Para Pembunuh dan Kompas; Cerpen Hassan Blasim

skillshare.com

Abu Hadid memeriksa yang tersisa di botol arak. Ia dekatkan wajahnya padaku dan, dengan ketenangan dari seseorang yang amat candu dengan ganja, ia memberiku nasihat: “Dengar, Mahdi. Aku telah melihat berbagai macam masalah dalam hidup, dan aku paham cepat atau lambat aku akan mendapat kesialan. Kau masih enam belas tahun, dan hari ini aku akan mengajarimu bagaimana menjadi seekor singa. Di dunia ini kau butuh untuk lebih pandai bersiasat. Bagaimanapun kau mati hari ini atau pada usia tiga puluh tahun, bagiku itu tak ada bedanya. Kau pikirkan masalah hari ini dan apalagi jika kau dapat melihat ketakutan di mata tiap orang. Orang-orang yang takut akan memberikan segalanya padamu. Jika seseorang datang untuk memberitahumu, ‘Tuhan melarang itu’ atau ‘Itu salah,’ misalnya, tendang saja pantatnya, sebab tuhan yang mereka katakan hanyalah omong kosong. Bahwa tuhan mereka, bukan tuhanmu. Kau adalah Tuhanmu untuk dirimu sendiri, dan hari ini adalah milikmu. Tuhan tak akan ada tanpa orang-orang yang menyembahnya atau orang lemah yang rela mati kelaparan atau menderita atas namanya. Kau harus belajar cara untuk menjadikan dirimu sebagai Tuhan di dunia ini, sehingga orang-orang itu menjilat pantatmu sembari kau tetap membuang kotoranmu di kerongkongannya. Hari ini aku ingin kau diam saja, bahkan kau tak perlu mengeluarkan sepatah kata pun. Kau mesti menemaniku, bisu seperti anak domba. Kau paham, goblok?”

Ia lemparkan botol arak ke arah dinding dan tiba-tiba mengenai hidungku dengan keras.

Kami berjalan dalam kegelapan melewati jalan setapak yang berlumpur. Sejumlah rumah yang porak-poranda setelah diserang badai merasakan napas mereka. Di dalamnya orang-orang tengah tertidur dan bermimpi. Seluruhnya tampak basah kuyup dan menyedihkan. Angin yang senantiasa berembus pada segala lorong jalan kecil sepanjang malam jadi begitu kencang, hingga akhirnya terasa begitu dingin mencekam—pemukiman yang murung ini di mana aku menghabiskan hidup dan kelak akan mati. Sering kali aku membayangkan bagaimana secara turun-temurun keluarga ibuku tinggal di pemukiman ini. Terlihat begitu menyengsarakan. Aku bahkan tak mampu memahami keberadaan ibuku sebagai seorang manusia. Ia selalu menangis dan meratap di sudut dapur seperti anjing yang terikat penuh siksa. Ayahku akan menyerang ibuku lalu menghujani cercaan, dan ketika ibu kehilangan kesabarannya, ia akan merengek dengan suara keras, “Tuhan, mengapa? Mengapa? Cabutlah nyawaku dan selamatkan hambamu.”

Dan jika seperti itu ayahku akan berdiri, mengambil tali dari sorban di kepalanya, dan mencambuk ibuku tiada henti selama setengah jam, lalu meludahinya terus-menerus.

Hidungku mengeluarkan darah. Aku menahan kepalaku sembari tetap mengikuti langkah bersama Abu Hadid. Aroma ikan yang dibumbui tercium dari jendela rumah Majid seorang polisi lalu lintas. Ia mesti telah mabuk berat hingga menggoreng ikan di tengah malam seperti ini. Kami masuk melewati jalan berliku yang sempit. Abu Hadid memungut sebuah batu dan melemparkannya ke dua ekor kucing untuk menghentikan perkelahian di atas tumpukan sampah. Mereka kemudian melompat ke dalam jendela rumah kosong Abu Rihab yang ditinggalkan. Sampah yang menumpuk hampir mencapai atap rumah. Pemerintah telah mengeksekusi Abu Rihab dan menyita rumahnya. Mereka mengatakan jika keluarganya kembali di negara asal mereka. Abu Rihab mempunyai hubungan dengan partai Daawa yang terlarang. Setelah setahun dari siksa dan interogasi dalam sejumlah tempat dinas militer, ia dikenal sebagai seorang pengkhianat dan ditembak mati. Hal yang mustahil dilupakan adalah fisik serta kecantikan putrinya, Rihab. Ia serupa tiruan dari seorang Jennifer Lopez dalam film “U Turn”. Aku telah melihat banyak film di rumah Abbas, penyair yang tinggal di dekat rumah. Ia punya film yang tidak akan disaksikan dalam televisi nasional selama kurun waktu seratus tahun lamanya. Sebagian besar  pemuda mencoba mendekati Rihab dengan sejumlah surat cinta, tapi ia benar-benar orang bodoh yang tak memahami sesuatu hal sama sekali selain menyiram halaman gedung dan mencuci tangan ayahnya yang seorang anggota partai Daawa sebelum ayahnya berdoa.

Abu Hadid, saudaraku yang terlihat seperti raksasa, berhenti di depan pintu rumah Umm Hanan. Ia seorang janda dari Allawi Shukr, dan orang-orang sekitar mencerca sosoknya dan memberi panggilan baru menjadi Hanan Aleena, yang bermakna “gampangan”. Kami masuk ke dalam dan duduk di kursi kayu dengan sandaran yang kurang nyaman. Umm Hanan meminta seorang putrinya untuk membersihkan wajahku dan mengurusiku. Putrinya lalu menyumbat hidungku dengan kapas. Umm Hanan punya tiga anak gadis yang cantik, semuanya mirip seperti suster. Kakakku tidur bersama Umm Hanan. Kemudian ia bercinta dengan putrinya yang paling muda sebanyak dua kali. Setelah itu ia meminta Umm Hanan untuk bercinta denganku. Aku terkejut ia tidak meminta perempuan yang seumuran denganku. Lalu Abu Hadid merampas uang dan tiga bungkus rokok dari Umm Hanan, dan memberiku satu bungkus.

Kami kembali memulai perjalanan, berjalan sepanjang jalan berlumpur. Abu Hadid melangkah pelan, kemudian kembali mundur dan berhenti di pintu Abu Mohammed, seorang montir mobil. Ia menggedor pintu menggunakan kakinya. Seorang lelaki datang dengan membawa gamis putih dengan perutnya yang gendut. Matanya melotot seolah hendak keluar dari kepala kala Abu Hadid menyapanya. Aku dan teman-temanku memanggilnya “tikus kecil yang menelan semangka”. Ia kadang memberikan beberapa pil sebagai hadiah untuk diriku dan beberapa teman sepulang dari menusuk ban-ban mobil di pemukiman, agar bisnisnya tetap berkembang. Kami akan tawar-menawar dengannya tentang seberapa banyak pil demi jumlah banyaknya ban yang kami letuskan. Kakakku memerintahkanku untuk melepas baju yang berlumuran darah dan mengatakan kepada montir untuk mengambilkan baju yang bersih. Si tikus kecil amat patuh dan kembali dengan kaus biru beraroma sabun. Kaus itu milik anaknya, seorang mahasiswa di perguruan tinggi kedokteran, yang terlihat masih baru. Aku terkejut kausnya sesuai dengan ukuranku. Kakakku membungkuk dan berbisik di telinga montir, dan wajah montir itu seketika berubah lebih gelap dari biasanya.

Kami menyeberangi jalan utama menuju pemukiman lainnya. Sepanjang jalan aku bertanya-tanya apa yang telah dibisikkan Abu Hadid di telinga si tikus kecil itu. Abu Hadid terbatuk dengan suara keras, dan dadanya terengah seperti traktor tua milik pamanku. Dia tak mengatakan sepatah kata pun saat di jalan. Dia menyalakan dua batang rokok pada saat yang sama dan menawarkan satu untukku. Saat itu sudah lewat tengah malam. Aku tak tahu siapa saja yang tinggal di pemukiman ini, selain seorang anak menjengkelkan yang pernah satu sekolah dengan kami. Dia pernah memukulku, dan aku tidak pernah berniat balas dendam dengan menusuk pantatnya dengan jariku. Ketika ia tahu jika aku adalah adik Abu Hadid, ayahnya datang ke sekolah dan memintaku untuk memukuli anaknya.

Orang-orang amat ketakutan dengan kebrutalan kakakku yang tak masuk akal. Reputasi kekejamannya tersebar di seluruh kota. Dia akan membingungkan polisi dan badan keamanan lainnya selama bertahun-tahun hingga suatu hari, ia dihukum mati di depan umum. Bahkan musuh-musuhnya meratapi dia ketika hal yang buruk itu terjadi. Kadang selama hidupnya ia membela orang-orang dengan melawan kekejaman partai yang berkuasa, misalnya. Abu Hadid tidak membedakan antara yang baik dan yang jahat. Dia memiliki setan pribadinya sendiri. Setelah ia melemparkan sebuah granat tangan di kantor partai ketika “kamerad” mengeksekusi seseorang yang telah menghindari wajib militer. Lain waktu ia pernah memutilasi wajah seorang pedagang sayur, hanya karena dia mabuk dan dia merasa ingin melakukan hal seperti itu. Abu Hadid sering kali berbuat onar seperti itu selama delapan tahun, sampai suatu hari Johnny tukang cukur menghentikannya. Pada malam kejadian itu Abu Hadid sedang meniduri putri Johnny di loteng rumahnya. Polisi mengelilinginya dan menembaknya di kaki. Mereka mengeksekusinya seminggu kemudian. Ibuku dan tujuh adikku meratapinya selama satu tahun, tapi ayahku begitu lega setelah terbebas dari kejenakaan anak yang bandel.

Abu Hadid mengetuk pintu berkarat yang masih memiliki beberapa bintik cat hijau, berbentuk seperti katak, di atasnya. Kami diterima oleh seorang pria berusia empat puluhan dengan kumis tebal yang menutupi giginya ketika ia berbicara. Kami duduk di ruang tamu di depan televisi. Aku menyimpulkan bahwa orang itu hidup sendiri. Dia pergi ke dapur dan kembali dengan sebotol arak. Dia membukanya dan menuangkannya ke gelas. Kakakku memintanya untuk menuangkan satu untukku. Kami duduk dalam diam, bersama pria itu aku  menyaksikan pertandingan sepak bola antara dua tim lokal, sementara kakakku menatap ke dalam tangki ikan kecil.

“Apakah kau pikir ikan senang di dalam tangki?” tanya kakakku, tenang dan serius.

“Selama mereka makan dan minum dan berenang, mereka baik-baik saja,” jawab orang itu, tanpa mengalihkan pandangan dari televisi.

“Apakah ikan minum air?”

“Tentu saja. Mereka minum.”

“Bagaimana ikan bisa minum air asin?”

“Tentu mereka punya cara. Bagaimana bisa mereka bisa berada dalam air dan tidak minum?”

“Jika mereka berada di air, mungkin mereka tak perlu minum.”

“Kenapa kau tidak bertanya langsung pada ikan yang di dalam tangki itu?”

Sebelum pria botak itu menoleh dan menatapnya, kakakku lebih dulu melompat di atasnya seperti harimau lapar. Dia melemparkannya ke lantai, berjongkok di atas dadanya, dan menjepit kedua lengannya ke celah lipatan lutut kakakku. Dalam sekejap ia mengambil pisau kecil dari sakunya, meletakkannya dekat dengan mata orang itu, dan mulai berteriak histeris di hadapan wajahnya, “Jawab, kau bajingan! Bagaimana bisa ikan minum air asin? Jawab, kau bangsat! Jawab! Bagaimana bisa ikan minum air asin? Jawab, bodoh!”

Abu Hadid menyumbatkan mentimun di pantat pria itu dan kami meninggalkan rumahnya. Aku tak akan pernah mengerti apa yang terjadi antara pria itu dan kakakku. Kami menuju tempat parkir. Seorang pemuda kurus, setahun lebih muda dari kakakku, tengah bersandar pada Chevrolet Malibu merah tahun tujuh puluhan. Dia memeluk kakakku dengan hangat, dan aku merasa bahwa Abu Hadid dan dia adalah teman sejati. Kami berangkat menggunakan mobil itu, merokok dan mendengarkan lagu populer tentang seorang kekasih yang hendak berpisah. Kami masuk jalan raya menuju pinggiran kota. Abu Hadid mematikan radio tape, berbaring di tempat duduknya, dan berkata, “Murad, ceritakan pada adikku cerita tentang anak Pakistan itu.”

“Tentu, tak ada masalah,” jawab Murad Harba.

“Dengar, Mahdi. Beberapa tahun yang lalu aku mengambil risiko dan melarikan diri ke Iran. Aku berpikir untuk pergi dari tempat itu dan menetap di Turki dan melupakan negara yang hancur ini. Aku tinggal di sebuah rumah kumuh di utara Iran, dengan orang-orang yang datang dari Pakistan, Afghanistan, dan Irak, dan dari mana pun tuhan melacurkan buminya. Kami menunggu mereka yang akan menyerahkan kami kepada orang pribumi penyelundup Iran yang akan membawa kita melintasi perbatasan pegunungan. Di situlah aku bertemu anak Pakistan itu. Dia seumuran denganmu, anak baik, muda dan sangat tampan. Dia berbicara sedikit bahasa Arab, tapi ia telah hafal al-Qur’an. Dia selalu merasa takut. Dan dia memiliki benda aneh di tangannya: kompas. Dia akan meletakkan di telapak tangannya seolah seperti kupu-kupu dan menatapnya. Lalu ia akan menyembunyikannya dalam kantong khusus yang tergantung di lehernya seperti liontin emas. Dia gantung diri di kamar mandi sehari sebelum petugas keamanan Iran menyerbu rumahnya. Mereka mendorong kami ke dalam penjara dan memukuli kami berulang kali. Ketika mereka selesai mempermalukan kami, kami mendapat kesempatan untuk bernapas lega dan mulai mengenal para tahanan lainnya. Salah seorang dari kami bercakap-cakap dengan seorang warga Irak muda yang sudah dipenjara karena menjual ganja. Ia lahir di Iran. Pemerintah mendeportasi keluarganya dari Baghdad setelah perang pecah dengan alasan bahwa ia memiliki kewarganegaraan Iran. Aku bercerita tentang anak Pakistan yang telah gantung diri. Pria itu benar-benar marah tentang anak miskin itu, ia katakan bahwa sebelumnya ia telah bertemu dengannya, bahwa ia seorang anak yang baik, dan dari dirinya ia tahu seluruh kisah tentang kompas itu.

“Pada tahun 1989 di kota Peshawar, Pakistan, Sheikh Abdullah Azzam, bapak spiritual jihadis di Afghanistan, sedang berada di mobil dalam perjalanan hendak beribadah di sebuah masjid yang sering dikunjungi oleh orang Afghan – Arab. Orang Arab yang pergi untuk berperang di Afghanistan. Mobilnya diledakkan karena melintasi jembatan di dalam beliung badai. Kedua anaknya tengah bersama dengan dirinya dan tercabik-cabik. Menurut muazin  masjid, yang bergegas ke tempat ledakan, tubuh Azzam tampaknya tak tersentuh. Tidak ada goresan sedikit pun. Hanya ada hanya garis tipis darah mengalir dari tepi bibir Syekh yang sudah mati. Itu bencana yang mengerikan – al Qaeda dituduh membunuh para Syekh yang telah berdiri dengan menggunakan kekuatan dari Uni Soviet, mungkin untuk memberi mereka kekebalan hukum yang lebih besar sebagai sebuah organisasi.

“Sebelum banyak orang lain yang berkumpul, Malik sang muazin melihat kompas dekat dengan serpihan mobil. Ketika ia menyeka darah di kompas itu, ia merasa menggigil menjalar ke tulang punggungnya. Itu adalah kompas seorang tentara dengan ukiran nama Allah dan Muhammad di atasnya. Itu jelas bagi muazin sebagai kompas suci sang syekh, yang terberkati oleh Tuhan dan sumber dari segala mukjizat-Nya. Banyak mujahidin mengklaim bahwa kompas akan berubah menjadi merah darah ketika Tuhan memberi syarat baik atau buruk pada orang yang membawanya. Azzam tidak pernah berpisah dengan kompasnya itu sepanjang hidupnya selama berjihad. Malik kemudian menyembunyikannya di rumah selama sepuluh tahun. Ia membawanya keluar setiap malam, dipoles, dan melihat kompas itu, karena ia meneteskan air mata kesedihan kala kematian syekh sang mujahid.

“Sang muazin memberikannya pada sang anak, Waheed, dengan tulus seperti seseorang yang menjaga sebuah permata yang berharga dalam busananya. Waheed telah memutuskan untuk menyelundup masuk ke Inggris. Dia mungkin menemui sebuah keberuntungan, membantu keluarganya, dan belajar untuk menjadi seorang dokter. Sang muazin mengatakan pada anaknya Waheed tentang rahasia kompas dan menyarankan dia untuk menjaganya dengan segenap hidupnya. Dengan keteguhan iman, ia mengatakan kepadanya bahwa kompas itu akan membantunya dalam perjalanannya dan sepanjang hidupnya, dan bahwa itu adalah hal yang paling berharga yang bisa seorang ayah berikan pada anaknya. Waheed tidak menyadari kekuatan kompas dan pengaruhnya, dan ia tak tahu banyak hal tentang saat-saat sakral dan khusus ketika kompas berubah menjadi merah untuk memperingatkan baik atau buruk, tetapi kepercayaan ayahnya membuat Waheed menghargainya. Kompas itu kemudian menjadi tak terpisahkan dari pemiliknya.

Waheed tiba Iran dan tinggal di rumah-rumah bobrok yang diurusi oleh para penyelundup. Ia harus bekerja selama enam bulan untuk menyimpan cukup uang demi menyeberang ke Turki. Suatu hari ia pergi keluar dengan enam anak muda Afghanistan untuk bekerja pada konstruksi bangunan. Seorang pria kaya raya asal Iran menjemput mereka dengan truk kecil dan membawa mereka ke pinggiran kota, di mana ia membangun sebuah rumah besar di tengah ladangnya. Mereka bekerja dengan harga murah. Pria itu menurunkan mereka di ladangnya dan meminta mereka untuk membersihkan batu bata, plester, karung, dan kayu yang tersisa dari bangunan tersebut. Perjanjiannya adalah bahwa pemilik akan kembali menjelang malam dan membawa mereka kembali ke kota. Dia memberi mereka setengah dari upah mereka di awal dan menyarankan mereka untuk menyelesaikan pekerjaan dengan benar. Waheed dan orang-orang Afghanistan bekerja dengan lamban dan malas sepanjang hari. Ketika matahari terbenam mereka semua berdoa dan kemudian duduk untuk bersantai di salah satu kamar besar. Mereka menuangkan jus, melinting rokok, dan mulai bercakap tentang rute penyelundupan ke Eropa. Sesekali pemuda Afghanistan akan memberikan Waheed penghinaan yang buruk. Pemilik rumah datang terlambat. Orang-orang Afghanistan memutuskan untuk melewatkan waktu dengan memainkan taruhan sebuah tipu daya yang amat licik. Terdapat sejumlah drum berisi air, dan di samping ada beberapa karung semen. Mereka mengatakan pada Waheed bahwa permainannya adalah mereka akan mencampur semen dengan air dalam sebuah tong dan semua orang dalam kelompok akan meletakkan tangannya dalam campuran sampai dengan siku, dan siapa pun yang berhasil bertahan lebih lama akan mendapatkan sejumlah uang. Mereka menyarankan Waheed yang pertama. Penuh gembira dan keluguannya, Waheed berdiri dan mencelupkan lengannya ke dalam campuran semen itu. Dalam beberapa menit semen mengeras dan lengan Waheed terjebak di dalam tong. Orang-orang Afghanistan lalu melucuti celana Waheed dan satu per satu menyodominya.”

Kami telah menghabiskan sembilan batang rokok sambil mendengarkan cerita tentang anak Pakistan itu. Murad Harba mengisahkan ceritanya dalam sekali cerita, kemudian minum dari botol air di sampingnya, lalu mengutuk Tuhan. Abu Hadid mengambil pistolnya keluar dari sabuk dan mengisinya peluru. Cerita tentang anak Pakistan itu tak berpengaruh padaku. Aku terpesona dengan sahabat dari kakakku, Abu Hadid dan dengan kesempatan untuk masuk pada berbagai dunianya. Kami berhenti di sebuah taman yang luas dengan pepohonan yang meranggas seperti tentara yang menjelma jadi batu. Murad mematikan mesin. Jantungku berdebar, dan aku penasaran untuk mencari tahu apa yang akan mereka lakukan di kegelapan taman yang dingin ini. Jelas kami tidak datang jauh-jauh hanya untuk mendengarkan cerita tentang anak Pakistan itu. Kami keluar dari mobil. Abu Hadid melihat sekeliling sementara Murad Harba membuka bagasi mobil dan mengambil penggaruk dan sekop. Abu Hadid memerintahkanku untuk membantu Murad menggali. Darahku mulai berkejaran dengan kegembiraan serta rasa takut. Abu Hadid, dengan otot yang kuat, membantu penggalian. Kami mulai berkeringat. Tanah itu keras. Akar-akar kusut pohon dan batu besar menghambat pekerjaan kami. Sebelum kami punya waktu untuk mengambil napas, Murad dan Abu Hadid kembali ke bagasi mobil, sementara aku berdiri di dekat lubang, bingung seperti orang tuli di sebuah pesta pernikahan. Mereka mengambil seorang pria, terikat dan tersumbat, keluar dari bagasi dan menyeretnya di sepanjang tanah menuju lubang galian itu. Kakakku mengatakan kepadaku untuk mendekat dan melihat ke dalam mata pria itu. Terlihat ketakutan, aku merekam kuat dalam ingatku seolah dicap besi. Abu Hadid menendang punggung, dan pria itu lalu merosot  ke dalam lubang. Kami menimbunnya dengan pasir di atasnya dan kemudian meratakannya dengan tanah.

Abu Hadid menjambak dengan keras rambutku dan berbisik di telingaku:

“Sekarang kau adalah Tuhan.”

*Cerpen dari buku The Corpse Exhibition And Other Stories Of Iraq karya Hassan Blasim.   


Penerjemah

 

Wawan Kurn. Menulis puisi, cerpen, esai. Menerbitkan buku puisi pertamanya yang berjudul Persinggahan Perangai Sepi (2013). Serta diundang sebagai penulis Indonesia Timur di Makassar International Writers Festival (MIWF) 2015. Buku puisi kedua terbit Januari 2017 dengan judul Sajak Penghuni Surga oleh Penerbit Basabasi. Buku esai pertamanya terbit Februari 2017 dengan judul Sepi Manusia Topeng oleh Penerbit Nala Cipta Litera. Penulis dapat disapa melalui twitter @wkhatulistiwa, atau dapat dikunjungi di blog www.wawankurn.com.

Hassan Blasim
Latest posts by Hassan Blasim (see all)

Comments

  1. Fadila Reply

    udah lama pengen beli buku nya The Corpse Exhibition karya hassan blasim….basa basi jual buku terjemahannya ga ya?

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!