Pria itu melangkah tenang memasuki istana negara. Pakaiannya sederhana. Ia memang gemar berpakaian santai. Tak tampak keanehan dari dirinya, kecuali sepasang alas kakinya. Ia mengenakan sandal. Padahal, ia adalah tamu istimewa di istana itu. Seorang gadis kecil yang menyambutnya di muka pintu bertanya dengan nada heran, “Kenapa Paman pakai sandal?”
Bukannya tersinggung, pria itu tersenyum ramah. Ia memang selalu ramah pada siapa pun. Sebelum sempat menjawab pertanyaan si gadis kecil, Soekarno menghampiri keduanya. Si gadis kecil berkata pada bapaknya, “Belikan dia sepatu, dong!”
Pria itu kemudian berjongkok. Memeluk gadis kecil itu seraya berkata, “Kalau nanti Vietnam sudah menang, kamu kirim sepatu buat saya,” ujarnya. Mendengar jawaban itu, Soekarno tersenyum dan mempersilakan tamunya duduk. Keduanya berbincang hangat. Si gadis kecil berlalu. Kisah itu diceritakan si gadis kecil saat ia dewasa dan memberi sambutan dalam peluncuran buku Seri Historia di Jakarta, tahun 2017 silam.
Pria tersebut adalah Ho Chi Minh, sedangkan si gadis kecil adalah Megawati Soekarno Putri. Kala itu tahun 1959 bertepatan dengan lawatan perdana Paman Ho, demikian sapaan akrab Presiden Vietnam Utara (1954–1969) ke Indonesia. Saat itu, Vietnam sedang dirundung perang hebat. Sejarah menyebutnya sebagai perang Indocina kedua. Lawatan tersebut merupakan langkah diplomasi untuk penggalangan dukungan dari berbagai negara tetangga melawan kolonialisme dan menyatukan Vietnam yang terpecah menjadi dua bagian karena politik adu domba.
Perang terus berlangsung. Nyaris berakhir perang saudara. Paman Ho tak sudi Vietnam terpecah. Pada akhir tahun 1950-an, Paman Ho membentuk gerakan gerilya bernama Viet Cong berisi pasukan tempur bawah tanah yang berperan besar dalam pembebasan Vietnam. Bersama dengan Vietnam Utara, Vietcong berhasil mengalahkan intervensi militer Prancis yang dibantu Amerika Serikat selama satu dekade dan bersembunyi dari Perdana Menteri Ngo Dinh Diem (pimpinan Vietnam Selatan yang didukung oleh AS) di bawah tanah.
Pihak AS selalu mengklaim menang dalam berbagai pertempuran di medan perang, meski kenyataan berkata sebaliknya. Berhadapan dengan perang gerilya tentara Viet Cong, kedigdayaan perangkat militer Amerika tak berkutik. Lumpuh. Puluhan ribu personel militer Amerika terbunuh. Ratusan ribu cacat dan luka. Mereka yang berhasil kembali ke negaranya mengalami sindrom macan kertas. Amerika Serikat harus meninggalkan Vietnam. Dipecundangi salah satu negara dunia ketiga di Asia Tenggara.
Paman Ho masih setia dengan kesederhanaannya. Berpakaian santai dan bersandal jepit. Barangkali karena dijejaki kesederhanaan, seorang manusia mampu menunjukkan keagungannya pada dunia. Sementara, sepatu yang diinginkan Paman Ho dari Indonesia tak pernah dikirim. Paman Ho meninggal tepat 25 tahun setelah mendeklarasikan kemerdekaan Vietnam dari Prancis pada 2 September 1945, hampir enam tahun sebelum pasukannya berhasil menyatukan Vietnam Utara dan Selatan di bawah paham komunis. Sementara Soekarno ditumbangkan oleh kudeta merangkak yang dibantu CIA.
Indonesia terus terseok-seok dalam membangun negara dan menyejahterakan warganya, sementara Vietnam tercatat sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi (GDP 8,17%) tercepat kedua di Asia Timur, dan pertama di Asia Tenggara tahun 2006. Vietnam unggul lewat industri pertanian.
Sandal jepit Paman Ho abadi, yang bisa dilihat dari pemberian nama pada produk sandal di Vietnam—sandal Ho Ci Minh. Pembuat sandal tersebut barangkali secara tak langsung mengingatkan kita bahwa keagungan itu dapat dibangun dari fondasi kesederhanaan dan diperjuangkan sepenuh hati. Siapa pun bisa melakukannya, seperti Paman Ho. Dimulai dari dalam pikiran.
Tapi, ada juga yang tak sederhana dari Ho Chi Minh. Ia adalah seorang pembaca buku yang rakus. Senang berbelanja buku. Barangkali orang baik, orang besar, dan orang hebat, mula-mula selalu dituntun oleh bacaan yang bagus sebelum melangkah dan meninggalkan jejak perubahan, termasuk di Jalan Ngu Yen Binh. Jalan itu oleh seorang doktor perempuan bernama Quach Thu Nguyet, mantan Kepala Balai Penerbitan Tre di Kota Ho Ci Minh, diubah namanya menjadi Jalan Buku, The Books Street of Ho Ci Minh, Reading Streets. Area tersebut disulap menjadi sebuah kawasan perbukuan. Belasan gerai buku dioperasikan. Sebuah zona khusus buku-buku lama dibuat dan ditata cukup memikat. Dulu, Paman Ho sering menyusuri jalan ini dengan sandal kebesarannya. Berbincang dan bercengkerama dengan warga sekitar. Khas kesederhanaan seorang bijak.
Selain gerai penjualan buku, unit-unit dalam rantai perbukuan yang memiliki prestise diajak terlibat untuk mengisi lapak di sana. Mereka adalah para penerbit, pengusaha percetakan, serta penyalur buku. Di sana juga ada kafe-kafe kecil bagi warga untuk berhimpun, bertemu dengan bercengkerama, khususnya yang memiliki hobi membaca.
Kota Jakarta juga memiliki beberapa sentra buku, sebut saja di kawasan Blok M dan sentra buku Pasar Kenari. Keduanya bekas pindahan pedagang buku dari Kwitang dan Pasar Senen. Di toko buku di Pasar Kenari, suasananya dibuat senyaman mungkin lengkap dengan coffee shop-nya.
Bila kita menganggap buku adalah kebutuhan untuk perubahan ke arah lebih baik, upaya membangun itu tak melulu dimulai dari ibu kota, daerah pun bisa ikut berinisiatif. Katakanlah daerah-daerah di Pulau Madura, seperti Kota Bangkalan, Sampang, Sumenep, dan Pamekasan. Misalnya di Pamekasan, di jantung kota ini pernah terjadi peperangan hebat, seperti halnya di kota Saigon (kini Ho Chi Minh). Bedanya, setelah merdeka, Pamekasan baru memiliki sentra pakaian dan sentra telepon seluler. Belum ada sentra buku. Bukan hendak mengesampingkan usaha kecil tersebut, tapi setidaknya disediakan juga lahan secukupnya untuk dunia perbukuan. Saya kira, tak perlu habiskan dana studi banding ke negara Vietnam yang peringkat rata-rata PISA-nya (membaca, matematika, dan sains) berada di urutan ke-22 dari 70 negara (tahun 2015), Indonesia di urutan ke-63 pada tahun yang sama, demi menyulap sebuah lahan kecil menjadi sentra buku. Cukup sediakan saja kawasan sederhana (instagramable tentu lebih memikat) kemudian diisi dengan buku-buku bermutu. Ini tentu saja tugas pemerintah sebagaimana diatur UUD dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
- Jejak Sandal di Jalan Buku - 22 January 2020