Kepada seseorang yang telah lama berada dalam kota yang tersembunyi
Kepada seseorang yang telah lama berada dalam kota yang tersembunyi,
‘Begitu manis menatap ke dalam cahaya
Dan membuka wajah surga, ̶ mengembuskan doa
Langit biru tersenyum penuh,
Siapa yang lebih bahagia, manakala, dengan segenap hati,
Menenggelamkan keletihannya
Dalam peraduan yang nyaman
Dari rumput yang bergelombang, dan membaca kisah cinta yang riang
serta lemah dan lembut?
Sekembalinya ke rumah pada malam hari, dengan sepasang telinga
Mendengar rekaman-rekaman Philomel ̶ sepasang mata
Memandang riwayat pelayaran awan kecil yang cerah,
Ia meratapi hari yang lekas tersepuh:
Bagai selintas tangis malaikat
Yang jatuh hening dari langit bersih.
Jiwa-jiwa yang megah kini berdiam di bumi
Jiwa-jiwa yang megah kini berdiam di bumi;
Ia awan, air terjun, danau
Yang di puncak Helvellyn, membentang luas,
Tangkaplah kesejukannya dari sayap malaikat:
Ia mawar, violet, musim semi
Senyum ramah, terangkai demi kebebasan
Dan lihatlah! yang tabah takkan pernah menderita
Suara yang lebih rendah dari bisikan Raphael
Dan jiwa-jiwa lainnya berdiri di sana
Usia yang terlihat pada kening
Ini, ini akan memberikan dunia hati yang lain,
Dan debaran-debaran yang lain. Tidakkah kau dengar suara dengung
Yang merajai?
Kalian dengarkan sejenak, dan jadilah kelu.
Setelah kabut kegelapan menyelubungi tanah kami
Setelah kabut kegelapan menyelubungi tanah kami
Sepanjang musim kering, tibalah suatu pagi
Melahirkan selatan yang lembut, dan jernih jauh
Dari seluruh kepedihan surga yang tak tercemari.
Waktu yang cemas, membebaskan kesakitannya,
Menemukan Mei yang telah lama hilang;
Kelopak mata yang bermain dengan tenang kedipan
Bagai daun-daun mawar dengan tetes hujan musim panas.
Angan-angan tenang datang mengitari kami, serupa dedaunan
Memucuk ̶ dalam keheningan buah yang ranum ̶ matahari musim gugur
Tersenyum di malam hari pada seberkas yang terang ̶
Pipi Sappho yang manis ̶ napas bayi yang tersenyum
Pasir kaca meninggi kehabisan waktu
Sebuah anak sungai hutan ̶ kematian seorang penyair
Bintang bersinar, aku memandangnya bagai karya seni ̶
Bintang bersinar, aku memandangnya bagai karya seni ̶
Keindahan yang tak sendiri tergantung tinggi di malam hari
Dan menyaksikannya, dengan dua kelopak mata yang tak berkedip,
Bagai kesabaran, Eremite yang terjaga,
Air yang mengalir sebagaimana tugas mereka
Adalah pembasuh jiwa-jiwa manusia di muka bumi,
Atau bilamana menatap kilaunya yang perlahan berjatuhan
Seperti salju di atas pegunungan dan tegalan ̶
Tidak ̶ tetapi masih kukuh, tetap tak tergantikan,
Demi menyongsong kematangan jiwa kekasihku,
Untuk merasakan kelembutan dan kebaikan selamanya,
Selamanya berada dalam kegelisahan yang manis,
Masih, masih untuk mendengar lembut tarikan napasnya,
Dan tinggal selamanya ̶ atau tak sadarkan diri hingga tiada.
Manakala aku memiliki ketakutan bahwa diriku mungkin akan berhenti
Manakala aku memiliki ketakutan bahwa diriku mungkin akan berhenti
Sebelum penaku merangkum kekayaan pikiranku,
Sebelum buku-buku menjulang tinggi, dalam diri,
Seperti para kolektor, menyimpan pengetahuan yang penuh,
Sewaktu aku menatap, wajah bintang malam,
Awan besar adalah simbol dari cinta yang agung,
Dan berpikir barangkali aku takkan pernah dapat menjangkau
Bayang-bayang mereka, dengan takdir yang telah digariskan,
Dan ketika aku merasa, saat ini sebagai sepantasnya manusia,
Aku takkan lagi meminta lebih padamu,
Tak berharap akan keajaiban
Dari cinta yang tak berbalas; ̶ lalu pada lautan
Tak berbatas aku berdiri sendiri, dan berpikir
Hingga cinta dan kemuliaan tenggelam dalam ketiadaan.
John Keats lahir di London, Inggris 31 Oktober 1795. Seorang penyair Inggris aliran romantisisme. Puisi-Puisi di atas diterjemahkan dari buku Poems of John Keats Selected and Introduced by Claire Tomalin oleh Irma Agryanti. Penyair tinggal di Mataram, Lombok. Bergiat di Komunitas Akarpohon.
- Syaikh ‘Abd al-Aziz al-Bahrani - 10 May 2024
- Puisi Tjak S. Parlan - 19 March 2024
- Syaikh ‘Abdurrahim al-Isthakhri - 26 January 2024