Kepada Siapa Piring Beterbangan

 

Marisa bilang, segala sesuatu tampak indah dari balik kaca. Bahkan ketika sesuatu itu piring, dan ketika kaca itu layar televisi. Perkataan Marisa didebat Kenop yang teknisi listrik. Gambar-gambar itu tidak muncul dari balik kaca, Cha, tetapi berkat pencaran gelombang yang dipantik arus. Semua argumen fisika kelistrikannya memantul balik. Marisa yang pelayan restoran kedutaan hanya paham bahasa dan sosial. Mendengar Kenop, Marisa tidak tersetrum. Terus bergeming, asyik sendiri. Berondong jagung berjatuhan ke pangkuan. Mulutnya menganga, menyaksikan gerombolan piring beterbangan. Sinar tembakan mereka berpendar menyilaukan, menyentak pekat malam yang dicat biru tua. Mengapa kau masih suka menonton kartun, Cha? Apa waktu kecil belum cukup? Kenop ingin bilang Marisa kekanak-kanakan, tetapi pekerjaannya sendiri kanak-kanak. Saat tidak sedang membetulkan mobil mainan, Kenop merakit bola kristal. Orang-orang sekarang menyebutnya lampu plasma. Indah dan memikat, tetapi cuma mainan. Gelombang warna-warni indah itu bukan sihir. Bisa dijelaskan secara fisika. Pasti bisa dikembangkan secara metafisika juga. Bahkan Kenop sempat sesumbar, lampu plasma bisa membawanya meraih profesor dan Nobel. Di antara puluhan kawan sejurusan yang mendengar, hanya Marisa yang tidak tertawa. Malah terkagum, tersenyum-senyum. Kamu suka piring terbang, Cha? Anggukan Marisa menenangkan sesenggukan Kenop. Jadilah mereka berpelukan. Berdua naik ke undak teratas rumah susun, memandangi langit dan berbincang. Tentang piring terbang, tembakan yang bersinar, hingga tujuan hidup. Tentang lampu plasma hingga dunia paralel. Kamu benar, Cha. Semua indah dari balik kaca. Bincang ituberlarut semalaman, berlanjut jadi pelukan lagi. Lebih dalam, lebih lama. Tak lepas hingga berjam-jam. Aku tumbuh dengan sendirinya di antara mereka. Sudah sekacang hijau sewaktu mereka menggelar pesta kecil bertema Star Wars. Saat itu mereka belum menyadari keberadaanku. Mereka percaya hubungan tanpa restu tetap perlu dirayakan, tetapi mereka berpikir alangkah baiknya jika yang hadir tidak begitu banyak. Dari yang cuma sedikit itu, ada yang menghadiahkan seperangkat alat makan. Dia staf kedutaan, laki-laki, tahu kesukaan Marisa pada perkakas kaca. Kenop curiga menatap Marisa, yang ternyata tak tampak berbunga-bunga. Lalu mereka sadar susunan perangkatnya, karena ada banyak sekali gelas, di antara piring yang cuma dua. Kalau pecah bagaimana, Cha? Kita perlu beli beberapa piring lagi. Seusai perang, harga perabot kaca melambung tinggi, dalam sekejap jadi tak terjangkau lagi. Marisa memilih mengambil beberapa piring milik restoran. Kedutaan tidak akan kesulitan memasok barang ini, pikir Marisa. Piring bukan barang yang gampang masuk ke dalam tas. Sudah pasti ketahuan. Marisa menyangka akan dihukum potong gaji. Dia sudah bersiap-siap. Ternyata kedutaan memutasi Marisa ke sang duta besar. Marisa kini satu dari lima juru masak bagi seorang laki-laki tua pemarah, berperut rentan dan suka pilih-pilih makanan. Itu bukan hukuman, Cha. Bukankah gajimu naik? Marisa menggeleng sembari terdoyong mabuk, tetapi pikiran Kenop masih dan selalu berkitar pada uang saja. Lampu plasma pasarnya susah. Yang sudah pernah membeli tak pernah kembali. Bukan karena rakitan Kenop jelek, tetapi karena mereka tak butuh lagi—untuk apa satu rumah punya lampu plasma banyak-banyak? Kenop baru menggelontorkan tabungan untuk membangun bengkel reparasi televisi. Di luar sana banyak reparasi resmi, Kenop hanya memungut remah-remah. Pelanggannya orang-orang yang kehilangan kartu garansi, ceroboh dan sangat cepat marah. Nasib mereka sekarang sama saja—kalau tidak dimarahi, rasanya tidak bekerja. Kenop hanya punya sedikit waktu dan ruang tersisa untuk lampu plasmanya. Dia menggunakan meja sebelah sofa. Memang kurang ideal karena terlalu dekat televisi, tetapi yang penting ada tempat dulu. Meja itu selalu penuh dan berantakan. Satu-dua sekrup dan beberapa utas kabel meluncur melewati sandaran. Marisa dan film kartun piring terbangnya tak terpisahkan, tentu marah ketika ada yang mencoba. Aku kerja dan kamu lagi santai, Cha! Kamu nggak berhak marah-marah pada orang yang tengah mencari duit! Tangan Marisa lekas menggapai gelas kosong di meja. Lalu melayang, memelesat seperti roket. Kenop menghindar tepat waktu. Satu kaca di dinding pecah, lalu teriakan Kenop. Apa-apaan ini, Cha? Kamu bisa merusak lampu-lampu ini, tahu? Di tembok, kaca penampang foto wisuda mereka pecah bercecabang. Beling bertaburan di lantai, terberai seperti tujuan mereka masuk jurusan teknik elektro: Kenop dengan tulus dan Marisa karena harus. Bersama itu, Marisa muntah. Sisa makanan membubur, berhamburan menghampari karpet dan ubin. Tidak biasanya. Marisa memeriksakan diri. Segera mereka berdua tahu, mual muntah itu karena aku: kecambah empat bulan yang rutin terendam minuman keras yang diasup Marisa saban usai dimarahi duta besar. Kehamilan berlanjut setelah alot debat. Marisa tulus, sementara Kenop memaksa harus gugurkan. Apa kamu mau membesarkan anak cacat, Cha? Apa kamu tidak malu? Aku tak sanggup kalau sebentar-sebentar kita harus membawanya ke rumah sakit! Marisa terus mengulang-ulang dua hal. Dia tak tega membunuh. Dia juga percaya akan ada lampu plasma raksasa yang menyelundupkan mereka ke dunia baru, di mana semua orang setara, semua orang sehat mau memelihara yang sakit dengan sebaik-baiknya. Siapa yang akan menciptakan dunia macam itu, Cha? Marisa tahu bertengkar ataupun tidak, Kenop tidak menginginkan aku. Maka dia enggan menjawab, berbalik, terus membiarkanku hidup. Tetapi kemampuanku bertahan tak sememadai harapan. Suster mengeluarkan aku dari tubuh Marisa; akhir dari kehidupan dua puluh delapan minggu yang gelap dan singkat. Apa yang tadi kecambah segar, sekarang onggokan daging tercarut-marut. Berbentuk manusia, tetapi mengenaskan. Marisa meminta petugas membungkusku, agar aku bisa dibawa pulang. Kenop menyergah, meminta aku langsung dikafan dan dikebumikan. Pertengkaran di depan petugas alot dan memalukan, tak enak diingat-ingat. Mereka mengambil jalan tengah yang ganjil: Marisa boleh membawaku pulang, asal dia memenuhi janjinya untuk mengebumikanku. Bukan Marisa namanya jika tidak membangkang. Dia pulang, tetapi bukan ke tempat tinggal Kenop. Dia mengatur jadwal pengebumianku, tetapi tidak siang-siang. Dia menunggu malam datang, ketika bintang-bintang menotol langit atas pekuburan. Dia mengajakku berbincang. Kumanfaatkan kesempatan dengan memberi tahu dia, aku belum siap pergi. Aku penasaran tentang apa yang ada di luar sana. Marisa mengaku penasaran juga, karena walaupun dia staf kedutaan, dia belum pernah pergi ke negara asal sang duta besar. Tetapi ada piring terbang, kata Marisa. Selalu ada piring terbang dari masa ke masa. Lihatlah kartun-kartun yang biasa kulahap bersamamu setiap malam. Adakah yang tidak menampilkan piring terbang? Star Wars, Doraemon, Powerpuff Girls, Spongebob, hingga BT21. Semua ada piring terbangnya, kan? Aku tak bisa melihat kartun-kartun itu, tak pernah dan takkan pernah; tetapi Marisa terus tak mau kalah, lanjut berkilah. Kenapa piring terbang harus ada? Di dunia nyata piring tidak bisa terbang. Fungsi piring juga bukan untuk terbang. Tetapi di dunia khayalan tidak begitu. Piring terbang memberimu harapan akan kebebasan.  Bahwa ada sesuatu yang lebih baik di luar apa yang sehari-hari kita lihat. Kutanya apakah Marisa akan membiarkanku tetap tinggal. Dia menjawab ya, kemudian mendongak ke langit biru tua, sembari diam seribu bahasa. Dia juga yang mengebumikanku, tetapi tidak seluruh tubuh. Entah kapan dan di mana Marisa mendapatkan pisau jagal itu. Barangkali dari dapur sang duta besar, karena semua tampak mengilap, berkilat diterpa sinar lampu tiang pekuburan. Aku memejam, menolak menyaksikan prosesi. Terlalu mengerikan. Ketika aku merasakan dijinjing oleh Marisa keluar pekuburan, aku yakin dia hanya menguburkan kaki dan tanganku, tetapi kepalaku tidak. Mungkin sangkar rusukku juga tidak. Sepulangnya, Marisa mengemasku dalam kotak bekal kaca. Dindingnya ganda dan segelnya rapat, tidak ada bau mencurigakan. Dia membawanya ke kantor, sehari sebelum menemui Kenop. Orang kedutaan, apalagi yang mengirimkan hadiah peralatan makan dari kaca, punya banyak kenalan; termasuk perakit lampu plasma. Karyanya mirip Kenop, tetapi lebih mumpuni. Bola di tengah lampu bisa dibentuk sesuai mau. Marisa tinggal pesan, sisanya tahu beres. Laki-laki itu tahu persis cara menyenangkan Marisa, tetapi tentu Kenop tidak boleh tahu. Aku disulap menjadi inti lampu, yang Marisa bawa pulang sebagai hadiah dukacita. Tentu Kenop tidak curiga. Lihat saja karangan bunga di pojokan. Maka Marisa meletakkan aku sebagai jambangan dekat meja lampu plasma Kenop: posisi yang sungguh strategis untuk menguping pembicaraan dan melihat bibit-bibit pertikaian. Namun perlahan-lahan, Kenop curiga juga. Tatapannya memicing. Kamu bilang ini hadiah dukacita dari kantormu, Cha? Marisa mengangguk. Lagi-lagi kaca. Apa dari si pemberi peralatan makan dari kaca itu? Kenop berharap Marisa tersetrum dengan pertanyaan itu. Ternyata tidak. Apa jangan-jangan itu anak dia, bukan anakku, Cha? Marisa masih bergeming. Atau malah kamu main dengan duta besar?Jawab aku, Cha! Sambil membela diri dan merapal berbagai demi, Marisa mulai menangis. Dia sesenggukan. Kenop menganggap itu anggukan. Lantas amukannya berputing mengerikan. Gelas-gelas hadiah pernikahan pecah berantakan. Piring-piring beterbangan, tetapi bukan dalam rangka harapan. Kamu tak boleh menerima hadiah yang ada pamrihnya, Cha! Apalagi ini lampu! Aku ‘kan bisa buatkan satu untukmu! Dari dulu Marisa berpantang menolak pemberian, apalagi kalau bendanya indah. Dari dulu Kenop tak mau menerima pemberian, apalagi kalau orangnya mencurigakan, seperti staf kedutaan itu misalnya. Jadilah kaca-kaca berderai sampai habis. Piring-piring tak lagi beterbangan. Kenop mengepak ransel. Pintu terbanting keras. Marisa bergeming. Tangannya terlipat dalam pangkuan. Dia tidak mencari staf kedutaan, tidak mencari duta besar, tidak menghubungi orangtuanya. Dia mengambil sebuah botol di lemari es dengan satu tangan, lalu membawaku dengan tangan lain, naik ke undak teratas rumah susun, berjongkok memandangi langit dan bicara sendiri. Lihat itu, katanya kepadaku. Kau ada di balik kaca sekarang. Bagaimana? Apakah langit itu indah? Dengan sisa tenaga baterai seadanya, aku berusaha menjawab dengan berkedut. Marisa melihatku, semringah dan memelukku erat. Ada ibu, ada anak. Udara menusuk tak enak, tetapi mendung kelabu segera berhimpun, angin dini hari itu berputing mengerikan. Marisa mengajakku masuk, mengembalikanku ke dipan; sudah saatnya jatuh tertidur. Hamparan beling urusan pagi nanti saja. Izin cuti, bebersih rumah; ketik Marisa tergesa-gesa dalam bahasa duta besarnya. Suamiku minggat, ketiknya lagi. Segera dia hapus, duta besarnya tak perlu tahu. Klik Send. Alasan ini sederhana, bisa diterima semua atasan, pikir Marisa. Dia hanya perlu melupakan Kenop, belajar hidup sendiri, sambil berharap ada piring terbang datang menjemputnya, seperti yang ada di televisi. Kartun pagi bergulir menyedihkan; itu episode tiga hari lalu yang ditayangkan ulang. Tidak ada piring terbangnya. Marisa mendekatiku dan tiba-tiba teringat, semalam Kenop cuma minggat dengan ransel. Seluruh perkakas lampu plasma dan cari nafkahnya masih ada di dekatku, di samping televisi. Bayangkan kalau Kenop tahu siapa kamu, ujar Marisa sambil menyekaku dengan waslap. Dia pasti menyayangimu mati-matian. Aku hanya tak tega memintanya memasukkan kamu ke dalam lampu plasma rakitannya. Ketika Marisa selesai berbisik, piring terbang muncul dalam adegan kartun. Langit biru tua berbarengan dengan dengung televisi. Lalu gemeletap kaki berdebam sepanjang koridor, berhenti di depan pintu kami. Dengung televisi dan hening koridor beresonansi, seirama dan semakin keras. Di layar televisi, piring terbang bersiap menembak. Lalu aku menyaksikan semuanya, dari balik kacaku. Pintu terdobrak dari luar, bertepatan dengan adegan tembakan piring terbang: bersinar, menghambur, dan nyaring. Beling beterbangan bagai ribuan piring terbang kecil yang memelesat keluar dari televisi. Seperti kembang api, warna-warni itu riuh dan indah, tetapi bukan sihir, karena bisa dijelaskan secara fisika. Di ambang pintu, Kenop bergeming, tak percaya melihat tubuh Marisa yang tertelungkup. Beling-beling menghunjam, mata air bagi belasan anak sungai merah. Aku tak sempat melihat tangan Kenop—adakah pistol di sana? Sebelum aku tahu jawabannya, garis polisi telah terekat. Jenazah Marisa ditandu keluar. Aku disita sebagai barang mencurigakan, karena setelah semua kejadian itu, aku tidak ikut meledak, tidak ikut mendesak mencari kehidupan baru. Aku hanya diperiksa bolak-balik, tidak bisa diwawancarai. Kantor polisi menjemukan, tidak ada piring terbangnya. Kudengar Kenop sempat dikurung, tetapi cuma sebentar. Pengadilan memutuskan itu murni kecelakaan. Terlepas dari ada tidaknya pistol di tangan Kenop pagi itu, lampu plasma tak boleh diletakkan berdekatan dengan televisi. Setelah dibebaskan tanpa syarat, aku tak pernah mendengar kabarnya lagi. Mungkin dia masih merakit lampu plasma. Mungkin dia sudah melupakan piring terbang impiannya. Yang pasti, tak sekalipun Kenop datang menengok. Tentu saja karena dia tidak menyadari keberadaanku. Bukankah menyaksikan segala sesuatu dari balik kaca tanpa berbuat apa-apa itu lebih indah? Aku ingat betul kata-kata Marisa yang sedikit terpelintir itu, tetapi lupa kapan dia pertama kali mengucapkannya. Barangkali dia ingin memperingatkan aku bahwa suatu hari sebelum dijemput piring terbang, bencana akan menimpa kami. Yang pasti dia mengucapkannya sebelum turun dari piring terbangnya, dan aku baru bisa menceritakan ini kepada kalian sebelum naik ke piring terbangku. Ya, barusan ada piring terbang menjemputku. Ia bersinar menyilaukan, sembari berjanji membawaku ke tempat di mana semua orang setara, semua orang saling memelihara dengan sebaik-baiknya. Sebelum naik ke sana, aku menengok, mencari langit. Apa kabar langit di luar sana, masihkah indah? Tetapi Marisa sudah tak ada. Tak ada yang menjelaskan kepadaku, untuk apa dan kepada siapa piring-piring beterbangan. Sebelum aku tahu jawabannya, seseorang menekan kenop, kaca piring mengatup. Kami memelesat pergi. []

Triskaidekaman
Latest posts by Triskaidekaman (see all)

Comments

  1. Ibnu sya'nah Reply

    Maaf, ini satu cerpen cuman satu paragraf?
    Apa hanya tampilan di gadget saya?

    • Admin Reply

      memang hanya satu paragraf, kak 🙂

      • dew Reply

        capek bacanya min, maaf

  2. sastrarinjani Reply

    Waw. Keren banget! Berat, tapi bisa dipahami. Semua kata-katanya bergizi dan menurutku gak ada yang mubazir. Mungkin dikirimnya satu paragraf, kah? Kalo iya, agak ngos-ngosan bacanya, tapi gapapa karena cerpennya sebagus ini. Karya Kak Triska memang gausah diragukan lagi mau dibentuk kayak apa juga, terserah, aku masih bisa menikmati. Meskipun menikmatinya sambil kernyit-kernyit di dahi, hehe. Sangat insightfull! Aku sampe hati-hati bacanya karena gak mau kelewatan sedikitpun maknanya.

Leave a Reply to sastrarinjani Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!