Malaikat dan Setan, Pahlawan dan Bajingan: Kuntowijoyo dan Sastra Dialektisnya

“Siapakah anak yang datang itu? Setan, malaikat atau manusia?”

— Kuntowijoyo, ‘Burung Kecil Bersarang di Pohon’

Kakek Dulgapar meninggal ketika ia hampir saja menggagalkan peledakan jembatan oleh para pejuang kemerdekaan. Ia mengganggu dua gerilyawan pemasang bom, Bakri dan Kusen, dengan pelita yang dibawanya dan suara ributnya, tapi terutama oleh kekeraskepalaannya untuk tak mau ikut mengungsi dan kekeh untuk untuk tetap tinggal di rumahnya. Dari sisi mana pun, Kakek Dulgapar tak akan masuk dalam buku para pahlawan yang gugur dalam perang kemerdekaan. Ia akan beruntung jika dianggap sekadar sebagai warga desa yang meninggal karena perang, bukan diingat sebagai pengkhianat.   

Di sisi lain, Letnan Harun, komandan kelompok gerilyawan yang memerintahkan peledakan jembatan kelak akan dengan mudah disebut pahlawan. Ia adalah tokoh ideal yang tipikal dalam buku pelajaran sejarah kita: orang yang mengambil keputusan penting dan berisiko dalam masa perjuangan. Tapi, itu tak berlaku untuk orang-orang mengenal Kakek Dulgapar sebagai orang baik-baik, kawan yang setia, penolong disaat orang membutuhkan. Bagi mereka, Letnan Harun adalah pembunuh.

Tentu saja, anggapan itu muncul dari pemahaman yang tidak bulat. Mereka mengambil simpulan hanya dari hal-hal yang mereka tahu, sementara tidak semua hal mereka tahu. Pak Asad, kawan Kakek Dulgapar, misalnya, tahunya bahwa Kakek Dulgapar dibunuh atas perintah Letnan Harun. Padahal, anak buah Letnan Harun bernama Kusen-lah yang menjadi penyebabnya. Dan Kusen yang merasa bersalah bahkan telah menebus rasa bersalah itu dengan kematiannya.

Namun, ketidakmengertian jugalah yang mengawali kematian Kakek Dulgapar. Dua pejuang yang bertugas memasang bom untuk meledakkan jembatan dibuat gusar karena Kakek Dulgapar dianggap merintangi rencana sabotase. Kakek Dulgapar bukan saja tidak mematuhi perintah untuk mengungsi, ia juga mencoba menggagalkan rencana peledakan jembatan. Menurut orang tua itu, jembatan itu ia ikut susah payah bangun; ia punya kenangan dengan bangunan itu. Lagi pula, ia tak ingin para pejuang itu meledakkan jembatan dari sisi sungai dekat rumahnya. Bagi Kusen, si pejuang yang pemberang, alasan-alasan kakek tua itu tak masuk akal. Seseorang mesti mengorbankan kepentingan dan hal-hal yang bersifat pribadi demi perjuangan. Maka untuknya, alasan-alasan Kakek Dulgapar terdengar seperti sebuah pengkhianatan, karena ia bisa membahayakan perjuangan. Karena itulah, ia ingin menghukum si kakek yang rewel itu.

Pada akhirnya, Kakek Dulgapar yang rewel itu meninggal karena keteledoran Kusen. Sementara, Kusen juga gugur dalam pertempuran, setelah sebelumnya merasa bersalah atas kematian Kakek Dulgapar. Di sisi lain, Pak Asad akhirnya menyadari bahwa sikap dan sakwasangkanya kepada Letnan Harun bisa saja salah. Sementara Letnan Harun yang tahu bahwa tindakan-tindakannya untuk perjuangan bisa menimbulkan korban, bisa orang lain tapi bisa juga dirinya sendiri, merasa tak perlu membela diri atas tuduhan-tuduhan itu.  

Tidak ada yang benar-benar hitam dan benar-benar putih di sini. Masing-masing karakter bertindak dengan alasan dan motifnya sendiri-sendiri. Tindakan itu tidak bisa dibenarkan, tapi juga tak sepenuhnya salah; atau ia bisa benar dan sekaligus salah dalam satu kesempatan. Tidak ada malaikat di sini, tapi tak juga ada setan di antara mereka. Orang-orang itu cuma manusia biasa, yang nilai-nilai dan pendirian yang mereka masing-masing pegang tengah saling berbenturan.  

***

Kuntowijoyo sudah sejak sangat dini memulai apa yang nanti secara konsisten dilakukannya: menjadikan karya sastranya sebagai upaya untuk berdialektika. Sastra yang dialektik, tulis Kunto dalam Maklumat Sastra Profetik, adalah sastra yang berhadap-hadapan dengan realitas, yang melakukan penilaian dan kritik sosial-budaya secara beradab. Dengan bersifat dialektik, sastra tidak hanya menyerap dan mengekspresikan realitas, tapi juga memberinya arah.

Gambaran karakter-karakter dalam novel pertama Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari (dimuat bersambung di koran Djihad pada 1966, yang kemudian baru diterbitkan pada 2024, setelah lama dinyatakan hilang) boleh dianggap prototipe dari sastra dialektisnya Kunto. Kunto dalam novel ini ingin menunjukkan bahwa perang kemerdekaan tak pernah sesederhana kisah kepahlawanan. Ia lebih kompleks dari itu: bahwa para pejuang kita bukan orang yang sepenuhnya suci; bahwa masyarakat yang meninggal karena perang bukan semata korban-korban tak bersalah. Dalam novel berseting perang ala Kunto, Belanda yang biasanya tampil sebagai setan, sebagai bajingan, bahkan tak benar-benar ditampilkan.

Di karya yang tidak berselisih terlalu lama penciptaannya (atau bisa saja lebih dulu dibanding Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari jika keterangan yang tercetak pada akhir buku bisa dipegang), barangkali kita bisa menemukan bajingan itu. Tapi, ini bajingan bukan sembarang bajingan. Sebab, ia sedang kerasukan malaikat untuk melawan setan di dalam dirinya.

Cerpen Hati yang Damai, Kembalilah Kepada Tuhan (ditulis pada 30 Desember 1965, kemudian dimuat di Majalah Moment pada 1969, dan terbit dalam kumpulan cerpen Persekongkolan Ahli Makrifat, 2017) menampilkan Pak Sudjak, lelaki tua yang terkapar di depan masjid yang sedang menjelang salat Jumat. Pak Sudjak dikenal karena reputasinya yang buruk. Ia suka mabuk, suka judi, suka nongkrong di warung, suka menyiksa dan menghabiskan uang hasil berdagang istrinya, dan bertahun-tahun tak pernah datang ke masjid.

Tapi, setelah kematian istrinya, Pak Sudjak melawan setan dalam dirinya dan bertekad untuk datang ke masjid dan bertobat. Sayangnya, setan-setan lain tak menghendaki pertobatan tersebut. Mereka ini adalah orang-orang yang biasa datang ke masjid, yang tak ingin orang kotor menginjak tempat suci, para pemuda yang tak ingin kiai mereka marah, dan merasa berhak mengadili orang seperti Pak Sudjak. Merekalah yang dengan penuh kesungguhan menyebut Pak Sudjak sebagai “bajingan”, dengan “tangan berlumur dosa”, dan tak ingin mengotori tangannya yang habis berwudhu dengan menyentuh orang tua itu.

Beruntung datang malaikat berujud manusia pada diri Kiai Hasan. Ia meminta para jamaah masjid memperlakukan Pak Sudjak dengan baik, mengambilkannya minum, dan kemudian—setelah salat Jumat selesai—memapahnya untuk dibawanya pulang. Pada Kiai Hasan, Pak Sudjak akhirnya menangis dan bertobat.

Cerita ini dijiwai oleh sebaris nasihat keagamaan yang diucapkan Kiai Hasan kepada jamaah masjid yang jijik dengan Pak Sudjak: “Jangan menghukumi sesuatu yang kita tidak tahu persoalannya. Hanya Allahlah yang Maha Tahu”. Namun, yang secara keseluruhan coba digambarkan oleh Pak Kunto di cerpen ini saya kira adalah untuk tak melihat satu hal dalam cara yang biasa ia terlihat; karena pada apa yang selama ini tampak kotor kita bisa menemukan kesucian, sementara pada yang selama ini tampak suci kita dengan mudah menemukan kekotoran; ada secercah cahaya pada jiwa paling gelap sekalipun, sementara dalam jiwa-jiwa yang tampak penuh cahaya tersimpan kegelapan di sebaliknya.

Pada cerpen “Burung Kecil Bersarang di Pohon” (dalam Dilarang Mencintai Bunga-bunga, 1994) yang sangat terkenal, terutama karena dianggap salah satu karya yang paling mewakili visi Kuntowijoyo tentang Sastra Profetik, sosok serupa Kiai Hasan justru tengah merasa menjadi malaikat: merasa dirinya lebih paham tentang agama, lebih dekat dengan Tuhan, lebih tahan terhadap godaan dunia. Pokoknya: lebih suci dari orang-orang kebanyakan. Maklum, ia seorang guru besar Ilmu Tauhid; orang-orang dengan hormat memanggilnya “Buya”. Barangkali karena itu, ia tidak cukup menyadari bahwa setan tengah mengambil alih dirinya. Sampai, muncullah seorang anak kecil yang mengajaknya menangkap burung, yang mengembalikannya pada kesenangan masa kecil yang dirindukannya, dan, pada akhirnya, mengembalikannya menjadi manusia biasa, yang bisa kotor dan bisa lupa. Ia bertanya-tanya, apakah anak kecil itu malaikat yang diutus Tuhan untuk membertahunya, atau setan yang datang untuk menggodanya? Dan ia jatuh pada kesimpulan: anak itu manusia sebagaimana dirinya.

Malaikat dan setan atau pahlawan dan bajingan mengumpul pada satu orang dalam salah satu cerpen Pak Kunto paling dikenal lainnya, yaitu “Anjing-anjing Menyerbu Kuburan” (Cerpen Terbaik Kompas 1977, yang terhimpun dalam kumpulan cerpen Hampir Sebuah Subversi, 1999). Ia yang tak bernama, tidak penting, aneh dan asing, sejenis orang yang ketika kita jumpa akan segera melupakannya, menyelinap dalam gelap malam, menuju sebuah makam baru yang di dalamnya terbaring mayat perempuan yang meninggal pada malam Selasa Kliwon. Tujuannya hanya satu: mencuri mayat itu dan menjadi kaya karenanya. Karena mayat itu dijaga banyak orang, maka ia telah menyiapkan ajian sirepnya.

Tak ada yang bisa mewakili seorang yang ingin kaya dengan mencuri mayat keramat melebihi setan. Tak ada yang lebih bajingan kecuali orang yang menempuh cara yang sangat hina untuk menyelesaikan masalah ekonominya. Tapi, apakah ia sesetan dan sebajingan itu? “Tidak,” kata narator cerita (baca: Pak Kunto), buru-buru membantah, “bukan karena ia kemasukan setan.” Itu adalah satu-satunya cara yang ia bisa lakukan untuk membelikan istrinya perhiasan, untuk membuat anak-anaknya berangkat sekolah dengan sepatu baru dan bisa membayar SPP tanpa nunggak, untuk membeli truk agar keponakannya tidak usah kerja ke kota, untuk membuat adiknya yang merantau jadi buruh migran di Timur Tengah bisa pulang.

Pada dasarnya, dalam diri pencuri mayat itu, kita menemukan seorang laki-laki biasa yang ingin menghidupi keluarganya; semua tentang istri, anak, dan keluarga. Lalu apa yang membuatnya mengambil pilihan paling hina untuk menghidupi keluarganya? Tak lain ketersingkiran. Tanahnya yang seperempat hektar akan dibebaskan oleh pemerintah dengan harga murah untuk dibuat lapangan golf. Karena ia mungkin tak akan bisa mempertahankannya, ia berencana memberikannya secara gratis saja kalau ia menjadi kaya setelah mencuri mayat itu.

Dan demikianlah ia dipandang ketika orang-orang yang menjaga kuburan terbangun dari sirep dan menemukan seseorang bergumul dengan anjing-anjing yang ingin mengoyak-ngoyak tubuh mayat. “Pencuri!” kata seseorang. “Penyelamat!” kata orang lain. Malaikat atau setan, pahlawan atau bajingan kini hanya soal perspektif saja. Orang tidak tahu seluruh kebenaran. Mereka hanya melihat apa yang bisa terlihat. Sisanya adalah sakwasangka.  

***

Sastra, sebagaimana filsafat, selalu dialektis. Ia tidak gampang menerima hal yang telah dianggap normal, meragukan yang dianggap benar, mengajak memikirkan ulang yang dianggap telah mapan, mendebat yang sudah diyakini, mengkonfrontasi yang biasanya tak dibantah. Sastra mungkin tidak akan banyak mengubah keadaan, tetapi jelas ia tidak diciptakan untuk sekadar mengafirmasinya.

Karena itulah, Kuntowijoyo menyebut upaya bersastranya, yang ia maklumatkan sebagai Sastra Profetik, adalah “sastra yang terlibat dengan sejarah kemanusiaan”.

*Catatan pendamping dari diskusi “Beragama, Bersastra, dan Berubah” dalam Jogja Art and Book Festival, 24 Mei 2025.  

Mahfud Ikhwan
Latest posts by Mahfud Ikhwan (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!