Mau Ke Mana Kesusastraan Kita?

Sumber gambar
Sumber gambar Raldobermejo.com

Ketika saya memutuskan suka kepada seorang penulis, saya akan sangat antusias mengikuti apa saja yang berkaitan dengannya. Akhir 2012, saya menemukan salah satu penulis Indonesia bernama Eka Kurniawan. Sejak saat itu, saya selalu mengikuti tulisan-tulisan di blognya. Kemudian, mencoba mencari karya-karyanya yang kebanyakan sudah susah ditemukan di toko-toko buku saat itu, hingga saya berhasil menemukan karya-karya awalnya di toko buku online.

Dari membaca tulisan-tulisan di blog pribadinya—yang sejak akhir 2012 lebih banyak berupa jurnal satu paragraf—saya yang kemudian mulai merasa ingin jadi penulis menemukan satu kenyataan menyedihkan tentang nasib yang dialami kesusastraan kita. Seperti kebudayaan Indonesia lain—sepakbola misalnya, yang kita tahu sendiri nasibnya—keadaan sastra Indonesia kurang lebih mengidap masalah-masalah yang sama.

Sepeninggal Pramoedya Ananta Toer, siapa atau apa lagi yang bisa dibanggakan dari sastra Indonesia? Pram yang disebut sebagai sastrawan terbesar dalam sejarah sastra Indonesia saja tidak mampu merengkuh hati para juri Nobel Kesusastraan di Stockholm sana. Apalagi para sastrawan kontemporer kita yang sepertinya lebih nyaman berkarya di kandang sendiri dengan kualitas karya yang stagnan. Dan merasa puas dengan pemuatan di koran edisi Minggu dan euforia perayaan semacam ucapan selamat yang sejak satu-dua tahun terakhir bergema di sebuah grup Facebook.

Jika dicari alasan mengapa karya-karya sastra para sastrawan kontemporer kita hanya begitu-begitu saja, akan muncul berbagai alasan yang bisa dibilang klise. Namun saya tidak akan meletakkan beban moral urusan kesusastraan kita di pundak para sastrawan itu saja. Saya kira, semua kita, yang mengaku peduli terhadap perkembangan kesustraan Indonesia, ikut menanggung beban tersebut.

Jika melihat perkembangan karya-karya Eka Kurniawan saat ini, kita punya potensi untuk bisa disejajarkan dengan para penulis dari negara-negara lain. Terutama negara-negara yang sastrawannya meraih penghargaan Nobel Sastra. Sayangnya pergaulan kita dengan sastra mancanegara bisa dibilang belum terlalu intim. Lihatlah minimnya terjemahan-terjemahan karya sastra dari luar. Alhasil, orang-orang seperti saya yang ingin menjadi penulis sangat kurang asupan bacaan-bacaan berkualitas. Maksudnya bukan karena bacaan dari dalam negeri tidak ada yang berkualitas, tetapi di luar sana lebih banyak bacaan yang lebih berkualitas.

Bukankah karier kepenulisan Gabriel Garcia Marquez, seperti yang diungkapkannya dalam memoar Living to Tell the Tale, berawal dari novela Metamorfosis Franz Kafka yang diterjemahkan oleh Jorge Luis Borges? Contoh lain, Pram, sastrawan besar kita, juga diketahui banyak berhubungan dengan penulis luar, seperti Gunter Grass, penulis Jerman, yang menghadiahinya sebuah lukisan buah karya Grass sendiri.

 

Serba Minim

Selain penerjemahan karya luar yang minim, kesusastraan kita juga menghadapi sebuah kenyataan di mana kritik sastra juga terbilang minim. Menurut Budi Dharma (Kompas, 12 April 2015), “untuk menjadi kritikus yang menghasilkan kritik yang baik, orang harus punya wawasan yang luas.” Di Indonesia, menurutnya, belum ada kritik sastra yang baik karena kritikus sastra kita itu sama; sama mutunya atau sama bodohnya. Jadi tidak ada yang menonjol karena semua menonjol, tambahnya. Seperti tidak ada wanita cantik kalau semuanya cantik.

Saya memiliki pendapat sendiri tentang kritik sastra. Saya kira, para sastrawan atau penulis kita tidak siap atau mungkin tidak mau dikritik. Ditambah masyarakat awam, sebutlah kebanyakan pembaca, menganggap kritik sebagai representasi rasa iri kritikusnya.

Saya teringat pada penulis muda, Ardy Kresna Crenata, yang rajin menulis ulasan—jika tidak boleh dibilang kritik—cerpen-cerpen yang tayang di Koran Tempo di akun Facebook pribadinya. Bukan komentar yang memicu diskusi lebih lanjut yang dia dapatkan, sebagian besar menghadiahinya cemooh semacam, “bisanya cuma mengkritik” atau “balas karya jelek dengan menulis karya yang lebih bagus”.

 Kembali ke penerjemahan. Mau tidak mau kita harus membicarakan penerbit. Jika ditengok, penerbit yang antusias menerbitkan karya-karya terjemahan berkualitas sangatlah sedikit. Penerbit tunduk pada selera pasar. Mereka mau menerbitkan karya terjemahan jika itu mendatangkan keuntungan besar. Karya sastra lalu menjadi pilihan terakhir. Memang ini bukan sepenuhnya salah penerbit; masih ada pihak lain yang juga bertanggung jawab. Siapa saja?

Pertama, kita atau masyarakat secara umum. Kita di mata penerbit adalah pasar itu sendiri. Jika kita sebagai pasar terus berkutat dengan selera bacaan yang ringan dan populer, bukankah tidak salah jika penerbit yang berperan sebagai penjual mengisi ceruk tersebut? Pada akhirnya, buku-buku semacam itulah yang merajalela.

Kedua, pemerintah. Tahun ini Indonesia menjadi tamu kehormatan di Frankfurt Book Fair, Oktober 2015. Demi menyambut acara prestisius ini, pemerintah membentuk komite nasional yang terdiri dari 5 komite. Salah satu dari 5 komite itu adalah komite buku dan penerjemahan, yang bertugas memilih atau menyeleksi buku-buku untuk diterjemahkan dan dipamerkan dalam ajang tersebut.

Saya tiba-tiba teringat status Linda Christanty di akun Facebooknya. Ia mengungkapkan bahwa dia tidak tahu siapa saja yang berada di komite nasional itu dan tidak tahu seperti apa proses yang terjadi di dalamnya. Asumsi saya, ketidaktahuan itu menunjukkan satu hal: pemegang kebijakan di dalam komite nasional itu, khususnya komite buku dan penerjemahan, tidak tahu-menahu perihal kesusastraan secara umum atau kesusastraan Indonesia secara khusus. Jujur, asumsi ini muncul setelah saya membaca esai Eka Kurniawan yang tayang di Jawa Pos, 31 Mei 2015 yaitu “Buku dan Kesusastraan Bukan Kartu Pos”.

Di esai itu, Eka menceritakan pengalamannya bertemu dengan salah seorang penerjemah Korea-Inggris. Menurut sang penerjemah yang juga seorang editor di sebuah penerbit di London, yang banyak menerbitkan karya-karya sastra dari Asia, kebanyakan pemerintah atau pemegang kebijakan tidak mengerti kesusastraan negara mereka sendiri. Dia memberi contoh pemerintah Korea Selatan yang kadang-kadang menjual buku atau kesusastraan seperti menjual potensi pariwisata. Dan dia yakin, Indonesia tidak jauh berbeda nasibnya dengan Korea.

Ketiga, tentu saja sastrawan itu sendiri. Selain Eka Kurniawan, saya rasa sedikit sekali penulis atau sastrawan kita yang antusias untuk mengembangkan kemampuan menulis mereka. Kebanyakan dari mereka terlalu nyaman dengan karya yang sudah dihasilkan. Langka sekali yang berani menyuguhkan karya berbeda. Para penulis muda yang bakal menjadi penerus terlalu asyik mengekor ketimbang menemukan gaya sendiri.

Novel berbau Islam bukan lagi milik Helvy Tiana Rosa semata. Cerpen bertajuk senja tidak identik lagi dengan Seno Gumira Ajidarma. Ketika sastra kelamin naik daun, muncul karya-karya serupa. Seolah-olah kita kekurangan tema.

Para penulis dan sastrawan kita juga haus pujian dan penghargaan. Ada yang menunda penerbitan novelnya demi endorsment. Ada yang bertengkar dan saling cemooh karena pemenang sebuah penghargaan sastra tidak sesuai harapan. Bahkan ada yang menelepon pengelola sebuah website yang menampilkan ulasan kritis tentang novelnya untuk menghapus ulasan itu.

Jika begini keadaannya, bagaimana mungkin menarik seorang asing untuk tertarik pada karya sastra kita lalu dengan senang hati menerjemahkannya ke bahasa lain agar dikenal dunia?

Kita seperti hanya bisa bermimpi punya penerjemah sekelas Gregory Rabassa dan Edith Grossman bagi Gabriel Garcia Marquez atau Jay Rubin bagi Haruki Murakami atau Howard Goldblatt bagi Mo Yan.

Mari renungkan: “Mau ke mana kesusastraan kita?”

Muji Sasmito
Latest posts by Muji Sasmito (see all)

Comments

  1. Arif Abdurahman Reply

    Ah gara-gara Eka Kurniawan ini, saya juga jadi jatuh cinta sama karya sastra dunia, dan angkatan Indonesia terdahulu, yg sayangnya sulit didapat di toko buku. Novelnya Eka pun saya belum punya, padahal udah diterjemahin ke bahasa asing.
    Oh pasar, oh penerbit, oh toko buku, mau dikemanakan kesusastraan kita?

  2. Adiwena Yusuf Reply

    Beberapa pertanyaan kecil, mengapa nobel dilihat sebagai tolak ukur keberhasilan? Bukankah nobel sendiri adalah bagian dari ‘politik’.

  3. Frida 'vree' Kurniawati Reply

    Saya setuju bahasan tentang kurangnya penerjemahan sastra luar ke Bahasa Indonesia. Kalaupun ada, seringkali terjemahannya kurang bagus, sehingga saya lebih memilih membaca versi Bahasa Inggrisnya.

  4. Muhammad Abdul Karim Reply

    Ada benarnya juga. Dunia sastra Indonesia belum melahirkan lagi karya-karya yang benar-benar mantap macam Pak Pram. Kualitas dunai sastra kita tergantung oleh para pembaca dan juga penulis yang mesti mengikuti selera pembaca kalau mau dibaca. Ini mesti menjadi dorong moril bagi para penulis-penulis yang ingin keluar dari sangkarnya

  5. Tukiyem Reply

    Nobel bukan ukuran ndol. Kuwi ngunu geng! Pram gk oleh nobel iku gara-garane akeh, salah sijine terjemahan ke bhs inggrise elek. Ndol gundol. Ojo nyebrang jembatan nek ra nduwe cekelan.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!