustrasi           : Danarto

Tebal               : 108 halaman

Cetakan           : 1, Agustus 2016

Penerbit           : Laksana

ISBN               : 9786023911998

“Perhatikanlah, Wisanggeni, bahwa kekuatan batin bisa mengendalikan yang lahir.” (hlm. 92)

Cerita wayang sering kali dipentaskan dengan kurang greget. Akibatnya, para penonton sering kali datang hanya untuk menyaksikan bagian goro-goro karena diramaikan godaan sinden seksi dan candaan si dalang muda. Di bagian yang seru dan kadang saru ini juga, dalang sering melontarkan candaan atau kritikan terhadap fenomena kekinian dengan cara-cara yang kadang menyerempet agak porno. Jadilah penonton lebih ingat bagian goro-goro yang sebenarnya sekadar selipan saja ketimbang esensi dari kisah pewayangan yang dipersembahkan sang dalang. Kita jadi semakin jauh dengan wayang itu sendiri. Padahal, ada alasan mengapa wayang menjadi sedemikian istimewa bagi bangsa Indonesia.

Pementasan cerita wayang sendiri memiliki kandungan hikmah dan filosofi tentang kehidupan yang sedemikian adiluhung. Sungguh akan sangat sayang kalau generasi muda Indonesia tidak tertarik dengan salah satu bukti puncak pencapaian nonbendawi dari bangsa ini. Wayang harus dikembalikan kepada bangsa ini, terutama kepada para generasi mudanya. Kisah-kisah pewayangan seharusnya bisa disampaikan dengan lugas dan menyenangkan tanpa harus kehilangan ketinggian maknanya. Terkait hal ini, ada satu cara asyik untuk mengenalkan kembali kehebatan wayang kepada pembaca muda, yakni dengan menuliskannya ulang dalam bahasa yang lebih populer. Dan, siapa lagi yang lebih layak menunaikan tugas ini kalau bukan para sastrawan?

Seno Gumira Ajidarma, beberapa dari kita mengenalnya sebagai sastrawan “pemilik senja”. Penulis kawakan ini memang luar biasa produktif. Di sela-sela jadwalnya yang begitu padat, beliau masih sempat menulis cerita bersambung tentang dunia pewayangan yang kemudian terangkum dalam buku ini. Beginilah salah satu ciri penulis sejati, mereka sibuk mencari cara agar tetap bisa menulis dan bukan malah menghindari menulis karena sibuk. Selain buku ini, Kitab Omong Kosong adalah buku lain karya beliau yang juga mengambil kisah tentang pewayangan. Naskah Wisanggeni, sang Buronan, ini ditulis oleh SGA pada tahun 1984. Awalnya sebagai cerita bersambung di majalah Zaman (sekarang Matra) untuk edisi Juli–September 1984. Kumpulan cerita bersambung inilah yang kemudian disatukan dan diterbitkan menjadi sebuah naskah utuh oleh Yayasan Bentang Budaya tahun 2000.

Karya besar biasanya turut menarik pula sastrawan besar lainnya, dan buku ini membuktikannya. Dalam buku tipis ini, kita bisa menemukan ilustrasi-ilustrasi indah karya Danarto yang juga seorang cerpenis dan seniman besar itu. Penulis Godlob itu turut menorehkan jejak kepiawaiannya dalam buku ini lewat ilustrasi-ilustrasi bernuansa futuristik-egaliter dari tokoh-tokoh pewayangan. Seno sendiri turut memuji ilustrasi-ilustrasi Danarto di buku ini sebagai sesuatu yang baru dan mengentak. Ada sesuatu dalam lukisan-lukisan karya Danarto di buku ini, sesuatu yang terasa futuristis sekaligus tidak berupaya mengotak-ngotakkan wayang itu sendiri. Danarto seperti hendak menegaskan bahwa wayang adalah milik semua: tua maupun muda, Jawa atau non-Jawa.

Kemudian, tentang apa buku ini? Buku tipis ini berkisah tentang Wisanggeni, salah satu tokoh yang “dipinggirkan” dalam cerita pewayangan.  Lahir sebagai buah cinta atas pernikahan Arjuna (yang manusia) dengan Dewi Dresanala (yang bidadari), Wisanggeni ditolak oleh kahyangan dengan alasan keberadaannya akan menjatuhkan martabat para dewa. Segala cara lalu diupayakan untuk menghilangkan sosok tak bersalah yang dianggap tabu ini. Batara Brahma menculik Wisanggeni tidak berapa lama setelah kelahirannya. Dewata Agung itu meracuni si jabang bayi, kemudian menjatuhkan si bayi kecil ke tengah samudra. Samudra pun bergolak akibat kuatnya api dan wisa (bisa) yang dimasukkan ke tubuh bayi Wisanggeni—yang kemudian dari dua kata inilah Wisanggeni dinamai. Tetapi, bayi Wisanggeni belum tamat. Bayi itu masih hidup dan tetap bertahan.

Tidak tega membiarkan sang bayi telantar, Batara Baruna dan Sang Hyang Antaboga yang menguasai lautan pun tergerak untuk merawat bayi Wisanggeni. Keduanya mendidik dan mengajarkan beragam laku serta ilmu kanuragan kepada si bocah malang. Karena mendapatkan didikan dari dua sosok dewata, pemuda Wisanggeni menjadi hampir tak terkalahkan saat dia bertumbuh dewasa.  Pertanyaan tentang siapa jati dirinya, di mana orang tuanya, mengapa dia dibuang dan tidak diinginkan mulai mengganggu si pemuda. Dan, dimulailah pengembaraan mencari jawab keberadaan orang tuanya. Sebuah pengembaraan yang akan mengguncangkan langit dan bumi jagat pewayangan.

Dalam pengembaraan inilah Wisanggeni ditetapkan sebagai buronan langit. Tidak terhitung berapa kali dia harus menghadapi utusan para dewa. Semuanya berhasil dia libas dan kalahkan dengan gampang. Hampir-hampir tidak ada tanding buat Wisanggeni, bahkan Batara Guru yang menjadi penguasa semesta saja dikejarnya hingga di beragam alam. Hanya Kresna, titisan Wisnu yang bisa menghentikan amuk Wisanggeni. Diceritakannya riwayat kehidupannya, juga takdir yang harus dijalaninya. Dan di buku ini, kita membaca sebuah kisah tentang sosok yang terpaksa harus dihilangkan dari dunia pewayangan. Karena proses kelahirannya, keberadaan Wisanggeni harus dihapuskan agar dunia pewayangan bisa tetap berjalan dengan semestinya.

Dari Wisanggeni kita belajar, bahwa kekuatan fisik yang besar sudah selayaknya diimbangi dengan kebijaksanaan yang sama eloknya. Penolakan dewata atas Wisanggeni hanya karena asal muasalnya yang tidak dari ras murni juga mengingatkan betapa masih piciknya kita saat menghadapi perbedaan. Dalam budaya kita yang sepertinya masih kurang ramah pada perbedaan, setiap yang berbeda dipandang sebagai sesuatu yang buruk sehingga harus dihilangkan. Membaca Wisanggeni ini mengajak pembaca merasakan bagaimana seandainya kita berada dalam posisinya, sebagai sesuatu yang dipandang berbeda padahal sejatinya masih sama-sama makhluk-Nya.

Kemampuan seorang penulis terbukti salah satunya ketika dia mampu menuliskan apa yang biasa menjadi sesuatu yang luar biasa saat dibaca. Seno Gumira Ajidarma kembali membuktikannya dalam novel tipis ini. Membaca novel ini sama sekali tidak terasa seperti membaca cerita pewayangan yang pelan dan (mungkin) membosankan. Pertarungan antar-tokoh wayang digambarkan sedemikian atraktif oleh Seno, tak ubahnya seperti kita sedang membaca sebuah novel fantasi yang penuh adegan pertempuran seru. Beberapa hal dalam novel ini seperti mengingatkan kita pada mitologi Yunani, semisal kemiripan antara Wisanggeni dan Hercules yang—selain sama-sama putra dari dewa dan manusia—juga diburu oleh dewata. Benarkah bahwa mite Yunani kuno dibangun oleh mitos India kuno karena dewa-dewi mereka hampir mirip? Sepertinya akan sangat menarik jika ada penulis yang berkenan menuliskannya.

Dion Yulianto

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!