Kanvas Merah Putih
Di belahan bumi yang disebut Timur
terdapat benua Asia
Pada Asia yang paling tenggara
terdapatlah Indonesia
Negara tempat mawar dan melati
mekar dan bersatu dalam hatiku
Tempat aku menyambut matahari tersenyum
setiap pagi
Tempat aku dibimbing ibu
mendengarkan irama cangkul dan bajak mengolah tanah
bahwa di balik bongkahan tanah
Tuhan menyiapkan kasih
bahwa di balik keruh keringat ayah
cinta menjadi matang
untuk menghadapi aneka tantangan
dan membaca rahasia
Maka jadilah aku sapi kerapan
yang siap berpacu mengejar cakrawala
Tapi di manakah letak cakrawala?
Di gerbang sukma yang bisa membedakan antara nilai dengan harga
Itulah kenapa aku bernyanyi
Indonesia, di atasmu aku dahaga dan meneteskan airmata
Aku memandang peta Indonesia
Kuperhatikan puluhan ribu pulau
yang bertaburan di tengah lautan
memeram banyak rahasia
Kubayangkan laut tempat langit berkaca
serta lidah gelombang yang tiap hari
menyebut nama-nama pahlawan
dengan bahasa zikir dan doa
Tiba-tiba muncul dalam kenangan
seorang berkopiah hitam dengan gagah yang sempurna
dengan sorot mata yang indah
ia menunjuk ke peta di depanku
seraya bertanya :
“Di pulau-pulau itu sekarang siapa yang berkuasa?”
Aku berusaha untuk tersenyum
tapi tidak berani menjawab
Wajah wibawa itu makin jelas karakternya
Sorot matanya makin tajam
menusuk ke lubuk jantungku
Kemudian ia bertanya :
“Benarkah kamu telah jadi tuan rumah
di negerimu sendiri?”
Karena aku tak mampu menjawab
aku lalu duduk di kursi
dengan rasa malu yang berat
Entah berapa lama aku merasa tertekan
aku lalu merenung, lama aku mencari pijakan jiwa
agar aku menemukan
secercah harapan
karena bersedih tak menyelesaikan persoalan
Lama-lama aku jadi teringat Prof. Dr. Syekh Mahmud Shalthut
Rektor Universitas Al-Azhar
Cairo, Mesir, saat bertamu ke Indonesia
setengah abad yang lalu
Ia datang dari negeri padang pasir[1]
dan begitu melihat panorama subur alam Indonesia
dengan gunungnya yang biru berselendang awan
hamparan padi menguning
laksana permadani keemasan
serta tepi laut dengan daun nyiur
yang melambai seakan mengucapkan selamat datang
kepada para nelayan yang membawa pulang ikan
Syekh Mahmud Shalthut terpesona
Meskipun ia bukan penyair
dari lisannya terucap kalimat :
Indonesia
Qith’atun minal jannah
nuqilat ilal ardl
(Indonesia adalah seserpih potongan surga
yang diturunkan Allah di bumi)
Maka tak heran
kalau beberapa tahun kemudian
Koes Plus menyanyi :
“Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman”
Teringat itu aku mulai merasa bahagia
(bukan sekadar bangga)
dilahirkan di Indonesia
meskipun menjadi anak petani
Menjadi anak desa miskin
yang menu sehari-hari nasi gaplek campur jagung
dengan lauk sayur kelor dan sambal terasi
Di tengah petani yang membentak sapinya
agar tegar menarik bajak
Memacu harapan menjadi senyuman
Dan aku bahagia jadi anak Indonesia
Masa kecil aku suka berkejaran dengan teman-teman sekampung
Matahari marak di atas kepala
kami berayun-ayun di atas pohon jambu
lalu berlarian di atas pematang sawah
dan kemudian menceburkan diri
ke lubuk sungai jernih, sungai kesayangan
Amboi, alangkah bahagia masa kecil
menjadi anak Indonesia
Aku masih termenung di kursi
Dalam hati masih merayap rasa bahagia
Lalu aku merasa rindu
kepada pahlawan yang tadi hadir dalam kenangan
Meskipun tadi ia menyakiti hatiku
tak ada alasan aku membencinya
karena ia telah berbuat nyata
untuk kemerdekaan Indonesia
Meskipun sejarah hidupnya tidak mulus
banyak jalan terjal, ranjau dan jurang
aku tetap menghormatinya
Aku terpesona pada ketegaran jiwa
yang tersimpan dibalik sorot matanya
bahwa ia mencintai bangsa
sampai ke lubuk jantung dan desir darahnya
Kemudian muncul naluri melukisku
Aku beranjak ke ruang lukis
Aku ambil kanvas dan peralatan melukis
Sebelum melukis aku berdoa
agar Pahlawan itu selalu tenteram di alam sana
Lalu aku melukisnya dengan cat yang aku coretkan
dan aku sapukan dengan kuas pada kanvas
Kuupayakan lukisan itu menjadi terjemahan
cinta dan hormatku kepadanya
Saat aku melukis
kuniatkan aku sambil berguru kepadanya
agar aku tak hanya mendapat “abu”nya sejarah
tapi mendapat “api” rahasianya[2]
Melukis biji matanya
aku membayangkan kedalaman laut Banda
dengan aneka macam jenis ikan
serta kekayaan terumbu karang yang membuat hati bernyanyi
bahwa antara cinta dan sunyi
mekarlah hikmah Ilahi
Saat aku melukis hidungnya
aku mendengar desah nafas kesetiaan
kepada kata, bahwa sumpah akan ditagih tanahair
dan rakyat pasti mengerti kenyataan janji
sehingga tahu
Siapa pahlawan tulen
dan siapa patriot gadungan
Saat aku melukis bibirnya
bibir inilah yang dulu
dengan fasihnya menggugat kekejaman penjajah
membela kepentingan rakyat jelata
Bibir yang dengan fasih
membacakan naskah proklamasi
Kata-kata itu bagai terdengar jelas di telingaku
menyegarkan cita-citaku
memantapkan jiwaku
Aku duduk di depan kanvas
Terbayangkan olehku orang-orang jelata
di pelosok tanah air pada tahun 1945
yang berteriak “Merdeka! Merdeka! Merdeka!”
Orang-orang di Jakarta, Surabaya, Makassar
Padang, Kotaraja, Ambon, Banjarmasin,
bahkan orang-orang di pedesaan
di ketiak gunung dan di pulau-pulau terjauh
tidak merasa terlambat
untuk meneriakkan kata “Merdeka!”
Karena kita memang merdeka
Aku jadi teringat sebait puisi
penyair Toto Sudarto Bachtiar :
Kemerdekaan adalah tanah air
dan laut semua suara
Janganlah takut kepadanya
Pelan-pelan kalimat itu merayapi dinding hatiku
lalu mengetuk-ngetuk ubun jantungku
Belum sempat aku melanjutkan renungan
lukisan yang belum selesai itu
tiba-tiba berkata dengan jelas.
“Kemerdekaan adalah jembatan emas
untuk menuju
masyarakat adil dan makmur”[3]
Mendengar itu hatiku berteriak :
“Merdeka!”
Dari kata itu martabat dan kehormatan bangsa
dibangun di tengah percaturan kebudayaan dunia
Kaki-kaki menderap menuju hari esok
menuju zaman yang tersenyum
dengan pohon-pohon berbuah ranum
Alangkah indah hati yang semerbak
Masing-masing pribadi menyedekahkan ruh rasa merdeka
kepada seluruh bangsa
Dilengkapi dengan keteladanan
dan ketajaman daya fikir para pemimpin
dalam membaca nurani rakyat dan isyarat zaman
Para pemimpin yang berbeda pandangan
membangun kebersamaan seperti kembang setanam
dalam mengharumkan bangsa dan kemerdekaan
Orang di tanah Wajo[4], di tepi Danau Tempe meyakini
bahwa setiap manusia yang lahir
adalah “To Maradekka” Manusia Merdeka
Kesadaran itu jika benar-benar dipahami
sebagai ajaran, bisa menjadi ilham kehidupan
yang akan membuat hidup lebih tenteram dan indah
Indahnya jiwa merdeka
Yaitu jiwa yang tidak tergadai
dan tanah air yang tidak digadaikan
Sehabis merenung
lalu kulanjutkan lukisan itu
agar persis dengan wajah Sang Pahlawan
dan memang hampir persis
tak sekadar mirip
Saat itu aku dikejutkan oleh 3 orang pengamen
yang menyanyi di halaman
Aku merasa terganggu
Tapi karena lirik lagunya menarik
kuhentikan melukis
dan kudengarkan lagu pantunnya :
buah delima buah mentor
karung goni pembungkus nangka
syarat utama jadi koruptor
harus berani masuk neraka
naik motor keliling Jawa
mampir minum di kota Bekasi
syarat koruptor yang nomer dua
bisa tersenyum di televisi
uang suap uang pelicin
disebut juga uang siluman
akibat korupsi rakyat miskin
koruptor kaya tujuh turunan
minum susu jangan tertawa
jamu racik tidaklah manis
inilah lagu orang kecewa
bermain musik hati menangis
Mendengar itu hatiku terpukul sambil terharu
pengamen itu kuberi seribu rupiah
Ia menerima dengan wajah ceria
ditambah ucapan terima kasih
Kemudian aku lanjutkan untuk melukis
aku terkejut menghadap lukisan Pahlawan itu
Sepasang matanya
meneteskan air mata
bukan airmata yang jernih
tapi airmata berwarna merah
Ya… airmata darah…..
Airmata itu terus menetes
mewarnai pipi dan pakaiannya
Hingga aku tak mungkin melanjutkan
untuk menyelesaikan lukisan itu
Dengan hati ditenang-tenangkan
aku mencoba untuk bicara
“Bapak tersinggung dengan nyanyian pengamen tadi?”
Lukisan itu tidak menjawab
tapi airmatanya semakin deras mengucur
sampai memerahkan seluruh permukaan kanvas
hingga wajah Pahlawan itu tak tampak lagi
Aku terhenyak
seperti tak mampu untuk bergerak
Dari luar beranda rumah
ada suara salam anak kecil
Cucuku pulang sekolah
ia mencium tanganku
dengan kemesraan yang ihklas
kucium ubun-ubunnya
Aku bertanya kepada diri sendiri
manakah yang lebih ikhlas
cinta cucu yang mencium tangan kakek
atau sayang kakek yang mencium ubun-ubun cucu?
Kemudian ada sepasang kupu-kupu
beterbangan lalu hinggap pada bunga-bunga
yang mekar di halaman rumahku
Dengan kupu-kupu itu
terasa terjawab pertanyaanku
Kupu-kupu tak mungkin datang ke mari
kalau tidak diizinkan Tuhan
Subhanallah!
Betapa remang hatiku
Aku harus terus belajar
kepada burung-burung yang berkicauan
yang mengajarkan rahasia
Kurindukan langit biru
yang selalu jadi payungku
payung yang sering menaburkan gerimis hikmah
Aku yakin, di balik rahasia
ada Cahaya
Aku bangkit
meninggalkan rumahku
Aku pergi jalan kaki
dengan langkah dahaga seni
Kutinggalkan kampung Jambangan[5]
menuju ke kampung Pataran
Pohon-pohon siwalan melambai
diayun angin barat Januari
Dari ketinggian itu aku memandang
ke sawah yang membentang di lembah Jenangger
Aku terkenang irama lesung berlentung-lentung
saat ibuku dulu menumbuk padi
di lembah kampung sebelah
Itulah lagu penyegar sukma
agar aku terus melangkah
Saat itu aku sadar :
Ya Allah! Aku ini anak ibuku!
Kembali aku mengaji tanah air ini
Aku juga putera tanah air
Tapi tanah airku sedang dijarah
Oleh putera-puteranya sendiri, oleh saudaraku sendiri
Sepotong surga yang diturunkan Allah di bumi
Kini dicemari oleh anak-anaknya sendiri
Sudah saatnya bangsa ini
untuk menyadari kesalahannya sendiri
Kami perlu nilai-nilai
yang indah tapi nyata
Kami perlu hati yang bersih
“Ati Macinnong” kata orang Bugis
Hati yang bersih cemerlang
hati yang tak punya waktu untuk saling membenci
hati yang memacu rasa malu
untuk berkhianat kepada bangsa
Kami perlu akal sehat yang menuju kebersamaan
Akal sehat yang mampu mewujudkan nilai-nilai konkret
Bukan hanya nilai-nilai abstrak
yang hanya ditulis dan diajarkan
sebagai ilmu, wacana, pidato atau puisi
Tapi nilai-nilai yang diwujudkan
menjadi perbuatan nyata
Istilah jujur, peduli dan amanah
yang hanya diucapkan tanpa perbuatan
nilainya sama dengan sampah
Ucapan yang sesuai dengan tindakan
adalah puisi konkret yang paling indah
Keringat yang mengucur untuk
kemakmuran
adalah mutiara, adalah permata yang paling mulia
Hati yang indah
akan melahirkan akhlak yang indah
Tangan yang gemulai melambaikan damai
Tangan yang perkasa dalam gemuruh kenya
Menyepelekan keindahan
identik dengan tidak memberi tempat kepada “rasa”
sedangkan rasa dan perasaan itu karunia Allah
yang sangat mahal[6]
Mematikan rasa dan perasaan
adalah pengingkaran terhadap fitrah
Imam Al-Gazali dalam Kitab Ihya’ menulis antara lain :
“Barang siapa yang tidak terkesan hatinya oleh musim bunga
dengan kembang-kembang yang bermekaran,
atau oleh alunan musik
serta getaran nada dan iramanya,
maka fitrahnya telah mengidap penyakit parah
yang sulit untuk disembuhkan.”
Indonesia adalah sepotong surga
yang diturunkan Allah di bumi
Bentangan lembah dan alam hijau
jadi warna keteduhan hatiku
Traktor yang menderu di tengah sawah
seperti mengolah cokelat hatiku
Keindahan akan tampil
ketika seorang hamba Allah menghampar sajadah,
lalu bersujud di tengah malam sunyi
Keindahan bisa tampak ketika seorang anak muda
mencium tangan ayah bundanya
saat hendak berangkat merantau
Keindahan bisa tampak
ketika seorang perawat menyeka nanah
pada luka seorang pasien
Keindahan menjadi nyata
saat Pak Tani pulang dari ladang
membawa sekeranjang ketela
yang besok akan diantar ke kota
Keindahan mekar
di dada seorang mahasiswa teknik
yang merancang mesin pesawat supersonik
yang hendak dipersembahkan kepada bangsanya
Amboi, alangkah indah amal saleh
Alangkah indah perbuatan nyata
Tanah air yang indah
harus diurus dengan hati yang indah
dan budi pekerti yang indah
Kalau tanah airnya saja yang indah
tapi diurus oleh akhlak yang tidak indah
bisa rusak tanah air ini
bisa dicabik-cabik bendera pusaka ini
Di langit arah tenggara
ada puluhan bangau terbang
menuju ujung timur pulau Madura
Terbangnya yang tergesa
seperti mengejar rahasia
Teringat lukisan
yang berlumuran airmata darah
aku bergegas kembali ke rumah
Matahari melukis bayang-bayangku pada tanah
Ada rahasia baru pada langkah
“Yang tidak berupaya untuk mencari
tentu mustahil bisa menemu”
Darahku menyanyi
sukmaku mengaji
untuk sebuah janji
Tiba di rumah
Aku kembali ke ruang lukis
Lukisan pahlawan
tetap tenggelam dalam merah
dalam airmata darah
Aku ngeri!
Ngeri sekali!
Untuk menghapus rasa ngeri
kucelupkan kuas ke cat warna putih
lalu kusapukan ke bagian bawah
kanvas merah itu
Setelah separuh bagian bawah kuputihkan
Aku merasa bahagia
Kanvas yang tadi kulukis wajah Pahlawan yang kuhormati
kini jadi lukisan “Merah Putih”
Bendera tanah airku
Aku bahagia
Aku bersyukur
lalu berdoa
Karena di balik lukisan Merah Putih
tersimpan wajah Sang Pahlawan
dengan energi sejarah yang perkasa
Dari balik kanvas aku mendengar suara :
“Dubur ayam yang mengeluarkan telur
lebih indah dari senyum intelektual
yang hanya menjanjikan telur”
Batang-batang Madura, 27 Januari 2014
[1] Mesir itu merupakan negeri yang banyak gurun pasir yang gersang. Daerah yang subur di sekitar aliran Sungai nil.
[2] Orang yang mendapat “api”-nya sejarah, ialah orang yang menggali spirit para pelaku sejarah. Spirit itu adalah semangat kepahlawanan.
[3] Pada awal kemerdekaan RI, para pemimpin dan para pejuang sudah mengerti, bahwa kemerdekaan itu bukan tujuan. Kemerdekaan harus diisi dengan pembangunan lahir batin untuk mewujudkan masyarakat yang adil dalam kemakmuran, yaitu masyarakat yang sejahtera, sejajar dengan bangsa-bangsa yang maju di dunia.
[4] Tanah Wajo, sekarang berada di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan
[5] Berada di desa Batang-batang Daya Kabupaten Sumenep, Madura
[6] Dalam Hadis Nabi Muhammad bersabda: “Allah Maha Indah dan sangat mencintai keindahan”.
- Kanvas Merah Putih - 18 August 2015
Bernando J. Sujibto
Dengan puisi ini setidaknya kerinduan pada kampung halaman terobati.
Eh, tapi min, lay out-nya terlalu renggang. Pake 1 spasi aja lebih asyik kayaknya dibaca. Kayak yg puisi Izbedi itu bagus lay outnya .. enak dibaca
Salam