Satu jam pelayaran yang nyaman menyusuri perairan Tanjung Kelayang di utara Tanjung Pandan, Belitung, berubah menegangkan. Siang itu, kami—saya dan beberapa rombongan wisatawan—baru saja melewati Pulau Kepayang yang rimbun tertutup hutan tropis. Laut di sekitar pulau tak berpenghuni ini seolah menjadi ujian terakhir sebelum kami tiba ditujuan: Pulau Lengkuas.
Air yang tadi tenang tiba-tiba bergejolak. Seketika perahu kater—begitu nelayan setempat menyebut kapal tradisional bermesin tempel—kami diterpa ayunan ombak yang datang tak tentu arah. Beberapa kali kami sesama wisatawan yang duduk di haluan menengok ke bagian belakang sambil tersenyum kecut kepada pengemudi perahu. Si pengemudi membalasnya dengan acungan jempol meyakinkan bahwa perjalanan akan baik-baik saja.
“Lengkuas…!” teriak Anto si pengemudi perahu, membawa ketenangan baru. Dia menunjuk ke arah haluan perahu yang masih berayun naik turun mengikuti alun.
Sesaat saya tak berhasil melihat satu pun pulau di arah yang ditunjuk Anto. Namun lamat-lamat bayangan punggung Lengkuas mulai terlihat dengan pucuk-pucuk pohon kelapa yang mengayun, berbaris dengan gugusan batu di sisi utara dan selatannya. Berbeda dengan pulau tetangganya, wujud Lengkuas lebih kecil namun ramai disambangi wisatawan.
Sekilas tak ada yang luar biasa dari sosok Lengkuas. Tanjung di sisi utara pulau yang kami jumpai pertama kali hanya berupa karang terjal berpasir putih, sesak oleh perahu-perahu penghantar wisatawan.
Perhatian saya justru tertuju ke arah tengah pulau. Di balik tembok rumah-rumah tua bercat putih yang dipagari pohon kelapa usia muda, mercusuar setinggi lebih dari lima puluh tombak menjulang seolah menusuk langit. Bentuknya seperti menara gading: putih dan kokoh. Kelak saya tahu, lebih dari seratus dekade lalu Perusahaan Besi Chance Brothers & Co asal Birmingham, membangun mercusuar ini. Difungsikan sebagai menara pengawas lalu lintas perdagangan laut oleh Belanda tahun 1880-an. Hubungan kerja sama Pemerintahan Belanda dengan Inggris memang harmonis kala itu. Bermula dari kebijakan Kerajaan Inggris lewat Jenderal Raffles yang menyerahkan Belitung kepada Belanda melalui Surat Perpindahan Kekuasaan Komisaris Jenderal Kerajaan Inggris 17 April 1817.
“Perairan laut Belitung dulu merupakan jalan transportasi perdagangan. Banyak kapal China dan Arap melintas,” kata Anto dengan bahasa Melayu. “Walaupun tua, mercusuar ini masih berfungsi sampai sekarang.”
Kongsi dagang Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) atau Perusahaan Hindia Timur Belanda pernah mencatat Belitung sebagai salah satu aktivitas besar perdagangan di Asia abad ke-17. Lada dan timah menjadi magnet terbesar di pulau ini, pun jauh ketika Kerajaan Sriwijaya masih digdaya.
Saya kemudian menyempatkan berkeliling menyusuri pesisir pantai sekaligus menikmati lanskap laut Pulau Lengkuas. Deretan gugusan batu granit besar seolah-olah menjadi pagar di atas pantai pasir putih yang memanjang dari utara ke selatan. Di atas salah satu batu granit, saya duduk terpaku melihat ombak yang malu-malu menerjang bibir pantai. Di balik sana, Laut China Selatan membentang sejauh 3,5 juta kilometer persegi.
***
Lengkuas merupakan satu dari lima daratan yang membentuk sebuah gugusan pulau di perairan Sijuk, Belitung. Terletak di pojok timur kepulauan, 27 kilometer dari pusat Kota Tanjung Pandan, pulau seluas kurang dari satu hektar ini ramai sebagai tujuan objek wisata dan tak berpenghuni.
Siang itu laut di sekeliling pulau masih terik seiring dengan surutnya air laut. Hampir tidak terdengar dentuman ombak yang menderu selama saya di sini. Bingar justru terdengar dari ramainya wisatawan yang terus berdatangan. Puas menikmati panorama pesisir pantai, saya kemudian masuk ke tengah pulau untuk mengamati jejak sejarah di area mercusuar berdiri.
Di sekeliling mercusuar terdapat beberapa pondasi bangunan-bangunan tua yang telah roboh. Besi-besi penyangga pondasi pun terlihat lapuk ditempeli karang. “Bangunan bekas penjara,” kata Anto ketika melihat saya berlama-lama mengamati rangka fondasi dari besi tua yang lamat tertimbun pasir. “Perompak kapal-kapal timah yang tertangkap di perairan Belitung pada masa kolonial ditahan di sini. Tapi karena perawatan yang kurang baik, bangunan-bangunan ini hancur seiring menuanya zaman,” terangnya.
Masyarakat Belitung masa silam menyebut kumpulan perompak itu dengan nama suku Orang Laut atau Ameng Sewang. Orang Laut hidup di perahu dengan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, dari satu pulau ke pulau lainnya. Pola kehidupan mereka berlangsung sesuai pergantian musim penangkapan ikan. Bila bukan musim tangkap ikan, mereka menetap sementara di sekitar pantai untuk tinggal di perahu atau gubuk terapung.
Orang Laut mempunyai peran besar dalam pengorganisasian perlawanan terhadap antikolonialisme dan monopoli perdagangan yang dibawa oleh Belanda sekaligus pedagang Eropa, Cina, dan Arab pada abad ke-17. Pada 1668 beberapa kapal VOC berlabuh di Pulau Belitung, para awak kapal mendapat serangan dari Orang Laut. Catatan kolonial Belanda menulis suku Orang Laut pernah berupaya mempertahankan Belitung yang kaya akan rempah-rempah dan timah itu terhadap pendudukan tentara kongsi dagang Belanda.
Konon Orang Laut menguasai perairan timur Sumatra, perairan Kepulauan Riau, Lingga, Bangka, dan Belitung. Sempat menjadi gerakan yang merepotkan Belanda karena berhasil merampas simpanan timah Pemerintah Belanda di Batu Rusa, Bangka pada 1820. Dalam buku Sejarah Timah Indonesia, pergerakan tersebut menjadi bentuk perlawanan pertama bangsa Nusantara melawan penjajahan asing. Oleh sebagian masyarakat Belitung, Orang laut justru mempunyai interpretasi negatif sebagai bajak laut yang terkenal keji sampai saat ini.
Ketika John London menemukan timah di Belitung pada 1851, dan mendapatkan kosesi menambang selama 40 tahun dari Hindia-Belanda, pembajakan kapal timah oleh Orang Laut tak pernah surut. Kebijakan impor buruh dari Cina menjadi salah satu motif lain pemberontakan. Pada dekade 1860 hingga 1870, impor kuli tambang Tionghoa mencapai empat ribu orang. Memuncak menjadi 29 ribu hanya pada kurun waktu lima puluh tahun. Pesatnya eksploitasi penambangan timah di Belitung membuat perusahaan Billiton Maatschappu (Maskapai Belitung) yang didirikan London berhasil menyamai hasil produksi timah Bangka pada dekade tahun 1890. Gaung teror Orang Laut lantas surut ketika Billiton Maatschappu diambil alih oleh Indonesia pada 1958. Sekaligus menjadi tonggak misteri keberadaan orang laut hingga kini.
Cerita akan perjuangan Orang Laut dan kejayaan timah Belitung seolah hadir begitu saja di pikiran saya. Seiring dengan kecakapan Anto menceritakannya dengan amat mengalir. Lalu purna begitu saja ketika ia menandaskan ceritanya dengan kalimat, “Semua berawal dan berakhir karena timah.” Saya menarik napas panjang.
Beruntung, era kolonial itu telah berlalu, setidaknya sudah lebih dari lima puluh tahun pengelolaan tambang timah Belitung sepenuhnya dikelola oleh negara. Pada tahun 2016, sebanyak 80 persen ekspor Belitung disumbang dari produksi timah. Menjadi ironi, ketika di tahun yang sama lingkaran kemiskinan Belitung justru tertinggi di bumi serumpun sebalai. Sebuah tanda bahwa kegelapan perihal kesejahteraan rakyat yang diperjuangkan oleh Orang Laut kala itu masih belum hilang betul di tanah Belitung.
Hari sudah beranjak senja ketika Anto mengingatkan saya untuk kembali ke perahu. Matahari senja perlahan-lahan luruh ketika perahu terus bergerak membawa kami kembali ke dermaga Tanjung Kelayang. Semburat sinar merahnya yang lembut berpendar-pendar di permukaan Laut Belitung yang ombaknya saat itu tak terlalu besar. Seolah menemani lamunan akan cerita Orang Laut yang kembali terkenang dalam benak saya. Lamat-lamat Lengkuas menjauh sampai akhirnya menjadi titik di tengah ufuk yang mahaluas. Imaji saya tentang Belitung tempo dulu lantas sirna. Berubah menjadi kata berhuruf kapital dengan tanda seru tercatat tebal di batok kepala saya: TIMAH!.[]
- Keindahan, Tragedi, dan Perjuangan Belitung, Semuanya untuk Timah - 14 November 2018
- Secuplik Kisah Penjaga Marwah Pegunungan Maratus - 27 December 2017
- Lanskap Cerita dari Kilometer Nol di Ujung Barat Indonesia - 31 May 2017