
Siang itu, 9 Desember 2016, ibu penjual nasi rames di Pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh, sangat bersemangat bercerita. Suaranya keras. Gaya bicaranya cepat tapi runtut. Dominan menggunakan bahasa Jawa agar saya yang mendengarnya memahami apa yang tengah ia kisahkan. Sebelum ibu itu tahu kalau saya datang dari Jogja, mungkin pembicaraan kami tidak akan sepanjang dan seakrab ini.
“Kulo niki saking Solo, sedoso tahun kepungkur kulo dereng mudik,” terangnya sembari memberikan satu piring penuh nasi tongkol lengkap dengan satu gelas es teh yang saya pesan.
Saya ini dari Solo, katanya. Kemudian kalimat rindu, “…sepuluh tahun lamanya saya belum mudik”, tampaknya menjadi sebuah alasan kenapa ia ramah dan tanpa ragu membagi sedikit kisah perantauannya.
Orang Jawa yang telah lama tak kembali ke Jawa memang akan seperti itu. Menganggap semua orang Jawa yang ia temui di bumi perantauan adalah rupa lain dari perwakilan keluarga mereka. Berdialog dengan rupa lain itu akan mengobati sedikit kerinduan akan kampung halaman. Saat saya bercerita bahwa Jogja dan Solo sama-sama telah menjadi kota yang lebih modern, ibu itu mengatakan, “Wah, syukurlah kalau begitu, Mas.” Sebuah kalimat galib yang sebenarnya sarat akan pengharapan untuk pulang.
Kami terlibat pada sebuah percakapan “gado-gado”: kadang serius, kadang datar, tapi juga sesekali disisipi gelak tawa yang menggelitik. Misalkan saja, ketika dulu saat ibu itu datang pertama kali di Banda Aceh. Beliau hampir saja diciduk oleh satuan Polisi Syariah atau Wilayatul Hisbah pada pertengahan tahun 2007. Kala itu, waktu terlewat seusai adzan maghrib. Sopir taksi dari Bandara Sultan Iskandar Muda menurunkannya di pesisir pantai dekat Pelabuhan Ulee Lheue, sedangkan Paklik yang siap menjemputnya berada di sekitar kompleks Masjid Raya Baiturrahman. Dalam posisi kebingungan, ia lantas bertanya kepada seorang laki-laki yang duduk sendiri menikmati embusan angin laut di tepi jalan menghadap pantai. Sial baginya, belum sempat mengantongi jawaban arah pasti Masjid Raya Baiturrahman, mereka berdua disambangi empat anggota Wilayatul Hisbah yang selanjutnya menginterogasi. “Dikiro kulo ajeng nglakoni hal sek ora-ora. (Dikira saya akan melakukan hal senonoh),” terangnya terkekeh.
“Saya jawab saja saya kesasar. Dan laki-laki itu menguatkan kalau kami sebelumnya tak saling mengenal,” ungkapnya dalam bahasa Jawa kromo, yang pada tulisan ini langsung saya terjemahkan dalam bahasa Indonesia untuk menghindari kebingungan tafsir bagi pembaca.
Karena terbukti tak bersalah, interogasi berakhir dengan diantarkannya beliau oleh WH (orang Aceh menyingkat Wilayatul Hisbah) ke tempat Paklik menunggunya. “Mereka bilang sebagai tebusan salah tangkap hehehe.”
Yang serius dari penggalan percakapan kami dan masih saya ingat betul hingga saat ini, hanya satu. Yaitu bagaimana orang-orang pribumi di sana sangat terbuka dengan kehadiran para pendatang. Baginya, tanah Aceh adalah rumah baru yang selalu mendekatkannya dengan kebahagiaan. Di tanah ini, ia dipertemukan dengan suami dan membangun hidup harmonis bersamanya. Pun dengan dua anak laki-lakinya yang tumbuh kembangnya dengan berbahasa Aceh.
“Jauh dari pemberitaan orang di Jawa mengenai sisi negatif tentang tanah ini, bagi kami Aceh adalah tempat terdamai untuk melanjutkan hidup,” pungkasnya.
Hingga akhirnya, ketika matahari mulai sedikit condong ke barat, saya harus segera pamit agar tak ketinggalan kapal cepat Pulo Rondo menuju kota Sabang di Pulau Weh. Sebelum kami berpisah, ibu—yang saat ini saya masih menyesal karena lupa bertanya namanya—mendoakan agar liburan saya berakhir menyenangkan.
Berlanjut ketika menuju pintu masuk kapal, antrean sesak mengular hingga loket penjualan tiket. Sebuah pemandangan wajar karena yang saya naiki adalah kapal terakhir menuju Pelabuhan Dermaga Balohan.
Di antara banyaknya orang Indonesia, beberapa pelancong berkebangsaan asing terlihat ikut mengantre. Pakaian mereka remeh; berkaus oblong motif pantai, celana pendek, dan bersandal jepit. Belakangan saya tahu, Weh adalah salah satu pulau di Indonesia yang ramai dikunjungi wisatawan asing karena daya tarik keindahan pantainya. Menurut salah satu petugas penjaga loket tiket, Weh semakin sibuk dikunjungi wisatawan usai ditandatanganinya Perjanjian Helsinki antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka pada 15 Agustus 2005.
Dari Pelabuhan Ulee Lheue ke dermaga Pelabuhan Balohan memakan waktu 50 menit menggunakan kapal cepat. Sesampainya di Balohan, saya menyewa mobil rental lengkap dengan sopir untuk mengantar ke penginapan, sekaligus berwisata mengelilingi Weh keesokan harinya.
Sepanjang perjalanan, mobil bergerak di atas jalan menikung dan naik turun. Samping kanan terhampar pemandangan pantai pasir putih Pulau Weh yang elok dipandang.
Tak dinyana pula, sopir yang mengantar perjalanan saya selama di Pulau Weh ramah dan sangat komunikatif. Namanya Pak Rohmad. Badannya sedikit tambun, dengan kumis tipis dan tahi lalat kecil di samping kiri bibirnya. Gaya bicaranya cepat, terkadang gurauannya juga sangat renyah. Beliau asli penduduk Sabang.
Pak Rohmad banyak bercerita tentang rahasia lain di Pulau Weh, termasuk kota Sabang, yang konon belum banyak diketahui oleh para wisatawan. Diawali dengan Sate Gurita yang menjadi kuliner khas. Resor Pantai Iboih yang katanya harus dipesan satu bulan sebelum berkunjung agar kebagian kamar. Hingga soal sejarah kota Sabang yang sejatinya menjadi tempat pembuangan tahanan politik, pelaku kriminal, serta pengidap penyakit jiwa sejak Kesultanan Aceh. Saya khusyuk menyimak, dengan beberapa kali menunjukkan raut muka takjub. Hingga mobil kami tiba di ruas jalan protokol kota Sabang, cerita Pak Rohmad belum juga usai.
Kesan pertama ketika sampai di jantung kota Sabang, kalimat Linda Christanty begitu lekat terngiang di telinga saya: “Sabang lebih mirip orang-orang usia lanjut, tidak bergegas dan banyak istirahat.” Tata kotanya rapi, dan sedikit kesibukan lalu lintas yang menghiasi jalanan. Pinggiran trotoar berdiri kios-kios pertokoan yang dipayungi pohon-pohon asam menjulang tinggi.
Sesampainya di penginapan, saya berpesan kepada Pak Rohmad agar esok menjemput kembali sebelum pukul 10.00. Sore itu hingga menjelang pagi, badan saya manjakan dengan beristirahat total di atas ranjang.
Pak Rohmad datang sesuai janji. Tepat pukul 10.00, kami bergegas menuju Tugu Kilometer Nol: batas wilayah ujung barat Indonesia. Jalan yang kami lalui lebih banyak menyisir lewat jalan pinggiran pantai. “Jalan beraspal menuju Kilometer Nol baru selesai digarap,” terang Pak Rohmad.
Jalan berbukit. Lengkap dengan beberapa tikungan tajam di tengah jalur menanjak. Monyet-monyet liar sesekali dapat dijumpai bermain di tengah jalan. Lantas lekas menyingkir ketika bunyi klakson mobil, beliau bunyikan berkali-kali. Ketika mendekati Tugu Kilometer Nol, jalan sedikit landai.
Tugu Kilometer Nol yang dalam harapan saya akan menjadi sebuah objek foto yang menarik, mendadak sirna. Tugu sedang direnovasi. Menurut salah satu penjual makanan ringan, Tugu akan dibuat lebih tinggi dan besar. “Pak Jokowi yang meminta, setelah kunjungannya pada 10 Maret 2015 lalu,” imbuhnya.
Tak berakhir di Tugu Kilometer Nol, perjalanan kami berlanjut ke Pantai Iboih. Untuk menuju ke sana, kami harus putar balik. Menurut Pak Rohmad, di Iboih saya bisa menikmati keindahan bawah laut pantai dengan menyelam. Tawaran itu saya tolak, karena jujur saya tak bisa berenang. Beliau membalas dengan kelakar tawa sejadinya.
Terbukti memang Pantai Iboih sangat alami dan bersih. Air laut mengalun tenang. Ikan-ikan kecil yang berenang di kedalaman kurang lebih 5 meter masih terlihat. Beberapa rombongan wisatawan lokal maupun asing pun ramai memadati penyewaan peralatan snorkeling.
Saya sendiri cukup berada di sebuah rumah panggung menghadap pantai dengan memesan air kelapa muda bersama Pak Rohmad. Untuk menghilangkan suasana sepi, saya mengajak beliau bercerita apa pun soal Pulau Weh.
“Hindari memakai kata ‘dicari’ di sini, Mas,” kalimat pembuka cerita yang saya rasa telah menuju titik klimaks dari kisah itu sendiri. Langsung mengentak. Langsung mengaduk-aduk emosi saya sebagai pendengar. Saya diam. Memberikan waktu agar Pak Rohmad melanjutkan ceritanya.
“Di sini banyak penduduk yang masih trauma tentang operasi militer penumpasan gerakan yang dianggap ancaman NKRI. Kata ‘dicari’ adalah sebutan untuk orang-orang yang menjadi buron operasi militer.” Saya termangu, kulit di kening terlipat keheranan.
Cerita akhir dari Pak Rohmad saya tangkap sebagai rangkaian gerbong dari kisah-kisah lain sepanjang Ulee Uheue sampai Pulau Weh. Di mana cerita-cerita itu abadi dalam memori ingatan dibandingkan dengan apa yang dilihat mata soal keindahan.
Di atas ketinggian kurang lebih 10.000 kaki di atas bumi Aceh menuju Jakarta, saya menyimpan kenangan dari Ulee Lheue hingga Pulau Weh dengan sangat rapat. Berharap suatu saat ada yang mau mendengar cerita saya tentang sisi lain dari kata INDONESIA. Lantas berkesimpulan bersama bahwa “Indonesia yang sesungguhnya hanya bisa dilihat dari ujung-ujung batas negaranya.”[]
- Keindahan, Tragedi, dan Perjuangan Belitung, Semuanya untuk Timah - 14 November 2018
- Secuplik Kisah Penjaga Marwah Pegunungan Maratus - 27 December 2017
- Lanskap Cerita dari Kilometer Nol di Ujung Barat Indonesia - 31 May 2017