Kanvas Merah Putih

Puisi D. Zawawi Imran | kanvas merah puith
Sumber gambar News.com.au

Kanvas Merah Putih

 

Di belahan bumi yang disebut Timur

terdapat benua Asia

Pada Asia yang paling tenggara

terdapatlah Indonesia

Negara tempat mawar dan melati

mekar dan bersatu dalam hatiku

Tempat aku menyambut matahari tersenyum

setiap pagi

Tempat aku dibimbing ibu

mendengarkan irama cangkul dan bajak mengolah tanah

bahwa di balik bongkahan tanah

Tuhan menyiapkan kasih

bahwa di balik keruh keringat ayah

cinta menjadi matang

untuk menghadapi aneka tantangan

dan membaca rahasia

 

Maka jadilah aku sapi kerapan

yang siap berpacu mengejar cakrawala

Tapi di manakah letak cakrawala?

Di gerbang sukma yang bisa membedakan antara nilai dengan harga

Itulah kenapa aku bernyanyi

Indonesia, di atasmu aku dahaga dan meneteskan airmata

 

Aku memandang peta Indonesia

Kuperhatikan puluhan ribu pulau

yang bertaburan di tengah lautan

memeram banyak rahasia

 

Kubayangkan laut tempat langit berkaca

serta lidah gelombang yang tiap hari

menyebut nama-nama pahlawan

dengan bahasa zikir dan doa

 

Tiba-tiba muncul dalam kenangan

seorang berkopiah hitam dengan gagah yang sempurna

dengan sorot mata yang indah

ia menunjuk ke peta di depanku

seraya bertanya :

“Di pulau-pulau itu sekarang siapa yang berkuasa?”

Aku berusaha untuk tersenyum

tapi tidak berani menjawab

Wajah wibawa itu makin jelas karakternya

Sorot matanya makin tajam

menusuk ke lubuk jantungku

 

Kemudian ia bertanya :

“Benarkah kamu telah jadi tuan rumah

di negerimu sendiri?”

 

Karena aku tak mampu menjawab

aku lalu duduk di kursi

dengan rasa malu yang berat

Entah berapa lama aku merasa tertekan

aku lalu merenung, lama aku mencari pijakan jiwa

agar aku menemukan

secercah harapan

karena bersedih tak menyelesaikan persoalan

 

Lama-lama aku jadi teringat Prof. Dr. Syekh Mahmud Shalthut

Rektor Universitas Al-Azhar

Cairo, Mesir, saat bertamu ke Indonesia

setengah abad yang lalu

Ia datang dari negeri padang pasir[1]

dan begitu melihat panorama subur alam Indonesia

dengan gunungnya yang biru berselendang awan

hamparan padi menguning

laksana permadani keemasan

serta tepi laut dengan daun nyiur

yang melambai seakan mengucapkan selamat datang

kepada para nelayan yang membawa pulang ikan

Syekh Mahmud Shalthut terpesona

Meskipun ia bukan penyair

dari lisannya terucap kalimat :

Indonesia

Qith’atun minal jannah

nuqilat ilal ardl

(Indonesia adalah seserpih potongan surga

yang diturunkan Allah di bumi)

Maka tak heran

kalau beberapa tahun kemudian

Koes Plus menyanyi :

“Orang bilang tanah kita tanah surga

Tongkat kayu dan batu jadi tanaman”

 

Teringat itu aku mulai merasa bahagia

(bukan sekadar bangga)

dilahirkan di Indonesia

meskipun menjadi anak petani

Menjadi anak desa miskin

yang menu sehari-hari nasi gaplek campur jagung

dengan lauk sayur kelor dan sambal terasi

Di tengah petani yang membentak sapinya

agar tegar menarik bajak

Memacu harapan menjadi senyuman

 

Dan aku bahagia jadi anak Indonesia

Masa kecil aku suka berkejaran dengan teman-teman sekampung

Matahari marak di atas kepala

kami berayun-ayun di atas pohon jambu

lalu berlarian di atas pematang sawah

dan kemudian menceburkan diri

ke lubuk sungai jernih, sungai kesayangan

Amboi, alangkah bahagia masa kecil

menjadi anak Indonesia

 

Aku masih termenung di kursi

Dalam hati masih merayap rasa bahagia

Lalu aku merasa rindu

kepada pahlawan yang tadi hadir dalam kenangan

Meskipun tadi ia menyakiti hatiku

tak ada alasan aku membencinya

karena ia telah berbuat nyata

untuk kemerdekaan Indonesia

Meskipun sejarah hidupnya tidak mulus

banyak jalan terjal, ranjau dan jurang

aku tetap menghormatinya

Aku terpesona pada ketegaran jiwa

yang tersimpan dibalik sorot matanya

bahwa ia mencintai bangsa

sampai ke lubuk jantung dan desir darahnya

 

Kemudian muncul naluri melukisku

Aku beranjak ke ruang lukis

Aku ambil kanvas dan peralatan melukis

Sebelum melukis aku berdoa

agar Pahlawan itu selalu tenteram di alam sana

Lalu aku melukisnya dengan cat yang aku coretkan

dan aku sapukan dengan kuas pada kanvas

Kuupayakan lukisan itu menjadi terjemahan

cinta dan hormatku kepadanya

 

Saat aku melukis

kuniatkan aku sambil berguru kepadanya

agar aku tak hanya mendapat “abu”nya sejarah

tapi mendapat “api” rahasianya[2]

Melukis biji matanya

aku membayangkan kedalaman laut Banda

dengan aneka macam jenis ikan

serta kekayaan terumbu karang yang membuat hati bernyanyi

bahwa antara cinta dan sunyi

mekarlah hikmah Ilahi

 

Saat aku melukis hidungnya

aku mendengar desah nafas kesetiaan

kepada kata, bahwa sumpah akan ditagih tanahair

dan rakyat pasti mengerti kenyataan janji

sehingga tahu

Siapa pahlawan tulen

dan siapa patriot gadungan

 

Saat aku melukis bibirnya

bibir inilah yang dulu

dengan fasihnya menggugat kekejaman penjajah

membela kepentingan rakyat jelata

Bibir yang dengan fasih

membacakan naskah proklamasi

Kata-kata itu bagai terdengar jelas di telingaku

menyegarkan cita-citaku

memantapkan jiwaku

 

Aku duduk di depan kanvas

Terbayangkan olehku orang-orang jelata

di pelosok tanah air pada tahun 1945

yang berteriak “Merdeka! Merdeka! Merdeka!”

Orang-orang di Jakarta, Surabaya, Makassar

Padang, Kotaraja, Ambon, Banjarmasin,

bahkan orang-orang di pedesaan

di ketiak gunung dan di pulau-pulau terjauh

tidak merasa terlambat

untuk meneriakkan kata “Merdeka!”

Karena kita memang merdeka

Aku jadi teringat sebait puisi

penyair Toto Sudarto Bachtiar :

Kemerdekaan adalah tanah air

dan laut semua suara

Janganlah takut kepadanya

 

Pelan-pelan kalimat itu merayapi dinding hatiku

lalu mengetuk-ngetuk ubun jantungku

Belum sempat aku melanjutkan renungan

lukisan yang belum selesai itu

tiba-tiba berkata dengan jelas.

“Kemerdekaan adalah jembatan emas

untuk menuju

masyarakat adil dan makmur”[3]

 

Mendengar itu hatiku berteriak :

“Merdeka!”

Dari kata itu martabat dan kehormatan bangsa

dibangun di tengah percaturan kebudayaan dunia

Kaki-kaki menderap menuju hari esok

menuju zaman yang tersenyum

dengan pohon-pohon berbuah ranum

 

Alangkah indah hati yang semerbak

Masing-masing pribadi menyedekahkan ruh rasa merdeka

kepada seluruh bangsa

Dilengkapi dengan keteladanan

dan ketajaman daya fikir para pemimpin

dalam membaca nurani rakyat dan isyarat zaman

Para pemimpin yang berbeda pandangan

membangun kebersamaan seperti kembang setanam

dalam mengharumkan bangsa dan kemerdekaan

 

Orang di tanah Wajo[4], di tepi Danau Tempe meyakini

bahwa setiap manusia yang lahir

adalah “To Maradekka” Manusia Merdeka

Kesadaran itu jika benar-benar dipahami

sebagai ajaran, bisa menjadi ilham kehidupan

yang akan membuat hidup lebih tenteram dan indah

Indahnya jiwa merdeka

Yaitu jiwa yang tidak tergadai

dan tanah air yang tidak digadaikan

 

Sehabis merenung

lalu kulanjutkan lukisan itu

agar persis dengan wajah Sang Pahlawan

dan memang hampir persis

tak sekadar mirip

Saat itu aku dikejutkan oleh 3 orang pengamen

yang menyanyi di halaman

Aku merasa terganggu

Tapi karena lirik lagunya menarik

kuhentikan melukis

dan kudengarkan lagu pantunnya :

 

buah delima buah mentor

karung goni pembungkus nangka

syarat utama jadi koruptor

harus berani masuk neraka

 

naik motor keliling Jawa                                              

mampir minum di kota Bekasi

syarat koruptor yang nomer dua

bisa tersenyum di televisi

 

uang suap uang pelicin

disebut juga uang siluman

akibat korupsi rakyat miskin

koruptor kaya tujuh turunan

 

minum susu jangan tertawa

jamu racik tidaklah manis

inilah lagu orang kecewa

bermain musik hati menangis

 

Mendengar itu hatiku terpukul sambil terharu

pengamen itu kuberi seribu rupiah

Ia menerima dengan wajah ceria

ditambah ucapan terima kasih

Kemudian aku lanjutkan untuk melukis

aku terkejut menghadap lukisan Pahlawan itu

Sepasang matanya

meneteskan air mata

bukan airmata yang jernih

tapi airmata berwarna merah

Ya… airmata darah…..

Airmata itu terus menetes

mewarnai pipi dan pakaiannya

Hingga aku tak mungkin melanjutkan

untuk menyelesaikan lukisan itu

 

Dengan hati ditenang-tenangkan

aku mencoba untuk bicara

“Bapak tersinggung dengan nyanyian pengamen tadi?”

Lukisan itu tidak menjawab

tapi airmatanya semakin deras mengucur

sampai memerahkan seluruh permukaan kanvas

hingga wajah Pahlawan itu tak tampak lagi

 

Aku terhenyak

seperti tak mampu untuk bergerak

Dari luar beranda rumah

ada suara salam anak kecil

Cucuku pulang sekolah

ia mencium tanganku

dengan kemesraan yang ihklas

kucium ubun-ubunnya

Aku bertanya kepada diri sendiri

manakah yang lebih ikhlas

cinta cucu yang mencium tangan kakek

atau sayang kakek yang mencium ubun-ubun cucu?

 

Kemudian ada sepasang kupu-kupu

beterbangan lalu hinggap pada bunga-bunga

yang mekar di halaman rumahku

 

Dengan kupu-kupu itu

terasa terjawab pertanyaanku

 

Kupu-kupu tak mungkin datang ke mari

kalau tidak diizinkan Tuhan

Subhanallah!

Betapa remang hatiku

Aku harus terus belajar

kepada burung-burung yang berkicauan

yang mengajarkan rahasia

Kurindukan langit biru

yang selalu jadi payungku

payung yang sering menaburkan gerimis hikmah

Aku yakin, di balik rahasia

ada Cahaya

 

Aku bangkit

meninggalkan rumahku

Aku pergi jalan kaki

dengan langkah dahaga seni

Kutinggalkan kampung Jambangan[5]

menuju ke kampung Pataran

Pohon-pohon siwalan melambai

diayun angin barat Januari

 

Dari ketinggian itu aku memandang

ke sawah yang membentang di lembah Jenangger

Aku terkenang irama lesung berlentung-lentung

saat ibuku dulu menumbuk padi

di lembah kampung sebelah

Itulah lagu penyegar sukma

agar aku terus melangkah

Saat itu aku sadar :

Ya Allah! Aku ini anak ibuku!

Kembali aku mengaji tanah air ini

Aku juga putera tanah air

Tapi tanah airku sedang dijarah

Oleh putera-puteranya sendiri, oleh saudaraku sendiri

Sepotong surga yang diturunkan Allah di bumi

Kini dicemari oleh anak-anaknya sendiri

 

Sudah saatnya bangsa ini

untuk menyadari kesalahannya sendiri

Kami perlu nilai-nilai

yang indah tapi nyata

Kami perlu hati yang bersih

Ati Macinnong kata orang Bugis

Hati yang bersih cemerlang

hati yang tak punya waktu untuk saling membenci

hati yang memacu rasa malu

untuk berkhianat kepada bangsa

 

Kami perlu akal sehat yang menuju kebersamaan

Akal sehat yang mampu mewujudkan nilai-nilai konkret

Bukan hanya nilai-nilai abstrak

yang hanya ditulis dan diajarkan

sebagai ilmu, wacana, pidato atau puisi

Tapi nilai-nilai yang diwujudkan

menjadi perbuatan nyata

Istilah jujur, peduli dan amanah

yang hanya diucapkan tanpa perbuatan

nilainya sama dengan sampah

 

Ucapan yang sesuai dengan tindakan

adalah puisi konkret yang paling indah

Keringat yang mengucur untuk

kemakmuran

adalah mutiara, adalah permata yang paling mulia

 

Hati yang indah

akan melahirkan akhlak yang indah

Tangan yang gemulai melambaikan damai

Tangan yang perkasa dalam gemuruh kenya

 

Menyepelekan keindahan

identik dengan tidak memberi tempat kepada “rasa”

sedangkan rasa dan perasaan itu karunia Allah

yang sangat mahal[6]

 

Mematikan rasa dan perasaan

adalah pengingkaran terhadap fitrah

Imam Al-Gazali dalam Kitab Ihya’ menulis antara lain :

“Barang siapa yang tidak terkesan hatinya oleh musim bunga

dengan kembang-kembang yang bermekaran,

atau oleh alunan musik

serta getaran nada dan iramanya,

maka fitrahnya telah mengidap penyakit parah

yang sulit untuk disembuhkan.”

 

Indonesia adalah sepotong surga

yang diturunkan Allah di bumi

Bentangan lembah dan alam hijau

jadi warna keteduhan hatiku

Traktor yang menderu di tengah sawah

seperti mengolah cokelat hatiku

 

Keindahan akan tampil

ketika seorang hamba Allah menghampar sajadah,

lalu bersujud di tengah malam sunyi

Keindahan bisa tampak ketika seorang anak muda

mencium tangan ayah bundanya

saat hendak berangkat merantau

Keindahan bisa tampak

ketika seorang perawat menyeka nanah

pada luka seorang pasien

Keindahan menjadi nyata

saat Pak Tani pulang dari ladang

membawa sekeranjang ketela

yang besok akan diantar ke kota

 

Keindahan mekar

di dada seorang mahasiswa teknik

yang merancang mesin pesawat supersonik

yang hendak dipersembahkan kepada bangsanya

 

Amboi, alangkah indah amal saleh

Alangkah indah perbuatan nyata

 

Tanah air yang indah

harus diurus dengan hati yang indah

dan budi pekerti yang indah

 

Kalau tanah airnya saja yang indah

tapi diurus oleh akhlak yang tidak indah

bisa rusak tanah air ini

bisa dicabik-cabik bendera pusaka ini

 

Di langit arah tenggara

ada puluhan bangau terbang

menuju ujung timur pulau Madura

Terbangnya yang tergesa

seperti mengejar rahasia

 

Teringat lukisan

yang berlumuran airmata darah

aku bergegas kembali ke rumah

Matahari melukis bayang-bayangku pada tanah

Ada rahasia baru pada langkah

“Yang tidak berupaya untuk mencari

tentu mustahil bisa menemu”

Darahku menyanyi

sukmaku mengaji

untuk sebuah janji

 

 

 

Tiba di rumah

Aku kembali ke ruang lukis

Lukisan pahlawan

tetap tenggelam dalam merah

dalam airmata darah

Aku ngeri!

Ngeri sekali!

 

Untuk menghapus rasa ngeri

kucelupkan kuas ke cat warna putih

lalu kusapukan ke bagian bawah

kanvas merah itu

Setelah separuh bagian bawah kuputihkan

Aku merasa bahagia

Kanvas yang tadi kulukis wajah Pahlawan yang kuhormati

kini jadi lukisan “Merah Putih”

Bendera tanah airku

 

Aku bahagia

Aku bersyukur

lalu berdoa

Karena di balik lukisan Merah Putih

tersimpan wajah Sang Pahlawan

dengan energi sejarah yang perkasa

 

Dari balik kanvas aku mendengar suara :

“Dubur ayam yang mengeluarkan telur

lebih indah dari senyum intelektual

yang hanya menjanjikan telur”

 

Batang-batang Madura, 27 Januari 2014

 

[1] Mesir itu merupakan negeri yang banyak gurun pasir yang gersang. Daerah yang subur di sekitar aliran Sungai nil.

[2] Orang yang mendapat “api”-nya sejarah, ialah orang yang menggali spirit para pelaku sejarah. Spirit itu adalah semangat kepahlawanan.

[3] Pada awal kemerdekaan RI, para pemimpin dan para pejuang sudah mengerti, bahwa kemerdekaan itu bukan tujuan. Kemerdekaan harus diisi dengan pembangunan lahir batin untuk mewujudkan masyarakat yang adil dalam kemakmuran, yaitu masyarakat yang sejahtera, sejajar dengan bangsa-bangsa yang maju di dunia.

[4] Tanah Wajo, sekarang berada di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan

[5] Berada di desa Batang-batang Daya Kabupaten Sumenep, Madura

[6] Dalam Hadis Nabi Muhammad bersabda: “Allah Maha Indah dan sangat mencintai keindahan”.

D. Zawawi Imron
Latest posts by D. Zawawi Imron (see all)

Comments

  1. Bernando J. Sujibto Reply

    Dengan puisi ini setidaknya kerinduan pada kampung halaman terobati.

    Eh, tapi min, lay out-nya terlalu renggang. Pake 1 spasi aja lebih asyik kayaknya dibaca. Kayak yg puisi Izbedi itu bagus lay outnya .. enak dibaca

    Salam

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!