Kelindan Determinisme dan Kebebasan Perempuan

 

Judul               : Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982

Penulis             : Cho Nam-Joo

Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama (GPU)

Cetakan           : Kedua, Desember 2019

Tebal               : 192 halaman

ISBN               : 9786020636191

Meski tak dibalut dengan diksi yang kuat (baca: nyastra) pilihan gaya bercerita dan narasi yang dibangun dalam novel Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982 terasa sangat pas. Sang penulis, Cho Nam-Joo, berhasil menyampaikan sesuatu yang besar, penyakit kronis yang menjangkiti masyarakat di dunia bernama partiarki. Ada banyak hal yang kian memburuk di dunia ini. Ketimpangan gender adalah salah satunya.

Cerita dalam novel ini diurai dengan kata-kata sederhana, tak rumit sama sekali. Cara bercerita adalah kelebihan sebab setiap pembaca jadi mudah mencerna apa yang ingin disampaikan si penulis. Terlepas dari kesederhanaannya, ada banyak kontroversi atas kelahiran novel ini. Kontroversi bermula dari kemarahan masyarakat Korea Selatan di media sosial terutama laki-laki lantaran Cho Nam-Joo berani mengangkat isu kesetaraan gender yang masih tabu di negara itu sehingga memberikan dampak begitu besar. Hal yang paradoks: bagaimana bisa salah satu negara maju seperti Korea Selatan justru tabu dengan isu kesetaraan gender?

Pertanyaan besar itu dijawab Cho Nam-Joo dengan tajam dalam novel ini. Cerita dimulai dari deskripsi kehidupan tokoh utama, Kim Ji-Yeong. Sehari-hari ia mengurus anak, suami, dan rumah. Selanjutnya, cerita bergerak mengisahkan masa lalu Kim yang sarat dengan seksisme. Sang ayah yang menyalahkannya ketika mendapat gangguan dari anak laki-laki, sang ibu yang menggugurkan janin hanya karena berjenis kelamin perempuan, dan banyak peristiwa lain yang berakar dari ketimpangan gender di mana laki-laki lebih punya banyak hak istimewa dalam kehidupan bermasyarakat ketimbang perempuan. Sepanjang hidupnya, dalam kurun waktu 1982 sampai dengan 2016, Kim berhadapan dengan kenyataan-kenyataan seperti itu.

Peristiwa demi peristiwa mengantarkan Kim pada depresi. Depresi tidak muncul begitu saja setelah ia menikah, punya anak, dan berkeluarga. Depresinya adalah ledakan dari endapan luka dan trauma yang disimpan selama bertahun-tahun, sejak kecil hingga dewasa. Adik laki-lakinya boleh berdiam diri di rumah tanpa melakukan apa pun, sementara ia dan kakak perempuannya harus menyiapkan makanan dan mencuci peralatan makan setiap hari. Ia menyaksikan ibunya berjuang keras untuk kelangsungan hidup keluarganya, sementara ayahnya tak menghargai sama sekali. Ia harus menerima suaminya yang merasa membantu dalam pekerjaan rumah. Padahal, pekerjaan rumah sudah semestinya menjadi tanggung jawab suami dan istri, bukan istri saja.

Peristiwa dalam novel dilengkapi data. Data dipaparkan dalam catatan kaki. Data-data berupa hasil riset dari beberapa lembaga kesetaraan gender Korea Selatan dicantumkan. Cerita tidak hanya berangkat dari imajinasi sang penulis saja, alam khayalan belaka, tapi juga berangkat dari data berdasarkan fakta yang ada. Fakta dikemas dalam fiksi, melahirkan cerita yang bersesuaian dengan pengalaman-pengalaman para perempuan di belahan dunia lainnya, terutama negara-negara yang masih berproses untuk bisa menjadi demokratis seperti Indonesia. Inilah yang membuat novel ini laris manis dan diterima masyarakat.

Determinisme dan Kebebasan

Manusia hidup dalam dualisme. Dalam dualisme, ada determinisme dan kebebasan manusia sebagai dua kenyataan yang asing satu sama lain. Determinisme bagi manusia ada dalam jasmaniah, sedangkan kebebasan ada dalam rohaniah. Lantas, bagaimana bisa badan dan roh, determinisme dan kebebasan menjadi suatu kesatuan? Kesatuan sendiri adalah masalah bagi dualisme. Dua kenyataan yang asing satu sama lain, tidak dapat memengaruhi satu sama lain, tapi ternyata berjalan bersama.

Kim Ji-Yeong hidup dalam dualisme. Ada determinasi dan kebebasan di dalam dirinya. Ia menjalankan kehidupan sehari-hari dengan fisiknya namun terluka dalam jiwanya. Fisiknya melulu menghadapi kenyataan pahit, hal-hal yang tak ia harapkan kehadirannya. Omongan-omongan pedas orang lain, tragedi-tragedi yang menimpanya, bahkan kerewelan anaknya, ia hadapi setiap hari. Kenyataan itu terjadi di alam fisik, tapi memengaruhi jiwa Kim.

Satu waktu, Kim minum kopi di sebuah kafe setelah lelah bekerja seharian di dalam rumah. Ia duduk di bangku outdoor dan anaknya duduk manis di dalam stoller. Dua laki-laki di belakangnya bergosip. Ia menyindir Kim yang hanya duduk-duduk di kafe dan menikmati hasil kerja keras suaminya tanpa rasa bersalah. Kim marah, tapi tak disampaikannya kemarahan itu. Ia hanya berlalu pergi dan menangis sepanjang perjalanan pulang. Karena peristiwa itu, ia sampai lupa memberi makan anaknya. Hal-hal seperti itu sering Kim hadapi. Di masa lalu, saat masih bekerja, ia pun pernah terpaksa minum sake lebih dari batasan karena perintah atasannya. Determinisme membuat Kim tak berdaya. Semua terjadi karena ulah laki-laki.

Dalam diri Kim, ada kebebasan yang terpenjara. Ia tak bisa melawan lantaran ada ketakutan yang ditanam sejak lahir. Ketakutan bahwa jika ia melawan laki-laki, ia akan kalah secara fisik. Ketakutan juga berasal dari para perempuan yang masih mengagung-agungkan laki-laki termasuk mertuanya sendiri. Sedikit perlawanan sebenarnya didapatkan Kim dari ibunya. Hanya saja, kekuatan untuk melawan itu masih sangat lemah. Terlalu lemah untuk bisa diterapkan dalam hidupnya. Akhirnya, ia terus merasa tersakiti dan mengalami depresi.

 

Tidak Perlu Takut

Baik novel atau pun filmnya, Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982 sama-sama menunjukkan betapa repotnya menjadi seorang istri sekaligus ibu. Salah satu adegan dalam film yang paling mengganggu misalnya ketika Kim harus mengganti popok anaknya yang buang air besar di kereta. Ketika selesai, ia juga ingin buang air. Kerepotan terjadi saat ia harus duduk di kloset sambil menggendong anaknya.

Pernikahan dikisahkan begitu menyakitkan. Berkeluarga menjadi sangat rumit dan menyakiti hidup perempuan. Kim digambarkan begitu bosan hidup dalam rumah mengurus anak dan suaminya. Ia stress berat hingga berusaha menyelesaikan masalahnya dengan mencari pekerjaan namun gagal lantaran telah memutuskan berhenti bekerja untuk mengurus anak. Kim tidak bisa mendapatkan pekerjaan layak lagi sebab kebanyakan perusahaan lebih memilih merekrut karyawan laki-laki. Kim dinilai sudah tidak kompeten.

Ada satu hal dalam diri Kim yang juga menimpa banyak manusia—bukan saja perempuan tapi juga laki-laki—di seluruh dunia. Sebut saja namanya masalah manusia modern, di mana seseorang tidak bisa menghadapi kenyataan hidupnya sendiri. Akhirnya yang terjadi adalah depresi. Kim, contoh dari proses internalisasi dalam diri manusia yang tak bisa mengendalikan determinisme dan kebebasannya. Ia hanya diam melihat kenyataan-kenyataan di depan mata yang berseliweran tanpa henti. Kenyataan yang selalu merugikan perempuan dan melulu menguntungkan laki-laki.

Sebenarnya, tak ada beda antara posisi perempuan di Korea Selatan dan di Indonesia. Hanya saja, para perempuan di Indonesia memiliki pengalaman lebih unik lantaran budayanya yang beragam di setiap daerah. Di Indonesia, kita bisa melihat seorang perempuan yang tinggal di daerah pegunungan misalnya, selain mengurus rumah, anak-anak dan suaminya, ia pun mengurusi ladang. Ia tidak hanya berhasil mengendalikan perekonomian keluarga, tapi juga memajukan perekonomian di daerahnya dengan bertani.

Ada nilai-nilai yang dipegang perempuan gunung itu. Bahwa menjadi ibu berarti harus menjadi pengelola, pengontrol, dan penyeimbang bagi keberlangsungan rumah tangga. Nilai-nilai kehidupan di Korea Selatan dan Indonesia tentu saja berbeda. Tapi setidaknya, perempuan Indonesia bisa berusaha agar tidak menjadi seperti Kim dengan memegang nilai-nilai di atas. Bahwa menjadi perempuan adalah pusat keseimbangan, pusat pengendalian orang-orang di sekitar. Apa pun yang terjadi mesti dihadapi dengan tegar dan tidak ragu untuk melawan.

Novel ini menyentil semua orang. Sudah saatnya laki-laki tak lagi mendominasi, sebelum ada lebih banyak lagi perempuan yang depresi karena partiarki. Kalau sudah depresi seperti Kim, bukankah yang dirugikan juga laki-laki? Suami Kim sangat sedih dan tak bisa fokus bekerja lantaran memikirkan istrinya yang depresi. Tidak bisa tidak, kerja sama sangat diperlukan dalam sebuah relasi.

Sudah saatnya pula perempuan lantang bersuara, tak lagi menyimpan kegelisahan sendiri. Apa pun yang menimpa, bicaralah ke orang lain. Diskusilah dan temukan jalan keluar yang paling baik. Sudah ada banyak psikiater yang mau mendengarkan jika orang lain sudah tak bisa diandalkan. Kim hanya satu contoh, seorang perempuan di Korea Selatan yang menjadi “korban” dari partiarki. Jiwanya terserang, fisiknya tak bisa melawan. Masih banyak perempuan yang tak bisa melawan determinasi dan mewujudkan kebebasannya. Novel ini memberi warning bagi perempuan agar tidak perlu takut untuk melawan dominasi laki-laki.

Bukankah sudah banyak perempuan yang telah memainkan peran dan pengaruhnya di masyarakat secara terbuka?

Ayu Alfiah Jonas
Latest posts by Ayu Alfiah Jonas (see all)

Comments

  1. Aulia Istik Reply

    Itu benar bahwa sejak kecil perempuan sudah ditanamkan pemikiran jika mereka akan kalah dengan laki-laki secara fisik. Pemikiran seperti itu harus berhenti untum ditanamkan.

  2. Matangdream Reply

    Mantap

  3. anjrah elbe Reply

    sae

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!