Kepada Syaima’
Syaima’, dalam dudukku yang ngungun, aku sedang kangen suasana dusun: binatang disembelih hanya saat perayaan dan menu sarapan kita, hanyalah kacang liar yang tumbuh di padang gembala. Di padang itu, kau tahu, Syaima’, masih kuingat kaugendong aku di pinggulmu, sementara aku belajar bagaimana menggiring kawanan kambing, menegakkan tenda bulu unta yang pasaknya menghalau gigil, dan menangkis musim yang labil.
Maka kisahkan kembali padaku dalam bahasa kalismu; bahasa yang belum koyak didesak tamak dan laba; bahasa yang urung digadai harga sadel kuda dan lembut kain sutra, kental-legit madu, gurih putih susu, dan hangat selimut beludru. Maka kisahkan padaku, Syaima’, kisahkan kembali dalam puisi-puisi, tentang perang yang digelar dalam gugus rasi bintang, yang tak mampu dijangkau oleh ingatan orang-orang.
Di dadaku, gurun mengerang tersengat murka matahari. Dan kau pun juga mengerti, di sana langit luas membentang tak berbatas. Mata kita tak diajari menatap dalam angkuh, sebab mata kita tak pernah sampai menggapai kaki cakrawala yang jauh. Sumur yang dengan airnya, kempis punuk-punuk unta dijerang dahaga menggembung seperti sedia kala, lenguh kawanan domba adalah bahasa bagi cemas yang berdesir. Cemas yang juga kita rasa, sebab di debu padang pasir, membekas tilas tapak koloni dubuk dan seringai singa.
Setiap kali aku melihat pohon-pohon yang tumbuh di kota ini, Syaima’, terkenang aku pada tanah kita yang tak diberkati humus, di mana seringkali kita saksikan sebatang pohon menjulang seolah membantah takdir dan segala ketidakmungkinan, pohon yang seakan mendidikku, di jembar lembar tak bermanah ini, kita, manusia, sekadar noktah belaka.
(2023)
Agitasi
[di hari ke-248]
“Berapa jarak antara neraka dan kamp pengungsian kita?” Barangkali dekat. Barangkali sangat dekat. Sedekat parak pagi dan bunyi artileri. Selekat baruh subuh dan aroma kulit melepuh. Sekarib lenguh udara dan bau rambut terbakar. Seakrab malam cekam dan jam tidur yang gusar. “Bagaimana cara memeluk diri sendiri”
Tanda tanya itu merangkak dari kabel-kabel putus dan tenda-tenda hangus. Sisa marka jalan mengarahkan tujuan ke selain masa depan. Langit luka tera kota. Dan gema tangis yang mengambang di udara. Tanda tanya itu, menggunturkan derap mitraliur, memintas jarak antara dada dan stasiun berita, garis peta dan kesunyian masing-masing nasib manusia.
“Siapapun! Siapapun! Tolong ajari sepasang lengan kami memeluk diri sendiri. Sebab di manakah diri kami dapat berlindung di bawah langit yang selalu berkabung? Sebab di mana lagi kami dapat mengungsi, jika di parak pagi, di baruh subuh, di malam cekam, ingatan dipaksa menghapus nama-nama jalan, memupus sudut-sudut kenangan, melupakan salasilah keluarga, hangat pintu, dan jendela, dan dinding-dinding rumah tetangga, mendesak bibir kami supaya terus berdoa—hanya untuk tak didengar siapa-siapa!”
(2024)
Di Kalinga, Hari itu, Kekalahan Memenangkannya
dari Kemenangan Separuh Ilusi
Sambil mengenakan jubah kebesaran, ia—putra yang pernah diasingkan itu—berdiri cegak di batas antara dendam dan kesumat. Di hadapan dipan, seorang ayah —raja yang terbujur sekarat. Dengan congkak ia tetakkan kata yang kasar dan bopeng seperti mukanya. Akulah penerus takhta! Akulah kutukan yang nyata! katanya. Di dadaku, Bindusara, sebuah kaldera—kawah api raksasa tercipta dari keterasingan purba, terserak di ingatan seorang anak dengan tubuh lenguh luka melankolia. Dada retak dari trah yang kautolak, kini telah jadi mata jenawi yang kan menebas lehermu di batas hidup dan mati.
Sejak saat itu, Asoka adalah raja yang haus, dan di Kalinga, delapan tahun kemudian, kematian menjadi parade; sawan yang tak pernah usai, menyepuh malam berbau bangkai. Kita bayangkan orang-orang meratap ketika api mengertap ke atap-atap rumah yang dijarah: Di manakah ruang tetirah bagi hati yang lelah? Di manakah Tuhan, ketika harapan terkubur di jirat suci? Ketika hidup lutut yang pecah, merangkak dari pengepungan ke pembantaian, hari ke hari?
Ngilu seakan derit kuku seribu paruh burung-burung marabu, mencacah kijang penghabisan itu. Dan di Kalinga, kita bayangkan Asoka melangkah dengan jumawa. Di parasnya yang remuk, geram mengetam. Ia tergelak dengan bengis, mengendus bau amis, darah 150.000 jenazah. Tapi di Kalinga, hari itu, seorang fakir—rapuh nan tua—datang dengan tenang kepadanya, dan di sepasang lengannya, terbopong mayat bayi yang tampak lesi, seperti baluwarti, sebuah kota setelah kalah dan dilucuti.
Apakah sebenarnya arti dari perkasa? Apakah sejatinya arti sebuah kemenangan, ketika fakir itu berkata padaku: Wahai rajaku yang perkasa, yang di tanganmulah ratusan ribu nyawa bisa kaucabut semaumu, tunjukkanlah kekuasaanmu padaku dengan menghidupkan satu nyawa—nyawa bayi yang kini kubawa padamu.
Sejak hari itu, ia kembali ke jati diri, sebagai gelak dan sorak, sebagai gita dan puja, yang pulang ke jantung sunyi. Tetapi rasa kalah, rasa kalah, Asoka, adalah sebuah kemenangan paripurna. Rasa kalah telah memenangkanmu dari sorak dan gelak. Rasa kalah telah memenangkanmu dari pujian dan nyanyian. Rasa kalah telah memenangkanmu, dari kemenangan, separuh ilusi.
(2024)
Musa
Tongkat itu tegak serupa alif
di batinmu yang hanif
Gembalakanlah amarahmu
supaya dapat kau pahami:
Janganlah ada lagi silang-sengketa
di mana seteru hanya kan usai
serupa lelaki kibti yang musti mati
di kepal-tanganmu yang berapi
Sebab takkan ada laut yang terbelah
ketika sebilah tongkat
jatuh di mandat yang salah
Maka 12 mata air memancar
dari sebongkah batu
dan tercukupilah kerongkongan 12 suku
Dinaungkan pula awan
menepis terik, juga manna & salwa
bagi segenap lambung yang meronta
Tetapi di padang kembara
betapa masa lalu mahir
mengecoh hati sesiapa pun yang terusir
dan tak memiliki tanah air
Timun dan gandum, adas dan bawang
— segala yang direkahkan kenang
begitu gegas menenggelamkan ingatan
di kerinduan paling sawan
— dasar laut muhal dimistar
bentang samudera tak kuasa dijangka
dibelah tongkat, dan ayat, dan mukjizat
Di gurun paran, tongkatmu hilang tuah
Suluh pituduh yang kaupetik
seusai melepas kasut dan terompah
itu akan menjadi serupa bara
yang merobohkan Sodom dan Gomora
(2024)
- Puisi Yohan Fikri - 9 July 2024