Satu bulan yang lalu dan untuk pertama kalinya, Khaldun memiliki sepetak tanah dalam kepalanya. Sebuah sungai mengalir jernih dan pohon dedalu tumbuh segar di tepinya. Ada juga tanaman semak dengan urat daun yang terlihat kecil. Khaldun suka memperhatikan hal yang remeh-temeh di tanah itu, seperti bulir embun yang jatuh menggoyangkan salah satu daun, itu bisa membuatnya tersenyum. Lalu ujung jarinya akan menyentuh bulir embun lain yang masih menempel di daun sebelahnya. Dia melakukan itu sampai semua embun menyongsong matahari. Di tanah itu Khaldun merasakan matahari yang berbeda dari biasanya, begitu pun langitnya. Dia juga suka memandangi tanah di sekelilingnya yang melandai. Meski hanya memiliki sepetak tanah kecil, dia tetap memandangnya dengan hati berbunga-bunga.
Saat benar-benar lelah menghadapi dunia, Khaldun juga menyempatkan untuk menyambangi tanah itu, hanya untuk menghirup udaranya yang seakan terbuat dari jenis udara yang berbeda. Begitu menenangkan. Dia seakan tak merasakan beban. Kadang dia melihat lekat-lekat sarang laba-laba yang terajut di antara semak yang bergoyang, kemudian mempermainkan laba-laba itu dengan memetik-metik untaian jaring itu hingga membuat hewan itu kocar-kacir. Khaldun tersenyum sendiri, lalu membiarkannya kembali ke sarang. Kemudian dia mendengar suara hewan keruing dalam petak tanah itu. Khaldun masuk lebih dalam hampir ke tengah. Suara hewan itu lesap tiba-tiba. Dia penasaran sekali seperti apa bentuknya, tetapi tak menemukannya. Dari tempat dia berdiri, sinar matahari sore menerobos celah ranting dan dedaunan pohon ara hingga sinar matahari itu terlihat berbentuk garis-garis keemasan.
Khaldun selalu meletakkan tanah itu di posisi yang tepat dan nyaman untuk dibawa ke mana-mana. Ada saatnya dia merindukan suara burung-burung yang berdecit-decit di cabang pohon ara, yang menenangkan seisi kepalanya. Tapi dia sendiri tahu bahwa tak hanya dia yang memiliki sepetak tanah dalam kepala. Beberapa orang yang Khaldun temui, mengaku memiliki sepetak tanah yang dibawa ke mana-mana dalam kepala. Darkum salah satunya.
“Tanah subur, sebentuk rumah kayu dengan dua kamar tidur, dapur yang mengepul di pagi hari, serta kambing peliharaan yang mengembik berkali-kali. Itu semua telah ada sejak dua tahun lalu dalam kepalaku. Itulah repihan surga, Dun,” desah Darkum.
“Ya. Aku bisa melihatnya. Tanah itu juga terus berkembang dalam kepalaku.” Khaldun menanggapi.
Darkum adalah teman yang dia temui saat melintasi jalanan berdebu. Dia sama-sama telah merayapi muka bumi cukup lama. Namun, perihal merawat tanah di kepala, dia lebih lama dari Khaldun. Dia telah membabat sebagian belukar untuk ruang bagi rumah yang didirikan. Lalu dia ‘merasa’ lebih diperhitungkan oleh perempuan.
“Aku punya istri dan anak yang bahagia,” kata Darkum lagi sambil menggaruk punggungnya yang gatal.
Khaldun menyingsingkan lengan kaos panjangnya hingga ke siku, lalu menatap Darkum yang tersenyum sinting. Pandangannya mengawang-awang sampai Khaldun memaksanya keluar dari sepetak tanah dalam kepalanya.
“Sudah waktunya kita berkeliling. Kita harus berebut dengan anjing dan kucing,” ujar Khaldun.
“Tak ada hiburan selain mengunjungi sepetak tanah itu, Dun.” Darkum menatapnya sambil mendesah.
“Terlalu banyak hiburan bisa membuatmu sinting!” Khaldun bergegas lebih dulu.
“Halah! Bahkan sepetak tanah di kepalamu pun sama.” Darkum membela diri.
Lalu mereka berjalan sendiri-sendiri. Masing-masing menggendong keranjang rotan dan memegang sebuah tongkat pengait sampah. Khaldun batuk-batuk sambil meludah ke sisi kiri. Seekor kucing gemuk berlurik hitam yang mendekam di dalam semak sambil menjilati bulu-bulu kakinya, tergeragap tiba-tiba saat melihat Khaldun. Hewan itu seperti telah kenal betul dengannya. Dia terkadang berebut sisa-sisa makanan yang dibuang di tong sampah di depan rumah besar. Jika kucing itu sampai di tong sampah lebih dulu, Khaldun selalu menggertak kucing itu dengan tongkatnya hingga membuatnya ngacir. Jika Khaldun yang lebih dulu di sana, kucing itu akan memerhatikannya dari jauh.
Kali ini si kucing menatap waspada tongkat Khaldun yang terayun-ayun. Suara batuk Khaldun membuat kucing itu mantap menjejak tanah dan bersiap untuk kabur. Namun, apa yang terjadi selanjutnya tak seperti yang si kucing kira. Khaldun hanya mengirimkan tatapan mengancam, tak sampai mengayunkan tongkat itu untuk menakut-nakutinya. Lalu kucing itu kembali tenang sambil menjilati bulu-bulunya setelah Khaldun berjalan menjauh.
Selanjutnya dia berjalan ke permukiman dekat pasar. Dia melihat anak kecil berjalan berjingkrakan sambil digandeng satu tangannya oleh ibunya. Bocah itu tampak sangat senang sambil berbicara sendiri dengan bahasa bocah. Setelah itu dia hilang dari pandangan karena sudah masuk ke dalam ramainya pasar.
Sepanjang perjalanan, Khaldun ingin sepetak tanah dalam kepalanya tak hanya dihuni oleh gema sunyi semak belukar. Jika ada keluarga kecil yang bahagia, itu sebuah surga yang lain. Sambil memasukkan botol plastik bekas atau apa pun yang bisa dia jual, Khaldun mengisi sepetak tanahnya. Dalam waktu yang sangat singkat, sepetak tanah itu berkembang cepat. Khaldun sekarang punya rumah dan keluarga. Tawa renyah bergema di sana. Ada sajian makanan di atas piring yang bersih dan gelas untuk menyeduh kopi. Alangkah indahnya kehidupan sepetak tanah dalam kepalanya hingga membuat Khaldun tersenyum sendirian.
Khaldun kembali lebih dulu ke tempat mereka berawal. Beban dalam keranjang rotan sudah berubah jadi dua lembar uang lima ribuan. Sangat jarang dia dapat lebih dari itu. Setelah sampai, dia menyadari bahwa kardus yang biasa mereka gunakan untuk tiduran sudah hilang. Namun, itu tak mengusik pikiran Khaldun.
“Hanya kardus yang bikin punggung gatal-gatal,” batinnya.
Dia menduga yang mengambil mungkin memiliki pekerjaan yang sama dengan Khaldun, atau bahkan mungkin juga punya sepetak tanah dalam kepalanya. Sambil menunggu Darkum, Khaldun memikirkan sesuatu. Sebenarnya dia takut jika sepetak tanah itu bisa benar-benar membuatnya gila. Setidaknya dia tahu ada yang seperti itu. Terjebak dalam tanah itu dan yang keluar dari mulutnya hanyalah kekosongan belaka. Dunia nyata tak sepenuhnya dia genggam.
Lalu Khaldun terkejut bukan buatan saat melihat Darkum pulang dengan senyuman sinting, kemudian tertawa-tawa sendiri. Khaldun tahu tawanya seperti bukan tawa biasa. Sorot mata Darkum juga membuatnya khawatir.
“Dapat berapa kau hari ini, heh?” tanya Khaldun dengan tatapan menyelidik. Hingga dua jenak, tak ada jawaban. Pikirannya memusat pada satu dugaan: Darkum benar-benar sinting! Dia telah kewalahan memikirkan tanah dalam kepalanya.
“Hei! Keluar dari tanah sialan itu, Darkum!” teriak Khaldun.
Namun, Darkum tetap dalam dunianya. Semesta yang berbeda telah menyeretnya ke dalam pangkuan di khayali, membuatnya berbicara sendiri tentang apa saja. Bahkan berjingkrakan seperti anak kecil yang dilihat Khaldun sebelumnya.*
- MANUSIA-MANUSIA DENGAN SEPETAK TANAH DALAM KEPALANYA - 5 July 2024
kiki
keren .. maknanya dalam bgt, pesan tersampaikan. great job bang suyat
Ariyo Valentino
sangat bagus dan tertarget
Ananta
Seperti ada sesuatu dalam hati waktu membacanya
Jose Jochu
Boleh berkhayal tapi jangan hidup dalam khayalan. Apik maseh
qintha
gile bagus banget